Showing posts with label Berbagi. Show all posts
Showing posts with label Berbagi. Show all posts

Monday, July 30, 2012

Berlindung Di Balik Insya Allah

Banyak orang Indonesia yang terdidik untuk susah nolak. Gak enak hati, takut nyinggung. Tapi jadinya ngasih jawaban menggantung: nolak nggak, mengiyakan juga nggak. Ini bukan cuman soal jadian, ya? Berlaku umum, terutama kalau diajak datang ke acara orang.

Saking susah nolaknya, ada aja yang kalau diajak, ”Nanti dateng, kan?” Jawabnya,  ”Insya Allah.” Padahal sebenarnya gak mau. Itu kan ngaco.

Insya Allah itu maknanya ”atas seizin Allah.” Berarti kita harus berusaha sekuat tenaga untuk datang. Kalau tetap nggak bisa--misalnya karena kerjaan belum beres, mobil mogok, atau mendadak amnesia--itu baru nggak apa-apa. Kita udah berusaha sayangnya belum diizinkan. Tapi bukan karena kitanya nggak mau. Itu sih kitanya nggak berani menolak malah berlindung dengan menggunakan nama Allah.

Itu kayak kita minta izin ke orangtua, ”Malam ini boleh ke GBK nonton konser, gak?”

”Boleh.”

Terus kita malah tidur semalaman. Besoknya saat ditanya, ”Kok lu gak dateng, men?”

”Iya nih. Padahal gue udah minta izin. Berarti ortu gak ngebolehin.” Emang nggak niat datang itu sih. Saya curiga kalau orang-orang seperti ini merancang Facebook, di tiap Invitation pasti jawabannya berubah. Untuk pertanyaan: "Will you attend?" pilihannya jadi "Yes", "No", dan "Insya Allah".

Yang bikin saya heran, kenapa kalau status nggak jelas disebutnya "ngegantung", ya? Orang kalau dihukum gantung, misalnya, itu statusnya udah jelas banget deh. Gak ada hakim yang bingung, ”Aduh, ini orang bersalah apa nggak, ya? Ya udah, kita gantung aja dulu, gimana? Kalau masih hidup, berarti bukan dia pembunuhnya.”

Intinya, lain kali ada temen yang ngajak, ”Malem ini nongkrong di Sevel, yuk?” dan kita males, ya jawab yang tegas, ”Gue gak ada rencana lain sama sekali, tapi daripada cuman duduk bareng ngedengerin lu curhat mengenai gagal ngegebet cewek yang itu-itu juga, padahal lu sama sekali gak ngegebet, cuman ngecengin dari jauh, nyapa hai aja boro-boro, mendingan gue nyante di kamar, dengerin musik atau baca buku.”

Dia paling bakal menatap kita kayak Puss in Boots, ”Jadi lu mau dateng nggak?”

Dan kita pun menjawab, ”Insya Allah.”

Friday, July 13, 2012

#1thStandUpIndo: Dalam Satu Tahun...

Dalam satu tahun, yang tadinya "Gak bisa!" bisa jadi "Oh, bukannya itu biasa?" 

Lihatlah para komika (stand-up comedian) sekarang. Kalau sebelum tanggal 13 Juli 2011 mereka ditanya, "Bisa gak, bikin pertunjukan stand-up comedy berbayar di Indonesia, semuanya diisi stand-up comedian Indonesia, dan dihadiri lebih dari 200 orang?"

Saya yakin semua bakal menjawab, "Gak bisa!"

Pada tanggal 24 Agustus 2011, @StandUpIndo mengadakan acara stand-up comedy berbayar pertama.  Bahkan saat itu, Raditya Dika masih mempertanyakan, apakah kita tidak bergerak terlalu cepat? Dia masih ragu ada yang mau bayar untuk menonton stand-up comedy

Tapi sekarang lihat saja, komunitas komedi tunggal di berbagai pelosok Indonesia mengadakan Stand-up Nite. Hampir semua berbayar. Rata-rata penontonnya ratusan. Rekor penonton Stand-up Nite berbayar terbanyak di Jakarta adalah 890 penonton. Di Bandung mencapai 730 orang. Di Pekanbaru bahkan melebihi 1.000!


Dalam satu tahun, hidup bisa berubah drastis. 

Sebelum 13 Juli 2011, kalau ada yang mengaku mengundurkan diri dari pekerjaannya untuk menjalani profesi sebagai stand-up comedian, mayoritas pasti mempertanyakan kelogisan pilihan karier ini. Namun, itulah yang direncanakan (lantas dilakukan) Ernest Prakasa

Sekarang, tidak ada yang berani menertawakan pilihan hidupnya.

Saya juga kini telah mengundurkan diri dari manajemen kantor saya sebelumnya, dan fokus pada bidang komedi dan penulisan. Bertemu dan berinteraksi dengan begitu banyak rekan maupun sahabat di komunitas yang berbagi kesenangan maupun mimpi. Ini bukanlah kehidupan yang saya rencanakan sebelum 13 Juli 2011. Tapi ini adalah pilihan yang saya jalani dengan bahagia.


Dalam satu tahun, impian bisa terwujud... dan terwujud kembali 

Sebagian besar praktisi komedi tunggal adalah orang-orang yang memiliki mimpi bahwa suatu saat stand-up comedy akan tumbuh kuat di Indonesia. Perbedaannya adalah: ada yang mewujudkan mimpi itu. Dan ada yang menontonnya terjadi. 

Tidak masalah kita menjadi apa. Asalkan itu memang pilihan. Karena terwujudnya mimpi bukanlah suatu akhir. Selalu ada kelanjutan. Baik memelihara mimpi menjadi sesuatu yang membumi. Atau mengembangkannya lebih tinggi. 

Saya dan rekan-rekan di @StandUpIndo sendiri entah sudah berapa kali terkejut dengan terwujudnya berbagai impian dalam bentuk nyata: acara stand-up berbayar, gig rutin bagi para komika, acara TV khusus stand-up comedy, stand-up special, munculnya komika sebagai host acara bergengsi, komika sebagai bintang film, hingga tur antarkota. 

Daftar ini akan terus berlanjut. Kalau Anda praktisi juga, semoga mimpi Anda pun [akan] masuk di dalamnya. 


Kalau Anda mitra maupun penonton, terima kasih atas dukungannya selama ini! Pertumbuhan ini nyata karena wujud dukungan dan apresiasi Anda pun nyata.


Viva la Komtung!

Friday, October 21, 2011

Komtung 101: Mengapa Bicara SARA?

T: "Kenapa stand-up comedian suka banget sih ngomong SARA (Suku, Agama, Ras, Adat)?"

J: Jawaban singkatnya: karena perlu.

Versi panjangnya, kita lihat kembali sejarah komedi atau lawak di Indonesia. Komedi di Indonesia ditekan oleh ancaman, "Jangan bicara SARA!" Tawa menjadi mekanisme kendali. Bagaimana bisa?

Coba aja lihat kondisi dulu (mungkin sekarang juga masih). Kalau ada pelawak melucu di depan pejabat, para bawahannya tidak berani ketawa sampai atasan mereka tertawa. Jadi tawa digunakan sebagai alat kendali: tertawalah hanya pada yang saya (sang atasan) izinkan.

Ini menjadi mekanisme kendali karena dengan begitu, yang ditertawakan adalah yang tidak memiliki kuasa. Atau dalam lingkup sosial, selalu pihak mayoritas menertawakan minoritas. Pihak minoritas bahkan tidak bisa bersuara walau merasakan ketidakadilan.

Dengan sendirinya, ini bisa jadi indikasi: apakah organisasi atau keluarga kita demokratis? Lihat saja dari saat pertunjukan komedi. Kalau semua tertawa lepas tanpa harus saling lirik, berarti demokratis. Kalau masih saling lirik, ada pengendalian pendapat secara internal.

Sebagai format, komedi tunggal (standup comedy) memanfaatkan kebebasan tawa ini. Esensi komedi tunggal adalah penjualan pendapat, via premis yang berbentuk setup. Dan menarik persetujuan penonton melalui punchline. Kalau penonton tertawa, mereka menerima pendapat sang komedian. Kalau tidak, gak akan tertawa. Sesederhana itu.

Lalu, apa hubungannya dengan SARA? Karena komedi tunggal juga berfungsi mengungkapkan kegelisahan seorang comic terhadap hal-hal yang ia hadapi sehari-hari. Memangnya kehidupan kita sehari-hari bisa lepas dari suku, agama, ras, atau adat? Tidak.

SARA adalah bagian keseharian kita yang juga bisa membuat gelisah. Dan kalau ini dipendam, malah berbahaya. Humor justru merupakan cara kita untuk menerima hal-hal yang meresahkan diri, dengan menertawakannya. Istilah yang digunakan Pandji adalah, "Berdamai dengan diri sendiri."

Dan format komedi tunggal terbuka bagi siapa saja. Kalau kita merupakan bagian dari pihak minoritas, justru dengan format komtunglah kita bisa menyuarakan apa saja keresahan kita. Ini yang dilakukan Ernest Prakasa dengan membawa etnis Cinanya sebagai materi. Atau saat kita ingin mempertanyakan suatu hal yang dipraktikkan oleh pihak yang berkuasa/mayoritas. Ini yang diusung Pandji dengan mempertanyakan ormas yang mengaku Islam tapi malah memburukkan nama Islam.

Dalam komedi tunggal, kedudukan (atau tepatnya keberdirian) seorang comic di atas panggung itu sama.

Jadi kenapa bicara SARA? Karena itu bagian dari kehidupan sehari-hari. Dan jika menjadi salah satu sumber keresahan kita sebagai comic, perlu segera disalurkan dalam bentuk humor.


T: "Sejauh mana kita bisa menertawakan SARA?"

J: Tidak ada ukuran yang konstan di sini. Intinya kembali ke esensi komedi tunggal yang saya sebut di atas; kita menjual pendapat atau sikap kita terhadap sesuatu. Penonton yang konvensional tentunya akan lebih sensitif terhadap pembicaraan SARA dibandingkan yang lebih modern atau terbuka. Sikap kita akan lebih sulit diterima jika terlalu drastis di atas batas toleransi mereka.

