Monday, March 19, 2007

Lima Pertanda Dokter Gigi Anda Bermasalah

Berdasarkan pengalaman yang saya tulis dalam buku Bertanya atau Mati (BaM!), berikut adalah lima ucapan (dan gerak-gerik) dokter gigi yang perlu kita awasi.

5) "Sepertinya gusi kiri Anda sariawan. Saya tambal deh, geraham Anda."

4) "Kabar buruknya, Mas," ujar sang dokter sambil tersenyum simpatik. "Gigi bungsu Anda harus dicabut dan saya kehabisan obat bius."

3) "Tapi kabar baiknya," tambah dia sambil mengangkat jari telunjuk. "Saya baru minggu lalu belajar hipnosis."

2) Ia menyedotkan suatu cairan ke dalam suntikan, lalu mengerutkan kening. "Suster," ia menunjukkan botol yang tadi disedot kepada asistennya. "Ini gambar tengkorak atau bukan sih?"

1) Jarinya menunjuk-nunjuk beberapa peralatan. "Cap cip cup, kembang kuncup. Ah, bor."

Misteri Gedung Kantor Baru #1

Gedung baru kantor kami menggunakan toilet uniseks. Seperti pada Ally McBeal, tapi lebih kecil (hanya memiliki tiga bilik) dan para pengunjungnya tidak terlihat seperti orang-orang anoreksik.

Toilet uniseks ini juga terletak dekat dengan wireless access point. Sehingga sambungan internet dalam toilet cukup bagus. Bisa jadi nanti kami harus menyiapkan papan baru untuk digantung di depan bilik yang sedang dipakai, "Uploading in process... please wait."

Dan toilet uniseks ini memiliki satu misteri.

Di bilik paling kiri, tepat di sebelah toiletnya[1], tertempel sebuah prakarya berbentuk gajah (atau ayam yang baru disiksa) bertuliskan sebuah nama: Adel. Ini memang peninggalan taman kanak-kanak yang menempati gedung ini sebelumnya. Karena beberapa hal yang menarik kami biarkan apa adanya.

Namun, kami tak habis pikir, kira-kira apa yang melatarbelakangi ini, ya?

Apakah:
a) Tiap murid diwajibkan menempelkan catatan pribadi berapa kali ia ke WC?

Mungkin taman kanak-kanak itu memiliki aturan: setiap memecahkan rekor berapa kali masuk ke toilet dalam sehari, tempelkanlah gambar binatang yang ukurannya mewakili jumlah.

Misalnya:
Cacing --> 5 kali.
Ular --> 10 kali
Gajah --> Ke dokter, yuk?

Dengan begini, tugas guru jadi lebih mudah untuk memantau kesehatan pencernaan anak-anak.

Atau

b) "Adel" adalah nama anak pindahan baru yang nasibnya kurang beruntung.

"Selamat bergabung, Adel," sambut sang guru berbarengan seisi kelas. "Mulai sekarang, kita satu keluarga. Sayangnya, kursi dalam kelas sudah terisi semua." Sang guru tersenyum, "Tapi jangan khawatir. Kami sudah menyiapkan satu kursi spesial bagi kamu. Bahkan ada nama kamu khusus tertempel di temboknya."

Apa pun jawabannya, ini adalah misteri gedung kantor baru kami yang pertama.[2]

______________

[1]: Tahukah Anda bahwa salah satu definisi "toilet" oleh kamus Microsoft Encarta adalah "ruangan dengan toilet"? Ini tampak sama seperti mendefinisikan "kamar" sebagai "ruangan dengan kamar". Namun, keanehan ini sebenarnya terjadi karena istilah "toilet" mengacu kepada dua hal: benda yang menjadi sasaran buang air kita, dan ruangan itu sendiri yang kita gunakan untuk menyatu dengan alam. (Sementara kalau bisa memilih, alam sendiri akan menolak.)

[2]: Lantas bagaimana kalau tiba-tiba nanti di tembok bilik toilet paling kanan tertempel gambar beruang (atau monyet yang baru disiksa) bertuliskan "Isman"? Apakah ini merupakan suatu pertanda? (Pertanda bahwa saya harus menyiapkan kartu nama baru dengan jabatan, "Penghuni Toilet Profesional"?)

