Sunday, March 06, 2011

Panduan Menikmati Buku Komedikus Erektus

Bambang Haryanto adalah pengamat dan praktisi komedi yang menulis berbagai hal tentang humor di blognya, Komedikus Erektus. Bukunya yang berisi esai humor ala Arwah Setiawan sudah terbit, dengan nama sama seperti blog humornya.

Saat diminta menuliskan Sekapur Sirih untuk naskah tersebut, saya membuatkannya dalam bentuk panduan, seperti di bawah ini.

______________________________________________


Langkah pertama: bayar dulu bukunya. Tertawa sambil baca DAN kabur dari kejaran petugas toko buku itu menyusahkan.

Langkah kedua: kalau sulit tertawa, ingatlah bahwa barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan. Minimal Anda bisa tertawa miris.

Kembali serius, sampul buku ini sebaiknya memuat Peringatan Pemerintah: tidak menggunakan efek suara tertawa berlebihan (“HUAHAHAHEHEHE WKWKWKWKW”) , pelesetan jorok, atau tanda baca berlebihan (!!!!!?????!!!????) yang sering diobral di buku humor lain.

Justru sebaliknya, humor di buku ini disampaikan dengan tata bahasa serius nan taat asas. Saking taatnya, saya curiga kata-kata dalam buku ini tidak langsung diketik, melainkan disuruh berbaris rapi dulu, sambil menaikkan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Bambang Haryanto juga memadukan dua hal dalam bukunya: lelucon dan membahas lelucon. Ini perjudian yang berbahaya bagi penulis humor.

Mengapa? Bayangkan seorang koki menghidangkan ayam panggang di meja kita. Wanginya memancing air liur kita. Saat kita potong dan masukkan ke mulut, terasa dagingnya yang empuk dan gurih... Saat itulah koki tersebut mengeluarkan seekor ayam hidup lantas menjelaskan cara memasak makanan tersebut, mulai dari penyembelihan.

Kalau masih cuek makan dengan lahap, bisa jadi Anda memang bekerja di pejagalan. Atau kantor pajak.

Itulah bahaya menyajikan lelucon SEKALIGUS membahasnya dalam satu buku. Namun, memang harus ada yang melakukannya. Karena dari situlah kita belajar: mengapa suatu hal dianggap lucu? Mengapa kita tertawa? Mengapa Ayu Azhari bisa kalah dalam pemilihan Bupati Sukabumi?

Oke, mungkin yang terakhir sih nggak meskipun materi lelucon dalam buku ini tidak jauh dari sosial dan politik (termasuk pemerintah). Hal ini wajar saja. Kolomnis Will Rogers pernah berkata bahwa menulis humor sangatlah mudah karena pemerintah akan membantu dengan bertindak konyol. Dan kita tinggal mencatat.

Sebagai contoh, Anda mungkin ingat pada tahun 2007 ada perbedaan hasil survei tingkat kemiskinan Indonesia. Berdasarkan World Bank, 49% penduduk kita berada di bawah garis kemiskinan. Sementara menurut BPS, hanya 16,5%. Walaupun ada perbedaan metoda dan tolok ukur, kok bedanya bisa mencolok sampai 32,5%?

Jangan-jangan pemerintah bingung sendiri karena form survei yang digunakan memiliki pertanyaan sebagai berikut:

Apakah Anda miskin? (Silangi jawaban yang paling Anda anggap sesuai. Kosong berarti "Tidak".)

a. Tidak.
b. Tidak sama sekali.
c. Sangat tidak sama sekali.
d. Miskin itu apa?
e. Saya hanya mampu beli makan sekali seminggu.
f. Maaf, saya tidak bisa baca.
Kalau memang begitu, bisa kita maklumi. Tentunya sampai sekarang pun para pengujinya masih memperdebatkan, "Makan sekali seminggu itu miskin!"

"Lho, bisa saja diet," tentang penguji lain.

Contoh lain pada tahun yang sama: kota Indramayu (Jawa Barat) geger akibat ulah sepasang anak SMA yang membuat video porno. Walikota Indramayu begitu geram sampai mengeluarkan instruksi agar setiap siswi sekolah di kotanya harus melalui uji keperawanan.

Sudah hampir tiga tahun berlalu dan saya masih belum mengerti juga kemajuan pendidikan macam apa yang walikota tersebut ingin capai dengan menyusun daftar nama para perawan. Jangan-jangan tadinya mau ia jadikan soal ujian nasional: “Tandai nama-nama di bawah ini yang masih perawan. Jawaban bisa lebih dari satu. Berikan alasan.”