Suatu materi komedi yang sama bisa menyinggung satu kelompok tapi disukai kelompok lain, walaupun materi tersebut menertawakan kedua-keduanya. Kalau ini yang terjadi, kendalanya mungkin bukan di materi, melainkan penonton. Namun kalau semua orang gak suka, bisa jadi kendalanya di materi.

Kuncinya bisa dari saran Chris Rock dalam acara Talking Funny-nya Ricky Gervais, "Bicaralah mengenai tindakan atau kelakuan mereka, bukan tentang identitas mereka."

UPDATE: Baca juga tulisan Pandji yang menjawab: Kenapa harus SARA?

Saturday, October 15, 2011

Komtung 101: Antara Lawak dan Stand-up Comedy

Sering muncul pertanyaan: "Mengapa membedakan lawak dengan stand-up comedy? Apa karena gengsi?"

Karena memang berbeda dari kedalaman makna. Komedi tunggal (padanan untuk stand-up comedy, atau disingkat komtung) merupakan sebuah format pertunjukan lawak yang memiliki sejumlah konvensi atau pakem tersendiri. Pertanyaan di atas sama dengan, "Kenapa membedakan fiksi dengan novel?"

Novel memang karya fiksi, tapi tidak semua karya fiksi itu novel. Komtung memang pertunjukan lawak. Tapi tidak semua pertunjukan lawak itu komtung. Di Indonesia, sebagai contoh, ada format lawak Mataraman (atau Dagelan Mataram) yang dipopulerkan almarhum Basiyo (meninggal tahun 1984).


Pertanyaan berikut: "Lantas kenapa pelaku komtung disebut comic? Nggak mau disebut pelawak?"

Sekali lagi: comic dan pelawak itu istilah dengan kedalaman makna berbeda. Yang pertama khusus, yang kedua umum. Analoginya seperti novelis dan penulis. Sah saja menyebut seorang novelis sebagai penulis. Namun, tidak semua penulis adalah novelis. Ada juga cerpenis, kolomnis, dan sebagainya.

Jadi silakan menyebut seorang comic sebagai pelawak. Tapi tidak semua pelawak adalah seorang comic. Di sisi lain, istilah lawak sendiri sudah mengalami penyempitan makna karena terlalu sering dikaitkan dengan format yang populer di Indonesia. Jadi, penggunaan istilah pelawak untuk mengacu seorang comic bisa jadi memberikan persepsi yang keliru. Bukannya tidak mau. Hanya berpotensi menyesatkan.


Pertanyaan terakhir: "Kalau begitu, sudah adakah istilah Indonesia untuk menyebut seorang comic atau stand-up comedian?"

Sayangnya, belum. Kalau ada usul, silakan. Salah satu alternatif adalah pengomtung. Tapi istilah itu banyak menerima penolakan, haha. Padahal salah satu syarat diterimanya sebuah istilah baru adalah penggunaannya secara meluas.

Friday, August 12, 2011

#StandUpNite Bandung: Lautan Tawa

Setahun lalu, siapa sangka bahwa acara komedi tunggal (stand up comedy) akan membuat cafe dengan kapasitas 150 dibanjiri lebih dari 250-an orang?


Lebih parah daripada angkot: "Neng, geser Neng! Tujuh-lima! Tujuh-lima!"


@StandUpIndo, sekumpulan orang-orang yang berusaha menggerakkan komedi tunggal agar bisa jadi salah satu bagian utama dari industri hiburan Indonesia, kembali mengadakan acara #StandUpNite. Kali kedua ini di Bandung, tanggal 7 Agustus 2011, jam 8 malam. Bober Cafe menjadi tuan rumah acara.

Sampai jam 7 malam, keramaian cafe masih biasa saja. Masih ada satu atau dua meja yang kosong. Tapi 30 menit kemudian, barisan orang sudah berjejer dari pintu masuk sampai panggung, sehingga lewat pun sulit. Pihak manajemen Bober terpaksa menutup pintu masuk karena tidak mungkin lagi menampung penonton.

Manajemen Bober sendiri sudah memasang layar dan speaker di dua sisi luar cafe agar penonton yang tidak kebagian masuk pun dapat menikmati lawakan para komedian. Sayangnya, kedua layar tidak tersambung. Kemudian masih tersambung ke TV. Jadi audionya komedi tunggal, visualnya pertandingan sepak bola. Plus cafe sebelah ada live music. Terciptalah hiburan yang cocok bagi penonton yang menderita ADD (Attention Deficit Disorder).

Sementara itu, dalam cafe sudah seperti dunia sendiri. Saya sebagai MC memulai acara tepat pada jam 20.00. Dan langsung membuka dengan, "Kita beruntung sekali karena bisa hadir di sini sebagai saksi dua peristiwa bersejarah. Pertama, malam ini adalah acara stand up comedy PERTAMA DI BANDUNG!"

Sambutan penonton langsung menggila.

"Kedua," lanjut saya. "Ini adalah acara pertama yang TEPAT WAKTU DI BANDUNG!"

Keriuhan para penonton Bandung membuktikan kesebalan mereka pada acara yang ngaret. Justru karena itu acara #StandUpNite2 ini sangat menjaga ketepatan waktu. Ada 9 komedian yang akan tampil. Masing-masing mendapat giliran 10 menit, dengan penjagaan waktu yang ketat. Kecuali komedian terakhir, sebagai giliran pamungkas.

Para komedian yang tampil adalah:


Ki-ka (urutan): Reggy Hasibuan (8), Asep Suaji (3), Acho Muhadkly (5), Dwika Putra (6), Raditya Dika (9), Ferdi Riva (7), Mo Sidik (1), Isman H. Suryaman (MC), Jonathan End (4), Tomy Malewa (2)


Mo Sidik, salah satu dari 13 finalis Stand Up Comedy Indonesia KompasTV, langsung hampir merobohkan gedung cafe dengan tawa penonton. Saksikan sendiri video penampilannya.

Alur tawa berlanjut dari komedian ke komedian. Masing-masing membawa materi yang bervariasi, erat dengan latar belakang diri. Seperti Dwika Putra, yang membawa sedikit unsur pendidikan. Acho yang berbicara tentang jomblo dan galau. Jonathan (Joni) yang berbicara tentang bahayanya menyeberang jalan Ganesha. Atau Ferdi Riva yang mengisahkan pengalaman sebagai dokter spesialis mata.

Acara diakhiri oleh Raditya Dika, yang berbicara mengenai anehnya kaum wanita. "Kalau cewek udah ngajak debat, satu-satunya cara ngadepinnya adalah dengan pura-pura mati."

Lautan tawa pun berakhir pada jam 22.03. Namun pesan utama malam itu tetap menyala sampai sekarang: ini baru awal dari berkobarnya komedi tunggal di Indonesia. Mari sama-sama sebarkan!




________________________

Photo credits:

- Foto ke-1 dan ke-3: Desiyanti Wibrata

- Foto ke-2: Primadonna Angela

Thursday, July 21, 2011

Hong Kong: Aturan Dan Adaptasi

Perjalanan ke Hong Kong mengajarkan tiga poin menarik. Pertama: semua harus ada aturan yang jelas dan tegas.


Menyeberang jalan, misalnya. Jika seorang pejalan kaki menyeberang saat lampu penyeberangan merah lantas ditabrak mobil, apa yang terjadi?

Kalau di Indonesia, kemungkinan besar mobil tersebut akan dibakar massa.

Kalau di Hong Kong, sang pejalan kaki akan dituntut oleh pemilik mobil. Kenapa? Karena merusak mobil. "Apalagi kalau darahnya mengotori mobil," jelas Adof, pemandu tur simPATIZone Friday Movie Mania. "Si pejalan kaki harus bayar ongkos bersihin mobil. Karena dia yang salah. Belum rugi waktu, dan sebagainya."

Terdengar tidak manusiawi? Tidak juga. Karena aturannya jelas: yang bersalahlah yang bertanggung jawab. Dengan begitu, setiap orang dituntut bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Tidak ada alasan.

"Saya kan nggak mampu bayar denda." Ya jangan melanggar. Gampang.
"Situ kan enak, bisa beli mobil. Saya kan cuman bisa beli motor." Apa hubungannya? Jadi kondisi keuangan membuat kita boleh melanggar aturan? Apakah nanti sebaiknya ada rambu: "Dilarang Parkir, kecuali bagi yang gajinya di bawah UMR"?

Kedua, di Hong Kong ada perbedaan jelas antara "salah" dan "melanggar aturan".

Contoh: merokok itu tidak salah. Merokok, di luar kontroversi mengenai efek candu atau merugikan bagi kesehatan, adalah hak pribadi. Jadi tidak salah.

Tapi, aturan merokok di Hong Kong itu ketat. Ada tempat-tempat tertentu untuk merokok. Misalnya di sekitar tempat sampah berbentuk LPG seperti terlihat di samping. Merokok di luar tempat itu, bisa merugikan hak orang lain (yang jadi perokok pasif), sehingga pelaksanaannya diatur. Merokok di lift, misalnya, akan didenda 5.000 dolar Hong Kong (sekitar 5 juta rupiah). Karena ini adalah pelanggaran aturan dan bukan kesalahan, pelanggar cukup berhenti melakukannya dan bayar denda. Beres.

Sedangkan merusak properti atau membunuh orang adalah kesalahan. Kalau itu dilakukan, langsung ditangkap dan diproses secara hukum.

Ketiga, aturan bisa berubah seiring kebutuhan. Apalagi kalau banyak protes dari warga berkaitan pelaksanaannya. Aturan dilarang parkir, misalnya. Ketika banyak protes dari pemilik bisnis yang membutuhkan lahan parkir bagi tamu, aturan itu bisa berubah. Lantas diresmikan dengan penandaan lahan parkir. Dan pengalihan jalur jalan menjadi satu arah. Itu pun rutenya sudah diteliti agar arus lalu lintas tetap stabil.

Poin ini menunjukkan konsep pemerintah yang ideal: tegas mengatur untuk kepentingan warga. Namun, tetap mendengarkan kebutuhan warga saat pelaksanaannya. Dan beradaptasi untuk menemukan bentuk yang cocok.