Berkantor di "Pantai" yang Tinggal Angan-angan

Bulan Maret ini, perusahaan saya pindah kantor. Kini kami menempati gedung bekas taman kanak-kanak.

Saat menemukan lokasi ini, hampir semuanya bersemangat. Karena bersih, luas, dan halaman dalamnya memiliki area lebar yang dipenuhi pasir pantai. Lengkap dengan serodotan. Dua kata pertama yang muncul di benak kami kala foto-foto gedung ini disebar adalah: "Voli pantai!"

Seisi ruangan saya juga langsung membayangkan skenario pulang kantor; kami muncul sambil bersendal jepit, bercelana hawaii, dan berkacamata hitam. Orangtua, teman kos, atau pasangan kami akan mengangkat alis, "Tadi di kantor ngapain aja?"

"Akses internet sambil serodotan," ujar kami sambil mengacungkan jempol.

Saya bahkan sempat mengusulkan agar kami membuat kartu nama dengan jabatan khusus, misalnya, "Pemrogram Sambil Meluncur Profesional".

Hanya ada satu orang yang kurang bersemangat. Dan setelah ditanyai mengapa, ternyata karena ia tahu satu hal: serodotannya bakal dijual oleh pemilik gedung. "Bagaimana dengan pasirnya?" tanya kami panik.

"Dijual juga," ujarnya lirih.

Bayangan petualangan pantai kami ternyata hanya berusia pendek.

Tuesday, March 13, 2007

Pojok Penulisan Kreatif: Membuat Cerita Lebih Berbobot

Tanya:
Bagaimana cara membuat cerita kita jadi lebih berbobot?

Jawab:
Mungkin akan terdengar membosankan, tapi jawabannya adalah: menguatkan dasar-dasar penulisan kreatif.

a) Penggunaan tanda baca dan diksi
Menguasai tanda baca bukan sekadar tahu di mana menaruh titik, koma, tanda kutip dan kawan-kawan. Melainkan juga paham fungsinya. Misalnya, koma memberikan jeda. Sementara titik menyuruh kita berhenti dan menyatukan makna kalimat yang kita baca.

Pengolahan diksi juga bukan sekadar menggunakan kata-kata yang terasa indah. Atau pengulang-ulangan. Namun juga bagaimana menyampaikan cerita agar terasa mengalir. Dan terbayang jelas di benak.

Jangan sembarangan memanjangkan kalimat dengan merantai-rantai koma. Atau lupa diri membumbui kalimat dengan kata-kata indah. Karena bisa membuat pembaca kehabisan napas.

Napas? Ya, ada yang namanya napas membaca.


b) Menyamakan napas membaca (bermain pewaktuan)
Dalam menari berpasangan, kita akan diajarkan untuk menyamakan napas dengan pasangan kita. Menulis juga sama dengan berdansa. Kita perlu menyamakan napas dengan pembaca. Kalau kita terus-menerus membawa pembaca dengan alur cepat, mereka bisa ketinggalan langkah.

Cobalah ingat saat kita asyik membaca cerita. Cerita serasa berputar di benak kita. Menari. Ketika kita harus membalik halaman untuk membaca sekali lagi, keasikan itu terganggu. Tarian di benak kita berhenti. Terpaksa mulai lagi dari berpegangan tangan dan melangkah.

Dan itu meliputi juga dua bagian berikut;

c) Menguntai paragraf
d) Menyajikan alur cerita

e) Penokohan dan interaksi antartokoh
Inilah faktor utama pengait emosi pembaca. Plot kita bisa sederhana saja: cinta antara dua orang manusia. Tapi dengan tokoh yang kuat, pembaca bisa tetap memiliki keterkaitan emosi yang hebat.

Apa hubungannya lima poin di atas dengan cerita yang lebih berbobot? Memangnya, apakah definisi berbobot bagi kamu?

1) Apakah menulis cerita yang tidak pernah dipikirkan orang sebelumnya?

2) Apakah menulis plot yang begitu kompleks agar pembaca bingung dalam memahaminya?

3) Atau apakah menulis suatu cerita yang berisikan suara khas kita, penulisnya? Sehingga karya ini menjadi otentik?