Inilah salah satu fungsi humor. Membuat hal-hal absurd di kehidupan jadi lebih mudah diterima... dengan menertawakannya. Seperti yang dilakukan Bambang Haryanto dalam buku ini. Belum tentu karena ingin menyampaikan kritik dalam bentuk yang menghibur. Atau karena ingin mengajak para pembaca untuk berpikir kritis. Bisa jadi, sebagaimana diakui banyak komedian atau penulis humor, karena inilah cara paling efektif agar tetap waras.

Kecuali kalau jawaban Anda pada soal di atas adalah (f): Maaf, saya tidak bisa membaca. Sudah terlambat.


Bandung, 6 April 2010

Sekapur Sirih untuk Why Did The Chicken Browse The Social Media?

Why Did The Chicken Browse The Social Media? adalah buku sekilas tentang media sosial yang diiringi strip komik khas ala Diki Andeas.

Berhubung ini buku yang sangat serius dan menjunjung tinggi jurnalisme, wajar saja jika kata pengantarnya ditulis oleh saya, seorang penulis humor. Berikut adalah tulisan saya yang saya sampaikan pada Diki, dan karena suatu alasan--kerasukan, sepertinya--ia memuatnya.

_________________________________

Peringatan pemerintah: buku Why Did The Chicken Browse The Social Media berisi banyak jargon berkaitan komputer dan internet plus istilah Inggris yang dicetak miring.

Hal yang Anda perlu lakukan saat tidak mengerti:

  1. Jangan panik!

  2. Baca dengan santai, seakan-akan Anda menikmatinya.
Benar: membuka halaman perlahan, sesekali tersenyum atau tertawa kecil

Salah: membuka halaman demi halaman, dengan kening berkerut dan mulut membuka.

Salah besar: tertawa berlebihan sambil berguling-guling, menunjuk, dan meneriakkan salah satu kalimat lucu di buku ini pada orang sekitar, “TAGITO ERGO SUM katanya! HAHAHAHAHAHA!—eh? Kok saya diborgol, Pak Polisi?”

Kembali serius, teknologi komputer dan internet bukan hanya maju pesat, melainkan juga membawa berbagai perubahan di tingkat sosial. Dan wajar saja kalau tidak semua orang memahaminya.

Arthur C. Clarke, seorang penulis berkebangsaan Inggris berkata, “Kalau sudah terlalu canggih, suatu teknologi tidak akan bisa dibedakan dengan sihir.” Dengan kata lain, bagi sebagian besar orang yang tidak mengikuti perkembangan teknologi, komputer dan internet tidak ada bedanya dengan klenik.

Tak perlu heran kalau orang yang bekerja di bidang ini sering dianggap seperti pawang hujan.

“Pak, komputer saya kok nggak mau nyala, ya?”

“Maaf, saya analis bisnis di Internet, Mbak. Bukan teknisi.”

“Oh, kalau gitu, bisa bantu kasih saran saya perlu beli komputer barunya seperti apa?”

Ini bukan sekadar masalah perbedaan kelas ekonomi. Perbedaan generasi pun berpengaruh. Jika kakek saya masih hidup, saya sendiri bakal kebingungan bagaimana menjelaskan komputer dan internet kepada Beliau.

Kakek: “Jadi ada semacam lapangan besar di angkasa yang bisa kita isi dengan teks, gambar, video dan macam-macam?”

Saya: “Euh, ya, kira-kira begitu.”

Kakek: “Dan kita bisa melihat isi lapangan ini dengan komputer?”

Saya: “Bisa ikutan ngisi juga.”

Kakek: “Asalkan dicolok pake kabel?”

Saya: “Euh, bahkan bisa nggak pake kabel. Dari ponsel aja bisa.”

Kakek: “Kamu nggak mabok, kan?”

Dan seperti saya sampaikan di atas, perubahan yang dipicu teknologi merambat sampai tingkat sosial. Sudah banyak kasus menunjukkan seseorang tersinggung karena teman bicaranya terus-menerus mengetikkan sesuatu di ponselnya selagi ngobrol. Padahal, bisa jadi sang teman bicara sedang memuji orang tersebut di Facebook, Twitter, Plurk, Koprol atau media sosial lainnya.

Satu contoh umum: ada empat orang yang berkenalan akrab melalui internet. Saat akhirnya bertemu di suatu cafe, keempatnya ngobrol sambil mengetik di ponsel mereka. Apa yang mereka ketikkan? Kabar bahwa mereka sedang saling bertemu.

Pembaca buku ini pun akan terbagi antara dua golongan besar: mereka yang, saat membaca cerita di atas berkomentar, “Hah, masa sih?”

Dan kedua, mereka yang berkomentar, “Hahaha, bener banget!”

Kalau Anda termasuk golongan yang pertama, sekali lagi: Jangan panik! Anggap saja klenik.


Bandung, 2 Maret 2010