Bukan berarti pelaksanaan sistem ini di Hong Kong sudah ideal. Praktiknya tetap saja ada pelanggaran. Saat kami baru tiba di bandara internasional Hong Kong saja, supir bus kami sudah melanggar dua aturan: membawa troli keluar dan ngetem (padahal tidak boleh).

Tetap saja, secara konsep sistem ini lebih baik, daripada pemerintahan yang, sebagai contoh, membiarkan warganya melanggar aturan marka busway karena tidak mau terlihat buruk.

Friday, February 25, 2011

Peperangan Airsoft Gun: Simulasi Dengan Istilah Menyesatkan

A. Seperti Digigit Nyamuk Purba
------------------------------------------------

Hal pertama yang perlu kita pahami: istilah airsoft gun itu menipu. Kalau kena tembak, tidak ada lembut-lembutnya sama sekali. Seharusnya istilahnya diganti jadi air-ouch gun.

Paintball? Sama aja. Harusnya painball.

Kantor saya, Divusi, mengadakan acara outing pada tanggal 21-22 Februari 2011. Pada hari kedua, seluruh peserta dibagi ke dua grup. Sebagian rafting, sebagian lagi menunggu sambil simulasi perang dengan airsoft gun. Kata kunci yang ditekankan itu "simulasi". Bukan "perang". Kalau ini peperangan betulan, kedua pihak sudah menandatangani perjanjian perdamaian selama lima puluh tahun ke depan atas dasar enggan kesakitan.

Saya masuk dalam rombongan yang ikut airsoft setelah rafting. Dalam keadaan basah kuyup, kami disambut dan dibagi jadi empat regu oleh seorang instruktur. Ia kemudian mengangkat sebuah Uzi. Melihat ekspresi para peserta yang menegang, ia berkata, “Tenang saja! Kalau kena, hanya seperti digigit nyamuk kok.”

“Tepatnya digigit nyamuk, terus dipukul oleh raket listrik yang sedang menyala,” komentar saya.

“Hahahaha,” tawa Sang Instruktur; tapi tidak membantah. Ia kemudian memegang Uzi dan mendemonstrasikan cara menembaknya ke semak-semak. “Set di single,” ia menembak. DET! Satu peluru melesak ke semak-semak.

“Aw!” komentar Dany, seorang rekan kerja berbahu lebar.

“Set di burst!” ujar Sang Instruktur. DREDEDEDEDEDEDEDET! Entah berapa peluru melesak ke semak-semak.

“Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw!” komentar Dany lagi.

“Ya, kira-kira begitu. Ada pertanyaan?” tanya Sang Instruktur.

Saya mengangkat tangan, “Gimana caranya melolong kesakitan kena tembak sambil tetap jaga wibawa?”

“Nggak mungkin,” jawab Instruktur.

“Oke. Hanya memastikan.”


B. Pertempuran Pertama: Disiplin dan Keamanan
-----------------------------------------------------------------------

Kemudian sang instruktur memberi sejumlah panduan lagi terkait disiplin dan keamanan (safety); dua kunci dalam peperangan airsoft. Terutama berkaitan batas lima meter untuk Freeze (musuh yang ditodong saat lengah otomatis dianggap mati) dan mundur saat berhadapan terlalu dekat (di bawah sepuluh meter).

Setelah itu, mulai. Regu Merah (Dany, Husain, Cecep, Him, Dika, Dita, Novi) melawan Regu Kuning (Destira, Yessi, Maya, Anggy, Dani, Jimmi, Misroza). Saya dan yang lain menonton dari “tribun” atas; pinggir suatu kebun yang terletak sekitar 10 meter di atas medan peperangan, dan sebagian dilindungi jaring.

Dari atas, terlihat Regu Merah cukup niat dalam menggunakan taktik: berbagi senjata sesuai peran. Mana yang jadi penembak jitu (sniper), mana yang jadi penyerang (point man), dan mana yang figuran (bagi-bagi senjata saja pake hom pim pa).

Sementara Regu Kuning terlihat lebih strategis lagi: berkumpul sekali lantas Jimmi, yang bertubuh paling besar, berbicara: “Kalian majulah, nanti aku lindungi.”

PRIT! Peperangan dimulai. Regu Kuning langsung menyeruak maju!...
...
... Sementara Jimmi Sang Pelindung tetap berdiri di belakang. Rupanya lindungan dia berbentuk doa.

Belum lima detik sudah terdengar suara tembakan beradu. Sayangnya tidak terlihat apa-apa karena semak-semaknya sangat lebat.

“Ke sini saja, Mbak,” ajak seorang panitia yang sedang berlindung di balik jaring pada Ryan, rekan satu regu saya. “Nanti kena peluru.”

“Emang bisa nyampe ke setinggi ini, ya?” tanya saya.

“Bisa kok,” ujar Fiqi, seorang rekan kerja yang mengenakan kacamata. Dia menunjuk pipi, “Ini tadi baru saja kena peluru mental.”

Serentak kami dengan penuh keberanian langsung ikut meringkuk di balik jaring.

Dalam waktu yang singkat dua orang Regu Merah sudah kena tembak dan keluar dari lapangan. “Cepat amat!” ujar saya. “Siapa tuh yang--”

Seakan-akan menjawab pertanyaan, Anggy Sang Pemuda Harapan Bangsa yang Berkumis dan Ahli Bergitar menyeruak dari balik perlindungan dan mengendap-endap maju. Ia berhasil menodong Dita yang tidak menyadari kedatangannya. “Freeze!” teriak Anggy.

Sebagai pemudi bertubuh mungil yang sopan santun dan ramah, Dita dididik keluarganya untuk selalu membalas salam... dengan tembakan burst. DREDEDEDEDEDET!

“Aw! Aw! Aw! Aw!” lenguh Anggy pasrah.

Namun, sesuai peraturan, Dita dianggap hit dan harus keluar area.

Kembali serius, inilah kenapa disiplin dalam permainan airsoft gun sangat berkaitan erat dengan keamanan. Dalam kondisi adrenalin tinggi pun, kita perlu tetap bisa mengendalikan diri dan pikiran. Kalau tidak, bisa membuat orang lain atau diri sendiri celaka.

Tidak berhenti di situ, Anggy maju, menembak. Satu orang lagi hit. Ia kemudian maju lagi. Berlindung. Menembak. Orang kelima pun keluar lapangan. Ternyata pengalamannya dalam bermain CounterStrike berpengaruh juga. Bahkan ada satu orang yang kena headshot walau tanpa sengaja.

Tinggal satu orang lagi: Himawan Sang Penulis dan Pencinta Bambu. Tanpa ragu, Anggy mendekat dan menghilang dari pandangan. Terdengar tembakan. Tapi masih belum ada perkembangan. Saya sempat curiga jangan-jangan pada rehat dulu merokok. Eh, ternyata Anggy pun keluar dan mengangkat senjata. Rupanya gantian dia yang terkena.

Namun, karena tinggal satu orang melawan banyak, hanya masalah waktu hingga akhirnya Him pun terkena. Dan Regu Kuning pun menang! (Catatan pinggir: Saya lihat Jimmi akhirnya berhasil maju sekitar lima langkah. Kemajuan besar!)


C. Pertempuran Kedua: Pantat Adalah Kunci
-----------------------------------------------------------

Giliran dua regu berikutnya. Bagi orang lain, tantangan permainan airsoft gun mungkin adalah pengendalian diri atau penggunaan senjata. Sedangkan bagi saya, tantangan terbesar adalah: menemukan seragam yang muat.

Serius. Walaupun Sang Instruktur berkeras bahwa seragam ini semuanya one size fits all, kenyataannya ukurannya berbeda-beda. Persamaannya hanya satu: tidak muat. Seperti kata seorang rekan, Satrio, ini lebih cocok “One size fits some.”

Akhirnya menemukan baju yang muat. Celana sih lupakan. Terpaksa mengenakan celana tiga perempat. Padahal aturannya adalah “Kalau jarak dekat, bidik ke kaki.” Saya hanya bisa berharap bulu kaki bisa menjadi peredam sakit yang ampuh. Setidaknya di film Oma Irama tahun 80-an, bulu dada terbukti ampuh menahan pukulan. Seharusnya bulu kaki juga bisa.

Hal yang perlu dipertanyakan: kenapa orang dengan logika seperti saya di atas diperbolehkan memegang senjata? Entahlah. Itu memang misteri Ilahi. Kalau saya jadi pembuat undang-undang, hanya orang yang lulus tes akal dan mental sehat yang boleh memegang senjata. Semakin ngaco cara berpikir atau mentalnya, pegang raket listrik pun melanggar hukum.

Kembali ke airsoft gun. Sesuai tradisi, sebelum terjun ke medan perang, semua prajurit yang siap bertempur wajib... foto-foto dulu. Berpose gagah, ceria, tanpa sadar memegang senjatanya terbalik. Regu Kuning (Widi, Ocha, Ferdian, Yun, Satrio, dan Fiqi) melawan Regu Merah (Andi, Husein, Isman, Angke, Ryan, Iim).

Setelah kedua regu dipisahkan, saat berembug strategi perang: “Ada yang bisa jadi point man nggak?” tanya saya.

“Apaan tuh?” tanya Andi, Ryan, dan Iim.

“Oke,” angguk saya. “Berarti kita nggak usah pake strategi aja, ya? Bertahan aja deh.”

“Siaaap!” terucap serempak. Saya hanya bisa bersyukur bawa salep Counterpain. Seperti pepatah: sedia salep sebelum kena tembak.

“Pertama-tama, matematika sederhana dulu,” lanjut saya. “Lawan ada enam orang. Peluru kita masing-masing 200 butir. Berarti kita ada jatah kira-kira 30-an peluru untuk menembak satu orang.”

“Maksudnya?” tanya Ryan.

“Selalu set senjata ke burst,” seringai saya. “Foya-foyaaaa!”

Pertempuran pun mulai. Dilema pertama muncul: menyelinap di semak-semak atau di balik perlindungan? Penyair Robert Frost pernah menulis, “Saya mengambil jalan yang lebih jarang dilalui... dan itulah yang membuat perbedaan.” (“I took the [road] less traveled by, And that has made all the difference.”)