Bagi saya, cerita berbobot itu adalah yang ketiga. Cerita jenis pertama sudah tidak ada lagi di dunia. Dan jenis kedua pasti berhasil dalam tujuannya: membuat bingung.

Tapi ini sekadar pendapat saya. Bisa saja salah.

Saturday, March 10, 2007

Saat Syok Anafilaktik, Jangan Baca Ini

Ketika menunggui Donna dalam kamar bersalin, saya iseng-iseng memerhatikan sekeliling. Salah satu yang menarik adalah poster berikut ini.


"Waduh," pikir saya. Apa pun syok anafilaktik itu, saya langsung berharap Donna tidak kena (baru belakangan saya tahu bahwa itu reaksi alergi tingkat terparah). Karena saya enggan membayangkan saat Donna sedang melahirkan, salah satu perawat tiba-tiba berteriak, "Syok afilaktik!"

Dan semua perawat langsung merubung poster ini. "Oke, sekarang dia sedang di tahap ini," tunjuk seorang perawat.

"Bukannya yang ini?" tunjuk perawat lain.

"Sebentar," tahan seorang lagi. "Tadi dia bilang afilaktik. Ini kan anafilaktik."

Yang lain mengangkat bahu, "Maksud dia emang anafilaktik."

"Tapi beda dong artinya," ujar si pemrotes ngotot. "Kalau salah kan gawat."

"Mbak," potong saya, "kalau istilah medis untuk suami panik melihat istri kejang-kejang dan mulai melempar-lempar pisau ada nggak?"

"Nggak ada sih," jawab mereka serempak. "Kenapa emang?"

"Karena kalau kalian tidak berhenti bertengkar dan segera mengobati istri saya, saya akan menjadi kasus pertama!" seru saya.

Tulisan di bagian bawah poster ini juga tidak membuat kecemasan saya hilang.


Poin pertama berbunyi, "Sebaiknya tidak menyuntik tanpa indikasi/alasan yang jelas." Setuju. Dan yang terakhir, "Berdo'a sebelum bertindak." Amin (asalkan bukan ayat kursi atau yang lebih panjang lagi).

Seharusnya mereka menambahkan satu bagian khusus: "Kalimat yang Tidak Boleh Diucapkan Kepada (Keluarga) Pasien".

  • "Ngomong-ngomong, Anda ikut asuransi, kan?"
  • "Eum, bisa tolong bacakan? Mata saya sedikit bermasalah."
  • Apalagi kalau ditambah dengan
  • "Bacanya yang keras dikit, Pak. Pendengaran saya juga sudah kurang."

Monday, March 05, 2007

Mulailah dari Hal Kecil

Dalam seminarnya pada hari Sabtu, 17 Februari 2007 di Grand Aquilla Bandung, Rhenald Kasali mengajak para peserta untuk melakukan satu hal: berubah!

Perubahan ini tidak perlu fenomenal. Justru mulailah dari hal kecil. Rhenald menyitir contoh dari buku Tipping Point-nya Malcolm Gladwell. Dalam buku itu, diceritakan bagaimana William J. Bratton, kepala Polisi Transit New York, mengurangi tingkat kejahatan kota metropolis ini dengan satu hal kecil: menindak orang-orang yang naik kereta tanpa bayar.

Tidak tanggung-tanggung, penindakannya sangat tegas: pelanggar diborgol di pintu masuk sampai sore. Tadinya, penerobosan gerbang tanpa bayar adalah hal yang dianggap keren. Dengan kebijakan baru ini, pelanggar jadi dipermalukan di depan umum.

Dan ternyata, sebagian besar pelanggar adalah pelaku kejahatan yang lebih besar. Beberapa pelanggar adalah perampok kelas kakap. Sebagian lain membawa senjata tajam dan api. Sebagian lain adalah pemerkosa atau pelaku kejahatan lain yang sedang melarikan diri. Ketika Bratton diangkat menjadi kepala polisi kota New York pada tahun 1994, ia juga tetap berfokus kepada penindakan hal kecil: mabuk-mabukan di tempat umum, membuang sampah di jalan, maupun buang air kecil sembarangan.