Berarti: semak-semak! Tapi baru lirik sebentar, durinya sudah siap menyambut seperti rahang ikan hiu. Oke. Beberapa jalan memang jarang dilalui karena memang lebih masuk akal untuk menghindarinya!

Saya pun memilih perlindungan. Baru nengok sebentar, sudah ada berondongan peluru yang menghantam plastik. Di saat itu, sebenarnya saya terjebak. Karena dari situ tidak bisa pindah ke tempat lain tanpa menggoda lawan untuk memberondong. Dan mari jujur saja, ukuran tubuh saya akan _sangat_ menggoda.

Untung saja, ada bantuan tembakan dari semak-semak; rupanya Husein Sang Pemrogram Berekspresi Datar Namun Bersuara dan Bergitar Secara Ekspresif. Sehingga siapa pun yang menembaki saya mendadak jadi amnesia; lupa ada saya di situ. Dia maju ke depan sehingga tepat di hadapan saya yang sedang tiarap... sambil memegang senapan. Saya tinggal angkat dikit, tembak. Kena.

“Nyawamu bertambah bentar, Man,” gumam saya. Seakan-akan menjawab, sebuah peluru hampir mengenai pantat saya. Saya langsung meringkuk di balik perlindungan. Rupanya saya membuat kesalahan yang hampir fatal: berlindung di balik plastik tapi melupakan bahwa pantat saya menongol keluar—tinggal dicat lingkaran dengan nilai 0 – 100.

Lalu saya mengintip lagi dan kembali menyadari satu hal. Kami semua amatir! Jadi kesalahan saya pun dilakukan oleh tim lawan juga. Ada satu pantat dan sepasang kaki yang menjulur dari balik perlindungan di depan saya.

Di benak saya langsung berkumandang lagu Desy Ratnasari, “Tanpa undangan, dirimu kutembakkaaaaan!” DREDEDEDEDEDEDEDEDEDET! Dan tentunya, dengan kemampuan saya yang sangat mumpuni... semuanya meleset.

Untungnya, lawan masih belum sadar, sehingga saya punya kesempatan beberapa kali mencoba. Satu kena. Seorang lagi di semak-semak terkena oleh rekan setim. Dan dua orang lagi entah kena dari saya atau rekan setim. Tidak penting. Yang penting itu berarti... TINGGAL SEORANG LAGI!

Kalau dalam film aksi, inilah saatnya di mana tokoh utama yang tinggal sendirian mendadak jadi piawai dan mengalahkan semuanya. Sayangnya, ini dunia nyata. Dan sang tokoh utama sendirian itu Fiqi, yang saat jadi penonton saja sudah kena peluru. Apalagi jadi pemain.

Regu Merah menang dengan satu korban: Husein. Jasa-jasanya tidak akan kami lupakan... maksimal selama lima menitlah.



D. Selalu Ada Pembelajaran
-----------------------------------------

Dari pertempuran yang sangat singkat itu, saya mendapatkan begitubanyak pelajaran:

  1. Fisik memang menentukan prestasi
  2. Tapi keberuntungan sama pentingnya
  3. Apalagi kalau sama-sama amatiran
  4. Darah itu merah, Jenderal!
  5. Awan itu putih, Kopral!

Kembali serius, inti dari pertempuran airsoft gun adalah refleksi diri dan kerja sama tim dalam kondisi kritis. Apakah kita bisa tetap berpikir dan bertindak sesuai situasi? Atau justru disetir situasi? Seperti apakah kita dalam kondisi ketakutan? Sempatkah kita memikirkan tim/orang lain, atau sekadar keselamatan diri?

Dan yang terpenting: apakah pantat saya menongol di tempat yang tidak semestinya?

Apa Yang Kita Sampaikan Dari Perbuatan Kita?

Menjelang malam Minggu lalu saya mengantar pulang teman yang sedang sakit kepala. Sepanjang perjalanan sesekali mengaduh karena campur migren. Tapi di suatu belokan, ia mendadak minta berhenti.

"Ada apa?" tanya saya cemas, "Mau muntah?"

"Nggak," gelengnya lemah. "Lihat ada lumpia goreng jadi tergoda."

"Halah!" ujar saya. "Dasar perut Melayu. Udah sakit kepala tingkat dewa aja, perutnya masih ada pikiran sendiri."

Kami pun turun. Gerobak lumpia goreng itu terletak di kelokan. Di sekelilingnya, warung makanan mulai buka mempersiapkan jualan. Anehnya, gerobak itu tampak kosong, tak terjaga.

Lihat kanan-kiri. Tidak ada orang yang peduli kami berdiri di samping gerobak itu. "Misi, Mas," sapa saya pada seseorang yang sedang mendirikan tenda berjualan gudeg. "Yang jaga lumpia ke mana, ya?"

"Oh," dia juga menengok kanan dan kiri. "Kayaknya salat, Mas. Tunggu aja."

Saya melirik teman saya yang memegangi keningnya. "Nanti lagi, deh. Gua anterin pulang dulu, ya?"

"Nggak apa-apa, gue di sini aja," ucapnya. Ia lalu menyandar ke pagar.

"Lu pulang aja, Man."

"Hah? Ketahuan gue ninggalin lu di sini lagi kepayahan gitu? Dibunuh bini lu ntar."

Dia hanya menjulurkan lidah.

"Eh serius," lanjut saya. "Gue anterin. Nanti gue ke sini lagi deh, beliin kalau segitu maunya."

Dia hanya menggeleng sambil memejamkan mata. Kalau sudah begini, saya menyerah. Mau Indonesia ikutan perang dunia juga, dia paling hanya cari tempat perlindungan dan nunggu. Jangan-jangan malah update Twitter, "Kalau ada yang ketemu tukang lumpia goreng, tolong kasih tahu ya, gue lagi nunggu."

Akhirnya saya temani. Tanpa bersuara. Langit semakin menggelap. Hingga sekitar 20 menit, sang penjual lumpia pun datang. Ia lantas membeli dua puluh, minta dipisah dalam dua kantung berisi sepuluh.

Kembali dalam mobil, saya berkomentar dalam perjalanan, "Buat siapa sepuluh lagi?"

Dia terkekeh sambil memejamkan mata, "Udah ngiler, pake nanya."

"Makasih kalau gitu," kata saya. "Tapi ngapain ngotot banget sih nungguin? Kan udah gua bilang, gue bisa balik lagi."

"Tapi jadinya ngasih pesan yang keliru, Man," jawabnya, masih memejamkan mata.

"Pesan apaan? 'Aku cinta lumpia'?"

Ia mengekeh lagi, "Nanti bikin tukangnya ngira hilang rezeki karena salat."

DEG! Jantung saya serasa ditabuh. Mobil saya tetap mengarungi jalan menuju komplek perumahannya. Namun pikiran saya melayang ke kilas balik peristiwa tadi. Saya sama sekali tidak terpikir sampai ke sana. Sang penjual meninggalkan dagangannya untuk beribadah, dengan penuh kepercayaan bahwa rekan-rekannya akan saling menjaga. Dan juga rezeki tidak akan hilang.

Namun, jika ratusan orang berbuat seperti saya, yang datang saat dia tidak ada lalu meninggalkannya karena tidak sabar, itu bisa jadi malah membuat dia goyah. Atau menunjukkan ke rekan-rekan penjual lain: tidak ada gunanya beribadah--hanya mengusir pelanggan. Apakah itu yang mau saya sampaikan pada orang lain?

Berapa banyak di antara kita yang pernah menyela antrean? Jika kita berhasil melakukannya, senangkah? Bisa jadi. Namun, pesan yang muncul bagi orang yang ngantre dengan tertib adalah: "Tertib tidak ada gunanya. Malah rugi." Ke depannya, bisa jadi orang yang tertib jadi tidak karena itu.

Keterlambatan juga sama. Ada orang yang datang dari sejam lalu. Tapi acara ditunda setengah jam karena menunggu orang yang terlambat. Jika ini dibiarkan, pesan apa yang muncul? "Tepat waktu tidak ada gunanya. Rugi." Dan itu baru dua contoh.

Masih dipenuhi rasa bersalah, saya menoleh padanya. Teman saya masih berbaring di jok dengan mata terpejam. "Padahal lu..." Saya berhenti.

Dia membuka mata, "Gue kenapa?"

"Nggak apa-apa," ralat saya. "Cuman jelek. Tapi itu emang gak ketolong dari dulu."

"Gue hadir di dunia biar lu gak sendirian dalam kejelekan lu, Man," balasnya tanpa membuka mata.

Yang sebenarnya saya ingin katakan adalah, "Padahal lu bukan muslim." Tapi bertahun-tahun bersahabat dengannya, saya sudah sering melihatnya menentang keras penggunaan agama atau kepercayaan sebagai label. Beberapa kata tidak perlu diucapkan.

Dan beberapa pesan justru lebih jelas dan lantang disampaikan melalui tindakan. Hari itu saya kembali diingatkan oleh sang teman, yang susah payah menahan sakit kepala dan bersabar menunggu demi menyampaikan satu pesan: "Apa yang kamu lakukan itu bagus. Teruskanlah!"

Dan juga pada saya: "Jangan hanya berbicara melalui ucapan. Namun juga dari tindakan."

Sunday, October 31, 2010

Pesta Blogger 2010: Memilah Sampah

Berdasarkan tulisan ini, pada Pesta Blogger 2010 banyak peserta yang bingung untuk memilah sampah kering atau basah, daur-ulang atau umum. Sebenarnya tidak terlalu rumit asalkan mau membaca atau bertanya.

Instruksi pemilahan sampah di Pesta Blogger 2010. Harusnya ditambahkan juga: Jangan Panik!

Cara pemilahan sampah yang keliru. Bagian tubuh Anda bukanlah plastik (kecuali Anda adalah Cher) dan tidak bisa didaur ulang.

Pemilahan sampah yang lebih tepat.

Sunday, June 14, 2009

Indonesia Bagian Nun Jauh Di Sana

Beberapa hari lalu, saluran TPI menayangkan iklan film India, Om Jai Jagadish. Setelah iklan selesai, langsung disambung dengan logo TPI dengan tagline, "Makin Indonesia, makin asyik aja."

Keteledoran? Tapi kok terasa benar juga, ya? Mungkin TPI hadir untuk mengingatkan kita untuk bertanya-tanya; saat ciri suatu bangsa diidentikkan dengan pola konsumsi produk kreativitas bangsa lain, akankah bangsa tersebut mengalami krisis identitas?

Friday, December 12, 2008

Buatlah Lingkaran Kreatifmu

Buku-buku bisnis sering menganjurkan agar berhati-hati dalam memilih teman bisnis. Mereka yang senantiasa selalu berkeluh kesah dalam bisnis akan menjerat kita. Apalagi kalau kita sampai berteman dengan apa yang disebut Agung sebagai Dementor.

Dalam penulisan kreatif, hal serupa berlaku. Teman-teman Anda mayoritas orang yang selalu mengeluh? ("Aku buntu nih", "Yah, writer's block. Mau gimana lagi?", "Kok nggak beres-beres, ya?") Jangan heran jika mendadak Anda juga sering terhambat dalam berkarya. Solusinya mudah. Cobalah lebih sering berinteraksi dengan teman-teman Anda yang produktif.

Saya sendiri beruntung karena mengenal banyak orang yang semangat serta produktivitasnya menularkan inspirasi.

Kekuatan Niat
Mitra hidup saya, Primadonna Angela, menerbitkan tiba belas novel dan satu nonfiksi dalam waktu tiga tahun. Berarti rata-rata tiga-empat buku per tahun. Padahal dia ibu dari dua anak (satu masih menyusui) yang juga mengerjakan penerjemahan buku, copywriting, penyuntingan, serta menjalankan bisnis online di Rumah Pernik.

Banyak orang yang mengerutkan kening setiap kali Donna berkata dalam talkshow, bahwa resep produktivitas dirinya hanya satu: niat. "Hanya itu?" Mereka yang bertanya seperti itu belum mengetahui seperti apa kekuatan niat Donna.

Menjelang melahirkan anak kedua, Donna masih mengejar tenggat pekerjaan copywriting untuk sebuah agensi periklanan. Tenggat waktu seminggu lagi. Saat hampir selesai, tahu-tahunya sudah harus ke rumah sakit. Karena proses melahirkannya normal, hari ketiga sudah pulang. Lantas hari keempat menyelesaikan sisa tulisan dan mengirimkan hasilnya. Mitra kerja di agensi tersebut sama sekali tidak menyadari bahwa Donna sudah melahirkan. Baru tahu saat revisi copywriting dah diterima, dan Donna memberi tahu via SMS. Saat ditanya kenapa baru ngasih tahu belakangan, dia menjawab sederhana saja, "Supaya nggak jadi alasan telat."


Kreativitas Tanpa Batas
Wajah Richoz paling bersinar setiap kali diajak bicara konsep kreatif. Konsep permainan tipografi dalam Parodi Film Seru pun berawal dari diskusi dengan Richoz. Ide-idenya mendebarkan jantung, dan bukan karena sering mengajak makanan berkolesterol tinggi.

Serial Suparman & iBab, sebagai contoh, lebih dari sekadar strip komik biasa karena membuat para pembacanya merasa terlibat. Ada cameo yang secara "kebetulan dan tanpa sengaja" mirip dengan sejumlah pembaca. Ada lomba pembuatan header situs yang mengutamakan keinginan berkontribusi dan bukan kemampuan Sotosop. Ada pula rekayasa ulang situasi yang ditulis dalam blog-blog orang. Bahkan ada perang antartokoh komik dengan blog komik tetangga.

Saat bertemu dalam Pesta Blogger Perjuangan pun Richoz mendemonstrasikan kemampuannya untuk mengalahkan Coki si Pelukis Cepat (komik yang dulu dimuat dalam Majalah Hai).


Sketsa yang digambar justru saat kedua objeknya lagi melata ke mana-mana.[1]



Antusiasme yang Meledak-ledak
Agung Nugroho, alias Mbot, memiliki rumus sederhana bagi penulis, "Bikin tulisan itu kalau nggak yang bermanfaat, ya bikinlah yang lucu." Sulit untuk bicara dengan Agung tanpa ikutan merasa bersemangat.

Apalagi karena ia memiliki satu kemampuan penting sebagai penulis humor: mengubah situasi menyebalkan menjadi cerita yang lucu. Dalam bukunya, Ocehan Si Mbot: Gilanya Orang Kantoran, ia bercerita mengenai tes psikologi zaman perang dunia yang masih digunakan untuk menguji calon personil baru. Lebih gawat lagi, tes tersebut digunakan untuk menguji Mbot sendiri, seorang psikolog yang bahkan sudah hapal kunci jawabannya. Alih-alih merasa tersinggung dan marah-marah, ia mengubah situasi tersebut menjadi kenangan yang lucu.

Masih ingat tes psikologi yang minta kita gambar rumah? Sempat tergoda nggak untuk bikin rumah bentuk aneh-aneh? Nah, Mbot sih bertindak lebih jauh lagi. Dia gambarin rumahnya sedang diserang naga.


Poster ilustrasi eksklusif dari Mbot.[2]



Yang Penting Berkarya
Pernah baca Komik Karpet Biru (KoKaBi)? Saya merasa cocok dengan sejumlah personil KoKaBi karena prinsip mereka selaras: "Nggak usah ngeributin gaya visual, yang penting ngomik!"

Kemarin saya baru dapat sejumlah edisi lama KoKaBi dari Bapak Ranger dan Ibu Ranger. Itu saja sudah cukup membuat saya bersemangat untuk ngomik lagi. Atau minimal corat-coret di kertas nemenin Aza.

KoKaBi sendiri berencana akan menerbitkan edisi ke-12-nya awal tahun depan. Dan sebagai edisi spesial, akan diisi oleh banyak kontributor seperti Dyotami, Tita, hingga Hikmat Darmawan.


Pasti ada orang-orang seperti ini di lingkungan sosial Anda. Kalau merasa buntu, lebih sering lah berinteraksi dengan mereka. Buatlah lingkaran pergaulan sosial yang mendukung untuk berkarya!

___________________________

[1]: Ini adalah gambar yang dipaksa masuk dalam tulisan sekadar untuk nyombong: Anda nggak punya, kan? Haha!

[2]: Idem. Nggak punya kan? Haha!

Saturday, December 06, 2008

Nggak Biasa Menawar Kambing?

Serahkan saja pada kambi--maksud saya, ahlinya. Anak-anak Bandung Blog Village dan Cafelounge siap membantu Anda!



Tinggal hubungi panitia di (022) 2030124 atau email ke: event@bbv.or.id. Mereka akan membantu mencarikan hewan kurban yang mirip And--maksud saya, sesuai dengan permintaan Anda!

Acaranya sendiri bekerja sama dengan DKM Masjid Raya Cipaganti. Mengapa? Karena sudah beberapa tahun terakhir, permintaan daging kurban jauh lebih banyak daripada kuantitas daging hasil kurbannya sendiri.

Jadi, kalau Anda merasa pembagian daging kurban di daerah Anda kok masih sampainya ke para tetangga sekitar juga yang tidak terlalu membutuhkan, segera kontak (022) 2030124 atau email ke: event@bbv.or.id.

Insya Allah lebih melegakan hati karena dibagikan kepada yang lebih membutuhkan.

Sekalian, silakan kunjungi acaranya juga di Masjid Raya Cipaganti. Mulai dari jam 6:00 pagi. Kalau mau ikutan sapu-sapu dari jam 5:00, silakan saja. Kalau memang sudah niat ibadah, mana mungkin kami melarang.

Berikut kutipan harga hewan kurban yang tersedia per ekor (dan ini kutipan asli yang saya dapat dari panitia, tidak saya ubah-ubah):


Domba: Rp900.000 - Rp1.700.000
Sapi: Rp7.000.000 - tak terhingga

Hebat, kan? Kapan lagi Anda bisa menyumbang kurban senilai tak terhingga? Saya nggak kebayang kalau ketemu sapi seperti itu mau nawarnya gimana.

"Kalau sapi yang ini harganya berapa?"

"Yang itu harganya tak terhingga, Kang."

"Bisa turun lima ribu? Biar ada kembalian buat angkot pulang."

Saya juga nggak bisa membayangkan masukkin kartu ke ATM kemudian muncul informasi saldo: "Tak terhingga". Lebih hebat lagi kalau sebagai mas kawin. "Dengan ini, saya terima nikahnya anak Bapak dengan mas kawin senilai tak terhingga dibayar DENGAN CINTA!"

Kembali serius, maksudnya "tak terhingga" itu adalah: silakan menambahkan serelanya dari harga sapi yang sudah disepakati nanti. Tidak kami batasi. Kalau memang mau dan mampu beramal, masa kami larang? Tentunya, kelebihan dari harga sapi tersebut akan dihitung sebagai zakat.

Ketua panitia, Ihwanul Iman, menjamin, bahwa kondisi hewan kurban yang ditawarkan sehat wal'afiat, tidak kurang suatu apa pun... Minimal sampai tanggal 8 Desember jam 8 pagi. Di atas jam itu, yang selamat pun bisa jadi trauma.

Akhir kata, mari beramal sesuai tujuannya. Di Masjid Raya Cipaganti, masih banyak yang membutuhkan kurban. Jika Anda belum menitipkan hewan kurban, silakan kontak (022) 2030124 atau email ke: event@bbv.or.id.

Semoga amal ibadah kita senantiasa bermanfaat.

Tuesday, December 02, 2008

Panduan Menikmati Pesta Blogger

Hah? Menikmati saja perlu panduan? Nggak salah tuh?

Sama sekali nggak. Pesta Blogger sudah lewat sepuluh hari. Ingar-bingarnya sudah meredup. Efeknya sudah mereda. Walaupun memabukkan, hangover pasti berakhir juga. Pasti ada saja di antara kita yang berpikir, "Tahu gitu, gua bakalan [isi sesuatu yang luput Anda lakukan--foto di antara Maylaffayza dan Nila Tanzil, misalnya]."

Nah, agar tahun depan tidak terjadi kesalahan yang serupa, mari sama-sama menyusun panduan menikmati Pesta Blogger.