Hasilnya: tingkat kejahatan di negara bagian New York menurun drastis. Selama tahun 80-an, rata-rata tindakan kriminal di kota New York per tahun melebihi dua ribu pembunuhan dan 600 ribu tindak kekerasan serius. Namun, di tahun 1996, jumlah kejahatan menurun drastis menjadi sepertiganya. Kekerasan di kereta bawah tanah bahkan turun sebanyak tujuh puluh lima persen.[1]

Bratton melakukan ini berdasarkan apa yang disebut Teori Jendela Pecah (The Broken Windows Theory). Para penggagas teori ini, James Q. Wilson dan George Kelling, menawarkan analogi sebuah lingkungan rumah yang aman dan asri. Cobalah kita pecahkan satu kaca rumah dengan batu. Lambat laun, suasana yang tadinya aman dan bebas dari kejahatan menjadi tempat yang "membolehkan" terjadinya pengrusakan. Akan ada satu atau dua jendela lagi yang pecah. Dan jika itu pun dibiarkan, lingkungan yang tadinya
aman akan menjadi sarang pelanggar.

Kalau di Indonesia, mungkin analogi dan nama yang lebih tepat adalah Teori Puntung Rokok. Dalam satu kantor yang bersih, cobalah jatuhkan puntung rokok di karpet ruang tamu. Diam-diam, instruksikan penjaga kantor agar tidak membersihkan sampah apa pun yang ada di ruang itu. Besoknya, puntung akan ada teman. Bisa jadi robekan kertas. Bungkus makanan. Lama-lama ruang tamu menjadi sarang sampah.

Setelah itu, cobalah kita instruksikan agar penjaga membersihkan ruang tamu lagi. Besok pagi, sudah akan ada sampah lagi. Karena lingkungannya sudah membolehkan terjadinya pelanggaran. Sehingga pelanggaran ini menjadi kebiasaan.

Rhenald menyampaikan bahwa inilah kenapa KPK kesulitan menindak korupsi di Indonesia. Karena yang diarah adalah kasus. Padahal kasus ini muncul karena kebiasaan. Kebiasaan yang diperbolehkan oleh lingkungan. Yang harus diubah adalah lingkungannya.

Dan ini dimulai dari hal-hal kecil: pegawai pemerintah yang korupsi waktu, makan gaji buta, atau menilep alat-alat tulis kantor. Semua ini dianggap wajar, sehingga berakar menuju hal-hal yang lebih besar.

Selain dari pelanggaran yang dibolehkan, bisa juga dari tidak adanya penghargaan bagi kelakuan yang "benar". Sebagai contoh, cobalah tempatkan seseorang yang kreatif dan vokal di instansi pemerintah standar yang menekankan kepada senioritas dan "sopan-santun". Dia akan banyak berkontribusi pada rapat-rapat awal, tapi malah dibenci rekan-rekannya karena memperpanjang masa rapat. Mungkin juga dimusuhi atasan karena sering membantah. Solusi-solusinya yang melintas pakem (out of the box) dijegal karena dianggap "tidak sopan" atau "melangkahi senior".

Lama-lama, dia juga akan seragam dengan rekan-rekan kerjanya: malas berpikir.

Kunci:

  1. Temukan kebiasaan-kebiasaan kecil apa saja yang berlaku di organisasi atau lingkungan kita

  2. Tanyakan pada diri: apakah kita telah menjadi korban dari kebiasaan? Kalau tidak, apakah ada hal lain yang jadi korban?

  3. Ingatlah bahwa tidak ada solusi atau kebiasaan yang sempurna. Yang ada hanyalah solusi atau kebiasaan yang lebih baik.

  4. Temukanlah dan terapkan kebiasaan kecil yang lebih baik tersebut



[1]: Ada berbagai kritik terhadap teori ini. Salah satu yang populer adalah kritik Steven D. Levitt dalam bukunya, Freakonomics. Malcolm Gladwell sendiri menjawab melalui satu artikel blognya, "Thoughts on Freakonomics". Menurutnya, Teori Jendela Pecah dan buku Freakonomics tidak bertentangan. Malah saling melengkapi.