  1. Jadi peserta saja

  2. Pada Pesta Blogger 2008, saya hanya jadi mitra kerja panitia. Itu saja keringatan melulu.

    Pertama, saya perlu membawa dua puluh kaos, lima belas tas kain sebagai goodie bag, sepuluh jaket, dua puluh tiga tali ponsel, seratus cutting sticker, dan delapan flash disk.

    Barang-barang ini menuh-menuhin satu tas yang bahkan bisa memuat mitra hidup saya, Donna (plus anak saya Chika sebagai bonus). Semuanya harus saya dan Donna bawa ke Jakarta naik-turun CitiTrans dan TransJakarta (terutama tangga haltenya yang tidak ramah terhadap para penggiring tas). Akhirnya, kami pisahkan isi tas ini ke dalam tiga tas yang lebih kecil. Tetap saja banjir keringat.

    Itu baru mitra kerja panitia. Jangan lupa: panitianya sendiri harus menyiapkan goodie bag untuk lebih dari 1.000 peserta.

    Saat acara berlangsung pun kesibukan juga tetap ada. Sebagai contoh, kami mencari narasumber untuk breakout session saja mesti menyisiri lantai 3 BPPT seperti anjing pelacak narkoba yang mendadak pilek. Sementara panitia harus mengurusi kebutuhan semua acara sekaligus. Dalam kondisi kurang tidur.

    Jadi peserta saja, lah. Serius.


  3. Jangan kurang tidur hanya karena mikirin dress code

  4. Hanya pakai kaos dan sandal? Silakan. Jaket biru dengan topeng paruh penguin? Kenapa nggak?


  5. Kalau memang mau bertemu seseorang, hubungi sebelum Hari-H

  6. Salah satu jenis komentar yang sering bermunculan di blog pasca-Pesta Blogger adalah: "Yah, kemaren kok nggak ketemu?"

    Ada lebih dari seribu orang berkumpul di satu lantai. Kalau nggak punya telepati, ya jangan berharap ketemu. Lebih baik hubungi orang bersangkutan via japri sebelumnya. Bertukar nomor ponsel. Kalau susah ketemu, tinggal telepon.


  7. Pastikan ada teman/kenalan di Pesta Blogger

  8. Mengikuti Pesta Blogger untuk yang pertama kali? Belum pernah aktif di komunitas blogger mana pun? Jangan datang sendirian. Akan sangat tidak menyenangkan memasuki suatu ruangan yang penuh dengan orang tapi malah merasa kesepian. Pesta Blogger baru benar-benar terasa sebagai pesta saat kita bertemu banyak kenalan. Lama maupun baru. Berbaur.


    Percayalah: tidak semua wajah di foto akan Anda ingat namanya

    Karena itu, panduan berikut sangat penting.


  9. Bawa kamera digital!

  10. Jangan menyesal belakangan seperti blogger dengan inisial Y.A.H.Y.A. K.U.R.N.I.A.W.A.N, yang tidak mau disebut namanya. Kembali serius, kita akan kesulitan mengingat begitu banyak nama baru. Akan lebih mudah mengambil foto dulu, ingat-ingat kemudian.


    "Pelajaran Hari ini: Teknik Fotografi Ekstrem oleh Eko dan Valen."



  11. Siapkan kartu nama superbanyak

  12. Terlalu banyak orang yang harus diajak ngobrol, terlalu singkat waktu yang tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kartu nama penting supaya pertemuan singkat tetap meninggalkan jejak. Minimal, Anda memberikan dia cara untuk kontak pascaacara ke blog Anda.


  13. Cetak dan bawa jadwal acara

  14. Selama dua tahun Pesta Blogger, selalu ada orang-orang yang berkeliling dengan wajah kebingungan. Apalagi menjelang breakout session. Prioritaskan dari awal breakout session yang Anda minati. Cari tahu ruangannya di mana saja. Dengan begitu, jika ingin pindah di tengah-tengah sesi, Anda tidak perlu membuang waktu untuk mencari-cari lagi.


  15. Bikin tradisi Anda sendiri!

  16. Sebagai contoh, saya membuat tradisi pose natural di depan papan foto Pesta Blogger.

    Pose natural pada Pesta Blogger 2007.


    Pada Pesta Blogger 2008, jauh lebih natural.



  17. Yang terpenting: perluas semangat pesta!

  18. Kalau belum puas, lanjutkan dengan berkumpul di luar acara. Nikmati hari itu!


    Pesta Blogger Perjuangan Tukang Lenong

Thursday, July 10, 2008

Semakin Fokus, Semakin Buta

Cobalah penggelitik otak sederhana berikut. Mampir ke situs ini, lantas tontonlah videonya.

Silakan. Saya tunggu.

Akan ada dua tim basket; hitam lawan putih. Kita akan diminta menghitung berapa jumlah operan yang dilakukan tim putih.



Cobalah.

Kalau sudah, tinggal turun ke tulisan di bawah.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
(Bagi yang belum, lebih baik coba dulu tonton videonya.
Akan jauh lebih mencerahkan. Percayalah.)
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Oke. Berapa jumlah operannya? Antara 10-15?

Tapi, bagi yang benar-benar menghitung, apakah Anda memerhatikan ada orang berkostum beruang yang menari mundur?

Oh, ada kok. Di klipnya sendiri jelas terlihat. Dan jika Anda benar-benar menghitung operan tim putih, bisa jadi Anda tidak akan melihatnya.



Fenomena ini disebut kebutaan akibat tidak memerhatikan (inattentional blindness). Video iklan itu sendiri mengadopsi video penelitian yang digunakan Daniel Simmons dan Christopher Chabris. Bedanya, mereka menggunakan orang berkostum gorila. Profesor Richard Wiseman dari University of Hertfordshire menunjukkan video tersebut kepada 400 orang. Hasilnya? Hanya sepuluh persen yang melihat gorila itu lewat.

Singkatnya, kalau perhatian kita terfokus pada satu hal, kita bisa terbutakan terhadap hal-hal lain.

Menurut saya, kebutaan ini bisa berlaku lebih umum. Jika kita terlalu fokus dalam mencari uang, misalnya, kita bisa buta terhadap hal-hal lain dalam kehidupan. Jika kita fokus pada kegagalan, kita bisa buta terhadap perbaikan diri dan pembelajaran yang kita dapatkan.

Padahal bisa jadi kunci kebahagiaan yang kita cari terletak pada beruang menari yang tidak kita lihat. Beruang ini bisa mencolok, bisa tidak; bisa juga berupa hal-hal kecil yang perlu kita lebih syukuri atau rayakan.

Jika kita terjebak dalam suatu rutinitas atau lingkaran yang membuat kita merasa terpuruk, cobalah gelitik pikiran sendiri. Berhentilah. Dan coba buka belenggu fokus kita.

Carilah beruang yang menari.

Tuesday, May 13, 2008

Mengenal Blog Kita dengan Jendela Johari

Pernah dengar istilah Jendela Johari? Ini adalah sebuah model sederhana untuk memetakan kepribadian kita. Anggaplah ada empat jendela, seperti di bawah ini.

Jendela Johari

Dari model tersebut, kita bisa mengenal dan membandingkan persepsi kita dan orang lain mengenai diri kita. Caranya mudah. Buatlah sekumpulan daftar sifat dan pilihlah yang kita pikir mewakili diri kita. Lantas minta teman atau kenalan kita untuk memilihkan sifat-sifat yang menurut mereka mewakili kita.

Bandingkanlah. Hasilnya bisa mengejutkan kita, terutama di Jendela II dan III.

Lantas renungkan: apa yang menyebabkan perbedaan persepsi tersebut?

Istilah Johari sendiri muncul dari kombinasi nama penciptanya, Joseph Luft dan Harrington Ingham. Walaupun diciptakan pada tahun 1950-an, model ini cukup bisa menjadi alat efektif untuk mengenal diri lebih jauh.

Bukan itu saja, model ini pun bisa menjadi alat pengukur citra sederhana bagi figur publik atau bahkan merek iklan.

Nah, bagaimana kalau kita menggunakannya untuk blog kita? Apa sih tujuan kita menulis blog? Menurut kita, tulisan-tulisan blog kita menyiratkan citra apa? Cerdas? Lucu? Dangkal?

Pertanyaan terpenting: apakah para pembaca menangkap kesan yang sama?

Cobalah gunakan dua alat bantu buatan Kevan ini:

  1. Membandingkan karakteristik positif

  2. Membandingkan karakteristik negatif

Dan bagi para pengunjung blog Bertanya atau Mati, tolong isikan Jendela Johari untuk blog ini, ya?

  1. Karakteristik positif blog Bertanya atau Mati!

  2. Karakteristik negatif blog Bertanya atau Mati!

______________________

Terima kasih untuk Eko.

Wednesday, February 06, 2008

Kiat Produktif Menulis Humor

Berdasarkan pengalaman spesifik menulis tiga puluh sketsa komedi per dua hari (karena sisa hari lain digunakan untuk revisi, pertemuan, dan rehat), saya dan donna juga belajar sejumlah kiat menulis produktif. Dan kiat-kiat ini bisa diterapkan untuk penulisan kreatif mana pun yang berfokus pada menangkap ide.


  1. Komputer adalah musuh inspirasi

  2. Jalan-jalan, bawa notes dan alat tulis. Lalu, begitu ada ide yang mampir, langsung tulis. Jangan buang waktu sama sekali.


  3. Tunda menulis ide = penyesalan tak berujung

  4. Sudah lebih dari sepuluh ide yang hinggap dan hilang karena tidak sempat ditulis.

    Bawa catatan dan alat tulis ke mana-mana. Siapkan di sebelah tempat tidur. Sebelum tidur, saat baru bangun, dan saat sedang boker adalah waktu-waktu di mana ide justru senang mampir.


  5. Hindari menulis skrip sebelum memiliki minimal dua puluh ide.

  6. Karena begitu kita mulai menulis skrip, ide baru yang muncul tidak akan lebih banyak dari lima. Dan umumnya merupakan pengembangan dari ide yang ada.