Friday, March 02, 2007

Sachika Haniyya Evereska: Nama yang Diharapkan Jadi Panduan

Untuk anak kedua kami, saya dan Donna menggunakan nama sementaranya sebagai panduan.

Sachika berasal dari bahasa Jepang. Tergantung kanjinya, ia memiliki dua makna: "luar biasa" atau "kebahagiaan ganda". Kami mengartikan ini sebagai prinsip dan harapan. Membahagiakan diri dan orang lain (khususnya orang-orang yang disayangi) adalah bentuk kebahagiaan ganda. Dan cukup dengan begitu, setiap orang biasa akan menjadi luar biasa.

Haniyya dari bahasa Arab. Yang artinya juga kebahagiaan. Karena kalau bisa tidak hanya berhenti pada membahagiakan diri sendiri dan orang-orang yang disayangi. Namun menyebar juga ke lingkungan. Masyarakat. Jadilah kebahagiaan rangkap tiga.

Intinya: mulailah dari diri sendiri, kemudian orang-orang yang disayangi, baru lingkungan/masyarakat.

Kemudian Evereska dari bahasa Elf, yang artinya rumah benteng. Ini adalah petunjuk sekaligus harapan. Di mana pun ia berada, semoga ia dapat membuatnya menjadi tempat/lingkungan yang aman (benteng) dan nyaman (rumah). Atau bahkan dirinya sendirilah rumah benteng tersebut.

Seperti pada Aza, saya dan Donna berharap bahwa nama ini tidak menjadi suatu beban bagi Chika. Melainkan suatu pencerahan. Bukan pula perencanaan atau arahan. Melainkan panduan.

Di saat Chika menemui berbagai hambatan maupun tantangan dalam hidup, semoga ia dapat senantiasa mendapatkan pencerahan dari namanya. Akan tiba pula saat kami sudah tak bisa mendampinginya dalam hidup. Pada saat-saat seperti itu, semoga nama tersebut bisa menjadi panduan; menggantikan diskusi, obrolan, maupun sekadar pelukan hangat.

Ini mungkin makna yang kami interpretasikan sekarang. Namun, satu saat nanti, ia akan bisa berpikir untuk diri sendiri, dan mencari (atau malah membentuk) makna namanya sendiri.

Kami ingin menyambut saat itu dengan suka cita.

Thursday, March 01, 2007

Satu Hal Apakah yang Akan Menyiapkan Kita Untuk Jadi Ayah?

Jawabannya: tidak ada.

Bahkan pengalaman pun tidak. Saat saya membaca tulisan lama tentang kelahiran anak pertama, saya kembali menyadari itu. Fase yang saya dan Donna lalui adalah:
a) Perencanaan superbanyak
b) Pelaksanaan superkacau
c) Improvisasi besar-besaran penuh emosi
d) Berhasil melaluinya sambil menertawakan diri

Dan kini, pada kelahiran akan kedua, kami sudah mengulangi tiga poin pertama. Apalagi setelah Chika, anak kedua kami, harus diboyong kembali ke RS karena kadar bilirubin yang terlalu tinggi. Semoga saja terus pada (d).

Bagi yang belum membacanya, berikut adalah tulisan lama yang saya sebut di atas.




Halo dari Bandung. Tepatnya dari kamar yang lima menit sebelumnya menyaksikan pertarungan dramatis antara Ayah Amatiran melawan Popok Kotor.

Kedudukan sementara:
Popok Kotor vs Ayah Amatiran
----- 7 vs 1 -----

Bintang Tamu: Bayi yang Tanpa Aba-aba Akan Mengencingi Siapapun yang Membuka Celananya (15 kali).

Terima kasih atas ucapan selamat dan doa teman-teman. Alhamdulillah, proses kelahiran anak pertama kami berlangsung normal dan lancar. Selancar apa? Kita mulai saja dari awal.

Proses Kelahiran
Dari tanggal 22 Juni 2004, tanda-tanda jabang bayi siap nongol sudah muncul. Flek mulai keluar. Kontraksi ada walaupun belum teratur. Dan skala sakitnya masih berbeda. Dari skala 1 ("Eh, kayaknya kontraksi, A.") hingga 3 ("Ow ow owwwwwwwwwwww!"). Saya dan Donna sudah menyiapkan stopwatch. Begitu jarak antarkontraksi di bawah lima menit dan durasinya mencapai empat puluh detik, Donna akan segera dilarikan ke Rumah Sakit Bersalin (RSB) Limijati di Jalan Riau Bandung.