    Pikiran kita itu seperti mesin. Bisa di-tune up untuk prioritas pada kecepatan/kekuatan atau efisiensi. Namun, tidak bisa untuk dua-duanya sekaligus. Kalau cepat, berarti boros. Kalau efisien, berarti mengorbankan kecepatan.

    Dalam menulis juga begitu. Untuk mencari ide, kita mengejar efisiensi. Sebanyak mungkin menjaring ide yang mampir. Hindari komputer. Karena komputer membawa gangguan (distraction), dan bisa menggoda kita untuk berpindah modus. (Ini sekaligus penjelasan tambahan untuk poin 1.)

    Saat menulis skrip, kita fokus pada kecepatan atau kekuatan. Mesin kita begitu sibuk untuk menulis, sehingga kita tidak efisien lagi menjaring ide. Bisa jadi saat menulis ide-ide itu mampir, namun kita terlalu sibuk untuk sadar. Kita hanya sadar saat ide yang mampir mirip dengan yang sedang kita tulis.

    Lebih parah lagi kalau kita sedang menulis, sekaligus browsing internet atau chatting. Lupakan menangkap ide.

    Mari jujur saja: ide itu selalu mampir. Tapi kalau pikiran kita terlalu sibuk, kita tidak bisa menyadari bahwa ada ide yang mampir. Boro-boro mau menjaringnya.

    Jadi: kumpulkan ide sebanyak-banyaknya. Hindari komputer. Dan baru mulai menulis skrip setelah terkumpul banyak ide.

    Karena kami mencari tiga puluh sketsa, biasanya aku baru mulai menulis skrip saat sudah terkumpul tiga puluh ide. Sebelum itu, aku tetap fokus ke menangkap ide. Setelah lewat tiga puluh, baru... mulai menulis. Ubah setting pikiran menjadi kecepatan/kekuatan.

Selamat menulis. Break a pen!


____________________

Lebih lanjut mengenai mengubah pola pikir penulisan: Enam Topi Berpikir untuk Penulisan Kreatif.

Berbagi Pengalaman Penulisan Skenario Humor

Bagi sebagian yang belum tahu, saya dan donna sempat terlibat dalam penulisan skenario "Sketsa", acara komedi terbaru di TransTV. Walau pada akhirnya kami mengundurkan diri karena perbedaan prinsip, dari kerja sama ini kami mendapatkan banyak pembelajaran dan pengalaman.

Salah satunya karena kami sempat--dalam waktu dua hari--mengerjakan seratus sketsa komedi. Dalam segi banyaknya halaman, ini ekuivalen dengan empat episode untuk slot waktu 60 menit (termasuk iklan).

Pelajaran pertama: jangan lakukan itu lagi. Kecuali kalau memang sudah terbiasa.

Sayangnya, kami belum. Kecepatan rata-rata kami adalah 30 sketsa per dua hari. Jadi, itu seperti sprint gila-gilaan pada lima kilometer pertama maraton. Sisa perjalanan berikutnya, kami terpaksa terengah-engah dulu di tepi jalan.

Pelajaran berikutnya: jadwalkan penulisan.

Ini tampak aneh, karena penulisan kreatif adalah sesuatu yang tampak berlawanan dengan jadwal. Namun, percayalah, penjadwalan ini penting karena pada akhirnya, kita harus menepati tenggat waktu yang rutin. Salah satu dari poin penjadwalan adalah kapan kita tidak boleh "menulis", dalam arti duduk di depan komputer dan menulis skenario (corat-coret di kertas sih boleh.)

Dan kapan saat kita "rehat", dalam arti tidak berusaha keras menangkap ide. Namun, menjalani hari dengan santai sambil berbekalkan kertas dan pensil/pena. Kalau memang ada ide mampir, ya tangkap saja. Tapi kita tidak berkeliaran sambil jelalatan dan membawa jaring.

Dan terakhir: bersenang-senanglah. Karena itulah inti penulisan humor yang efektif.

Monday, December 17, 2007

Resolusi 2008 (Kena Toel)

Setelah kena to(w)el oleh Vanya dan Wiwin, saya sempat menengok sejumlah besar blogger yang mengikuti meme ini. Dari sebagian yang saya amati, ada yang:

a) Melakukannya sambil mengeluh
b) Menulis daftar secara syarat, yang penting ngerjain "PR"
c) Membuat resolusi setinggi langit
d) Sasaran keberhasilan rendah atau tidak ada--karena sudah terbiasa jarang tercapai

Menurut saya, daripada kita mengerjakan sesuatu setengah hati (baik karena aturan yang tidak kita mengerti maupun kurang minat) lebih baik ubah saja. Bikinlah jadi sesuatu yang mau kita kerjakan sepenuh hati.

Karena itu, saya mengubah aturan meme ini semena-mena.

  • Yang dikasih PR harus mengetahui dan memahami peraturannya
Pertama-tama, ini bukan PR (Pekerjaan Rumah). Mau bikin apa nggak, terserah. Tapi kalau mau bikin, lakukanlah karena kita mau. Bukan karena terpaksa. Dan setiap orang yang menulis resolusi ini berhak mengubah aturan sesuai kemauannya. Yang penting senang.
  • Tulis 8 kebiasaan yang akan di-resolusi di tahun 2008
Jumlahnya bebas. Ngapain ngarang-ngarang resolusi demi mengejar kuota? Atau membatasi resolusi padahal masih pengin lebih banyak. Yang penting: resolusi itu benar-benar ingin kita capai. Bukan sekadar ngimpi. Ngawang-ngawang.

"Bagus juga kalau aku lebih kurus, ya?" pikir kita sambil mengemil sepuluh bungkus keripik kentang Lay's di sofa, nonton VCD bajakan Gray's Anatomy secara maraton. Terus nulis, "Menurunkan berat badan". Lantas melupakannya begitu saja. Tahun depan kopas tulisan ini untuk Resolusi 2009. Lantas Rewind dan Playback untuk tahun-tahun berikutnya.

Kalau emang gitu, mendingan untuk poin pertama tulis saja: "Gagal mencapai resolusi apa pun yang akan saya tulis setelah poin ini". Dengan itu, kita akan selalu berhasil mencapai minimal satu resolusi.

Lho, Man, bukannya lebih baik gantungkan cita-cita kita setinggi langit? Ya. Tapi sadar dikit dong: manusia mencapai bulan pun tidak dalam setahun. Misalkan tujuan hidup kita sedikit tinggi, seperti menguasai dunia. Ya tujuan jangka panjang itu dipecah-pecahlah menjadi sasaran per tahun. Tahun pertama, menggalang dukungan RT dulu. Tahun pertama, menggalang dukungan kelurahan. Bertahap.

Bahkan dalam dunia kreatif pun begitu. Bikinlah tahapan. Jangan langsung bikin resolusi, "Gua mau bikin film layar lebar sendiri" saat kita bahkan belum tahu skenario itu formatnya seperti apa. (Kecuali kalau kita punya jaringan toko buku besar yang siap bangkrut untuk mendanai film tersebut.)

Saat Quentin Tarantino bukan siapa-siapa, bayangkan saja ia tiba-tiba ngomong ke calon produser, "Gua mau bikin film tentang Uma Thurman pake jumpsuit kuning yang nyabet-nyabet orang pake katana."

Produsernya paling ngomong, "Gua ngerti. Gua juga dulu suka ngegele."

  • Yang dikasih PR harus menyelesaikan PR dan harus diposting di blog masing-masing
Nggak usah. Lebih baik gunakan to(w)elan ini untuk merenung: apakah kita ingin benar-benar mencapai sesuatu dan bukan hanya ngimpi? Lantas apakah kita punya kriteria spesifik untuk mengetahui apakah kita sudah benar-benar mencapainya?

Jujur saja. Kalau kita menuliskan, "Menjadi orang yang lebih baik", lebih baik langsung coret sekarang karena itu akan gagal. Lah, tahu dari mana kita bakal berhasil?

"Oh, tahun lalu waktu Adi pinjam uang, aku tolak. Tahun ini, aku kasih. Berarti aku lebih baik, ya?"

Lebih naif sih, mungkin.

Tambahkan sasaran jelas untuk resolusi, jadi kita tahu apakah kita berhasil atau gagal mencapainya. Daripada "Menjadi orang yang lebih sukses", misalnya, lebih baik tetapkan apa yang ingin kita capai: "Menggolkan dua proyek dengan klien baru buat perusahaan" atau "Membuka bisnis butik online dengan minimal rata-rata transaksi lima per bulan".

  • Di akhir pengerjaan PR ini tulis 8 orang kontak MP yang kamu pilih untuk menyelesaikan PR berikutnya
Setelah kita selesai menulis resolusi yang ingin kita capai, sampaikanlah pada sejumlah teman (bebas mau berapa pun) untuk mengingatkan kita. Dan ini berlaku dua arah. Kita juga bisa mengingatkan mereka. Karena dalam perjalanan, kita sering melupakan tujuan. Untuk inilah adanya teman. (Berbagi tujuan diri, selain kesenangan maupun kesedihan.)

  • Jangan lupa untuk meninggalkan pesan di private message, guestbook dan reply blog atau kalau perlu bikin message alert untuk mengingatkan mereka supaya menyelesaikan PR-nya masing-masing
Jangan lupa mengingatkan mereka untuk memanfaatkan ini demi kepentingan mereka. Mereka bisa menggunakannya sekadar senang-senang. Atau serius untuk merenung dan menentukan sasaran dalam hidup. Terserah. Yang penting, jangan setengah-setengah.

Dan jangan mengeluh. Neil Armstrong tidak menjadi astronot pertama yang menginjakkan kaki di bulan karena mengeluh, "Kenapa mereka nggak pilih monyet aja, sih? Terus, kenapa bulan? Emang ada apa di sana? Gersang gitu..."

Almarhum Steve Irwin juga tidak meraih sukses sebagai Crocodile Hunter karena senantiasa mengeluh, "Buaya lagi, buaya lagi... Sekali-kali aku disuruh menjinakkan cewek, kek."

Tulislah resolusi ini karena memang mau. Atau menyenangkan.

__________________

Berikut ini, adalah resolusi saya untuk tahun 2008 (1 Januari 2008 hingga 28 Desember 2008).

  1. Mengajukan satu naskah novel ke penerbit dan diterima untuk diterbitkan (walau penerbitannya bisa jadi baru tahun 2009).