"A! A! A!" tangan Donna mengangkat minta perhatian. Wajahnya mulai menegang.

"Oke, Nna!" Saya menyalakan stopwatch dengan sigap.

...Beberapa lama kemudian...

"Udah," ujar Donna lemes. Napasnya terengah-engah.

"Sip!" Saya menghentikan laju stopwatch.

Donna mengembuskan napas panjang, "Berapa lama?"

Aku mengangguk dengan tegas, "Nggak tahu. Angka sebelumnya lupa di-reset."

Untunglah wanita hamil tua tidak bisa bergerak cepat, sehingga tidak terjadi kekerasan rumah tangga.

Ternyata, enam hari kemudian baru mulai pembukaan satu. Berhubung ini kehamilan pertama, dokter kandungan memberikan saran medis yang profesional, "Santai aja dulu, Bu." Ia berkata bahwa rata-rata kenaikan ke pembukaan berikutnya berlangsung tiap dua jam. Setelah pembukaan empat atau lima baru meningkat. Daripada berstres ria nunggu di rumah sakit dari jam satu siang, mendingan jalan-jalan saja.

Begitu mendengar kata "jalan-jalan", kami langsung setuju. Kami pun pergi kencan. Makan siang. Lihat-lihat buku. Dan seperti biasa, diserang tatapan curiga para penjaga toko saat belanja. Besarnya kehamilan Donna memang terfokus pada perut, hingga bagian tangan dan pipi masih terlihat normal. Bisa jadi kami dicurigai mengutil susu kaleng.

Sekitar jam empat sore, ternyata skala kontraksi menanjak ke empat (YOOOOW!). Kembalilah kami ke RSB, hanya untuk mendapati bahwa pembukaannya masih dua. Ya, sudahlah. Kamarnya sudah terburu disiapkan. Sehingga kami tempati saja dengan riang. Saat memindahkan barang, kami langsung disambut penghuni kamar lain dengan akrab, "Ini mau melahirkan atau pindahan?"

Haha. (Dia kami coret dari daftar bagi-bagi kue nanti.)

Kami berdua memutuskan menunggu di kamar dengan tertib. Dan bermain-main dengan dipan tidur yang ternyata bisa dinaikturunkan.

Sekitar jam enam sore, Donna mendengar suara "pop!" Seperti letupan balon permen karet. Ternyata ketubannya pecah! Donna pun segera dipindahkan ke kamar bersalin. Skala kontraksi menanjak drastis menjadi tujuh (WADDDDDAAAWWAAAAA-WAAWAAAAAAAAAW--dan ini teriakan saya karena genggaman tangan Donna keras sekali.)

RSB Limijati memiliki kebijakan bahwa suami tidak boleh ikut menemani istri saat proses kelahiran atau pemeriksaan, kecuali ada izin dokter. Sayangnya, mereka baru menginformasikan kebijakan tersebut saat itu juga. Jadi saya tertendang keluar. Baru diizinkan masuk lagi saat pemeriksaan beres.

Sempat ada potensi untuk drama sinetron, ketika pembukaan sudah lewat delapan. Donna dapat merasakan bayi akan brojol sebentar lagi. Karena itu, ia protes tanpa henti, "Suster, mana suami saya!" Volume suara meningkat setiap kali perawat menjawab, "Sabar, Bu."

Tak lama, lengkingan Donna terdengar dari luar. Sehingga kalau pengin bikin ribut, sebenarnya bisa saja saya balas berteriak, "Istriku!"

"Suamikuuuu!"

"Istrikuuuu!"

"Pasienkuuu!" para perawat juga ikutan dramatis.

"Waktu tidurkuuuu!" protes pasien yang lain.

Tapi saya sadar bahwa sang Kepala Perawat bukanlah tipe yang akan melanggar aturan dalam keadaan apa pun. Kalau ia seorang polisi lalu lintas dalam daerah yang terkena bencana banjir, ia akan tetap menilang semua pelanggar lampu merah.

"Lampu merah mana?" protes mereka.

"Itu, sekitar dua meter di bawah perahu karet kalian," ujarnya kalem.

Jadi saya hanya bisa menunggu. Untunglah, tidak sampai lima menit, sang dokter sudah berlari-lari datang.

Langsung saja saya menyambar, "Boleh ikut masuk, Dok?"

"Boleh!"

"Siiip!" ujar saya menyeruak ke dalam.

"Eh, nggak boleh masuk, Mas!" protes seorang suster.

"Lho, udah ada izin dokter, kok!"

"Iya, tapi ruang istri Mas di sebelah! Ini istri orang."

Singkat kata, proses kelahiran berlangsung normal dan lancar. Memang, sempat muncul adegan horor ala film Alien dengan anggaran berlebih untuk efek darah. Tapi alhamdulillah, ibu dan anak sehat-sehat saja. Paling tangan saya saja yang mati rasa digenggam Donna.

Catatan untuk para calon suami yang akan menemani istrinya di kamar bersalin: betapa pun mengagumkannya melihat dokter bisa menarik keluar bayi yang begitu besar dari rahim istri... harap tahan diri untuk tidak bertepuk tangan. Ini bukan pertunjukan sulap.

Mengenai Nama
Berkaitan nama, saya dan Donna sudah cukup lama berdiskusi. Hasilnya: kami tidak ingin anak dibebani oleh nama.

Keluarga saya cenderung menginginkan nama muslim yang bagus. Tapi saya berpikir realistis saja. Zaman saya masih SD, dari sepuluh orang yang dipanggil ke ruang guru, lima di antara mereka memiliki nama depan Muhammad atau Ahmad (artinya: yang terpuji). Dalam kasus mereka, artinya meleset sedikit: satu generasi dan satu huruf. Jadinya, orangtua merekalah "yang teruji".

Intinya, kami percaya nama jangan terlalu membebani anak. Karena ada saja yang bisa memenuhi harapan namanya. Tapi banyak juga yang tidak. Cukup carilah nama yang
a) Menyimbolkan harapan baik
b) Kalau disebutkan tidak membuat sepuluh orang di sekitar ikut menjawab

Idealnya, kami ingin sang anak memilih namanya sendiri. Tentu saja, sekarang belum bisa. Karena pilihan namanya hanya sedikit: Uwaaaa, Oeeee, ama Eneeeeee. Berarti, sebelum dia bisa menentukan mau jadi orang seperti apa, tentunya dia perlu panggilan lebih dari sekedar "Hei!" atau "Eh, cowok!"

Menimbang semua hal di atas, saya dan Donna mempersiapkan nama sementara untuk anak kami, yaitu "Riordan Azad Zen".

"Riordan" dari bahasa Celt untuk "Bard". Bukan mencerminkan profesi atau beban agar menjadi orang yang sesuai keinginan orangtua, melainkan karakteristik. Intinya, berharap agar ia dapat mengapresiasi musik dan penceritaan sambil tetap bersosialisasi, sebagaimana seorang bard. "Azad" dari bahasa Arab untuk "Bebas" dan "Mandiri." Biarkan ia bebas untuk memilih dan menjalani hidupnya sendiri dengan konsekuensinya, dan secara mandiri. "Zen" dari bahasa Jepang untuk "enlightenment" atau "pencerahan". Semoga apa pun pilihannya, ia senantiasa mendapatkan pencerahan.

Panggilannya adalah "Hei, cowok!"

Bercanda, kok. Panggilannya adalah Aza.

Nanti saat sudah dapat berpikir bagi diri sendiri (dan ini tidak otomatis muncul dengan usia), ia dapat memilih sendiri baik nama maupun keinginan jadi orang seperti apa. Kalau ia masih bingung, bisa kami bantu dengan memberikan pilihan berikut:

Saya, Riordan Azad Zen, akan menjadi...
a) Seperti ayahku yang baik
b) Seperti ayahku yang lucu
c) Seperti ibuku, yang, euhm... seperti ayahku sajalah karena ia berdiri di belakang sambil memegang buku tabungan pendidikanku.