  2. Menjadi pembicara tiga kali. Bentuk acara bebas, asalkan secara formal diminta oleh instansi berkait, bukan informal seperti tiba-tiba berdiri di tengah-tengah kantin dan berorasi tentang pentingnya membersihkan WC (walaupun ide ini sangat menggoda).

    Update: Tercapai, terhitung April 2008.

  3. Membiasakan beraktivitas olahraga minimal sekali dalam seminggu. Bentuknya bebas. Yang penting debar jantung sempat naik hingga 10 detak per menit, dibandingkan saat kondisi normal. (Ya, itu--yang sedang kamu pikirkan--juga termasuk olahraga.)

    Update: Per 9 Juni 2008, masih tercapai. Tujuh bulan dua minggu lagi.

  4. Menyelesaikan satu skrip (minimal second draft), yang tidak akan saya jelaskan detailnya. Cukup sudah atau belum.

  5. Merealisasikan satu proyek penulisan bersama mitra hidup saya, yang detailnya baru akan saya bagi kalau berhasil--kalau gagal ya tidak.

    Update: Tercapai pada awal bulan Januari 2008. Keluar karena perbedaan idealisme pada awal bulan Februari 2008.

  6. Menyelesaikan draf awal satu buku humor, bisa fiksi atau nonfiksi. Dan bisa disatukan dengan poin resolusi (1).

  7. Mengantar Aza pada hari pertama ke sekolah (kalau emang akhirnya dia sekolah). Dan kalau tidak bisa, menggantikannya dengan menemani pada lima hari sekolah kapan pun pada tahun itu. Kalau Aza belum sekolah juga, ganti dengan menghabiskan lima hari bebas untuk melakukan aktivitas bersama nonelektronis. Dihitung satu hari saat lebih dari tiga jam intensif, pada tanggal yang sama.

    Update: tercapai pada tanggal 14 Juli 2008. Catatan: seragam TK Aza tampak seperti seragam pelaut mini. Untunglah modelnya tidak mengacu Donal Bebek, sehingga paling tidak Aza masih memakai celana.

  8. Menghasilkan satu gol yang sah dalam permainan futsal dengan menggunakan tendangan atau sentuhan akhir kaki kiri. Agar lebih bisa tercapai, gol ini tidak harus ke gawang lawan. (Ya, kendali kaki kiri saya seburuk itu.)

    Update: tercapai pada bulan Maret 2008. Masih ke gawang sendiri.


Teman-teman yang saya percaya untuk mengingatkan saya dalam mewujudkan resolusi ini  (selain yang sudah menoel) adalah Richoz, Haris, Umar, Donna (mitra hidup juga teman, lah), Mbak Poppy, Sonny, Paman Tyo, Qiqi, Om Roel, Pak Ranger, Bu Ranger, dan Sandy.

Seandainya mereka membuat resolusi yang memang serius ingin mereka capai, saya pun akan balik menolong mereka. Baik dalam mengingatkan atau bantu melakukan, saat resolusinya cukup menarik. Misalnya: menghancurkan CPU pribadi dengan palu godam--langsung undang saya!

Anggaplah ini to(w)elan halus. Kasar juga boleh.

Wednesday, November 21, 2007

Salah Satu Ujian Terberat Seorang Ayah...

...muncul ketika anaknya yang berusia tiga tahun memeluk dengan erat dan berkata, "Jangan pergi. Aku kangen."

Dan ia melepaskan pelukan itu dengan paksa, sebelum mengendarai mobil menuju tempat kerja, sambil tak bisa melupakan raut muka yang merasa terkhianati.

"Untuk apa kamu bekerja?" tanyanya pada rekan kerja.

"Agar nanti bisa hidup santai bersama keluarga," jawab sang rekan kerja mantap.

"Mengapa tidak melakukannya sekarang?" tanyanya lagi.

"Karena... belum bisa," jawabnya, tidak lagi mantap.

Sang ayah mengangguk. "Aku izin pulang," ujarnya. Ia beranjak kembali ke mobil.

"Lho? Kenapa?" sang rekan kerja panik. "Nanti kan meeting ama klien?"

"Karena hari ini aku memilih untuk bisa!" ujarnya tegas. Ia membuka dan membuang kemejanya. Terlihatlah kostum Superman. Dan ia terbang ke rumah. Ke pelukan anaknya yang menyambut dengan girang.

Dan sang ayah dalam dunia nyata pun sampai ke kantor. Ekspresi kecewa anaknya masih terbayang-bayang.

_________________________


NB: Makasih topi Mickey Mouse-nya, Gin. Lucu sekali. (Sayang tidak muat di kepalaku.)

Friday, November 16, 2007

Pilih Sendiri Petuahmu

Asumsikan Anda seorang pria muslim dan salat Jumat di Masjid Salman Bandung. Di sini, banyak anak menjajakan lembaran koran bekas untuk alas salat. Bahkan saat khatib (pendakwah) sudah mulai berbicara, mereka masih hilir mudik, menawarkan koran, dan bercanda dengan teman.

Anda hanya diam. Karena sebenarnya dilarang berbicara saat kotbah Jumat.

Seorang anak berkaos merah tampak bercanda dengan seorang teman yang lebih tinggi, berkaos bola warna biru. Anda memperkirakan usia si kecil sekitar tujuh tahun. Sementara yang lebih besar sudah lebih dari sepuluh tahun. Di sela bercanda, sang anak berkaos merah tiba-tiba berlari, mengincar seorang calon pembeli. Sekeping uang logam seratus rupiah jatuh dari sakunya tanpa berbunyi.

Tidak ada yang melihat ini, kecuali Anda. Oh, tidak juga. Teman sang anak melihatnya. Dia mendekati uang itu. Namun, alih-alih mengambil, ia malah menginjaknya. Ia lantas berdiri tenang. Menunggu. Setelah si kaos merah agak jauh, ia melihat sekeliling, mengambil uang tersebut dan mengantunginya.

Anda terkesiap. Apalagi setelah itu, si kaos bola warna biru kembali bercanda dengan si kaos merah. Seakan tidak ada apa-apa.

Memang tidak ada apa-apa. Kalau saja Anda tidak memergokinya. Apakah yang akan Anda lakukan?

(a) Langsung bangkit dan memarahi si kaos biru. Karena perbuatannya melanggar perintah agama. Tentu saja, dengan berbuat begitu, Anda juga sama bersalahnya. Karena tidak boleh berbicara selama kotbah. Tapi toh, yang penting Anda sudah menegakkan tiang agama. Caranya nggak masalah dong! Yang penting Anda merasa benar. Dan orang-orang melihat bahwa Anda memiliki posisi yang benar. Kalau nggak, Anda bisa menjelaskannya ke semua orang. Tentu saja! Pendapat orang lain juga penting. Yang salah kan dia. Berarti Anda tidak salah.

(b) Menunggu salat Jumat selesai baru memarahi anak tersebut. Tidak masalah waktunya sudah nggak pas. Toh anak itu nggak akan bisa berkelit. Siapa yang lebih kredibel? Seorang anak penjaja koran atau Anda? Jelas Anda! Masyarakat menilai dari usia dan kepintaran berbicara. Lihat saja sinetron. Oke, ini contoh yang salah. Tapi Anda tahu orang-orang lain pasti mengerti maksud Anda.

c) Menunggu salat Jumat selesai lantas mengajak anak itu untuk berbicara empat mata. Dengan penuh semangat, Anda menyampaikan bahwa dalam beberapa tahun mendatang, persahabatan akan jauh lebih penting daripada uang--apalagi hanya seratus rupiah. Tentu saja, dia akan menjawab, "Saya perlu makannya hari ini, Pak. Bukan bertahun-tahun lagi." Anda kembali menyampaikan bahwa kaos bola yang bersih dan sandal gunung yang ia pakai sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia kurang makan. Anda pun melangkah pergi dengan berbangga hati. Anda telah membuat seorang anak mendapatkan ajaran penting. Oke, mungkin dia pergi sambil menggerutu dan memaki-maki. Tapi dalam hati, pasti dia tahu Anda benar! Kenapa nggak? Benar, kan? Kan?

(d) Anda pura-pura tidak melihat saja. Bukan urusan Anda. Dengan begitu, Anda telah mengajarkan pada sang anak panduan kehidupan penting: dia bisa melakukan pelanggaran, asalkan tidak ketahuan. Ini panduan yang penting. Semua orang melakukannya kok. Iya, kan? Oh, nggak, Anda tidak menuduh siapa-siapa kok. Anda hanya maklum. Maklum adalah ciri kebijaksanaan. Atau ketidakpedulian. Tapi kebijaksanaan terdengar lebih enak. Ya, betul, merasa bijak itu menyenangkan. Bijaksana saja lah kalau begitu.

(e) Anda melihat semua pilihan yang ada dan jadi bingung sendiri. Waktu semakin berlalu. Dan semakin tidak relevanlah kalau anda menegur anak itu sekarang. Anda berhenti, menoleh pada si anak. Lalu jalan lagi. Berhenti. Jalan. Berhenti. Sudah terlalu jauh. Sudahlah. Mendingan menulis saja di blog. Dengan begitu, Anda akan berbagi kebingungan dengan orang lain. Dan dengan begitu, Anda jadi tidak merasa begitu kesepian. Ada teman. Walau itu tidak mengubah fakta bahwa Anda jadinya tidak melakukan apa pun, dan sama saja dengan pilihan (d). Anda hanya lebih pretensius dan konformis.

(f) Suatu tindakan yang begitu bagus sehingga Anda tidak tahan untuk tidak menuliskannya di bagian komentar untuk menunjukkan, "Kok gini aja nggak kepikiran sih?" Tentu saja Anda tahu bahwa pada kenyataannya, hal yang Anda tulis bisa jadi tidak akan sempat Anda pikirkan karena kondisi nyata berbeda dengan kondisi santai membaca di komputer tanpa merasa terlibat. Tapi toh, apa bedanya? Yang penting Anda bisa menulis apa yang Anda mau lakukan. Dan itu membuat Anda merasa benar. Dan merasa benar itu begituuuuu enak. Aaaaaah.