Thursday, June 28, 2007

Sekarang Saya Tahu Kenapa

Ketika kamu berusia tiga bulan, kamu dan ibumu membuat saya mencium isi popokmu.

Ketika kamu berusia delapan bulan, kamu mendorong saya mengarang alternatif lirik lagu nina bobo.

Ketika kamu berusia satu setengah tahun, kamu sulit untuk tidur tanpa ritual panjang. Walau jelas-jelas ngantuk, kamu malah garuk-garuk rambut. "Mau susu coklat," ujarmu. Dan entah kenapa, bukannya menjawab, "Papi juga mau," saya malah berdiri, keluar kamar dan membawakannya.

Dan biasanya ini berlanjut. "Mau air putih", "Mana boneka ular?", "Mau pake baju biru". Entah mengapa, bukannya menembakkan senapan bius, saya malah berdiri, keluar, dan mengambilnya.

Saat matamu sudah hampir segaris, tiba-tiba bola matamu membesar lagi. "Tepuk," ujarmu menepuk-nepuk pantat sendiri.

Terus terang, saya langsung membayangkan bokong itu ditaruh di titik penalti depan gawang sementara penonton di sekeliling bersorak-sorai. Namun, berhubung saya malas mengenakan sepatu bola dulu, saya pun menepuk-nepuk pantatmu. Yang saya tidak mengerti, kenapa saya dan ibumu melakukannya sambil tersenyum.

Ketika kamu berusia dua tahun, saya dan ibumu sudah lebih sigap.

"Mau sus--"

"Ini," ujar saya mengeluarkan sekotak Ultra kecil.

"Mau air put--"

"Ini," ujar ibumu membukakan tutup cangkir air putih.

"Mau boneka ul--"

"Udah ada tuh," ujar saya mengeluarkannya dari balik bantal.

"Tep--"

Ibumu pun menepuk-nepuk pantatmu.

Dan kamu pun garuk-garuk rambut, "Mau... mau, mau apa, ya?"

Entah kenapa, saya dan ibumu malah tertawa.

Kini, saat berusia tiga tahun (dan berat lebih dari lima belas kilogram), kamu sering kali menerjang dan menimpa saya saat sedang membaca buku. Bukannya langsung menyerah dan kabur, saya malah membiarkanmu loncat-loncatan di atas punggung. Padahal kadang kala teriakan mengaduh saya tidak dibuat-buat. Memang asli sakit.

Tapi kini saya tahu kenapa. Karena senyum kurang ajarmu yang meluluhkan. Senyum yang mencerminkan balik semua kasih sayang dan kesabaran yang kamu terima. Senyum yang hanya kamu tunjukkan pada orang-orang yang kamu percayai. Senyum lepas yang tidak akan ada kalau kami pernah sekali saja memilih jalan amarah kala kamu tidak bersalah.

Selamat ulang tahun, Aza. Semoga kita bertiga terus-menerus mendapatkan pencerahan, seterang senyummu.

Tuesday, June 26, 2007

Ide Film #2: Semi-Invisible Man





Kisah berputar pada seorang tokoh superhero Indonesia bernama Semi-Invisible Man (diperankan oleh Rizki Hanggono). Tubuhnya menangkis pantulan cahaya sehingga sulit dilihat. Namun sayangnya, tidak sempurna. Sehingga dari jarak lima meter masih terlihat sosoknya.

Kiprahnya sebagai pejuang keadilan pun menemui banyak tantangan. Antara lain:
1) Dari pemerintah

Semi-Invisible Man:
Ganti nama?

Agen Pemerintah (Deddy Mizwar):
Ya. Anda warga negara Indonesia, kan? Nggak boleh lah pake istilah asing.

Semi-Invisible Man:
Terus, jadi apa dong?

Agen Pemerintah:
Manusia Tak Begitu Kasat Mata.

Semi-Invisible Man:
(terdiam)

Agen Pemerintah:
Kalau kepanjangan, bolehlah disingkat jadi MaTaBeKaM.

Semi-Invisible Man:
(semakin syok)

Agen Pemerintah:
Kami bahkan sudah menyiapkan pernak-pernik jualannya.
(menyodorkan baju dan topi dengan logo MaTaBeKaM, plus lambang burung garuda.)

2) Dan dari masyarakat
Semi-Invisible Man membekuk perampok bank yang menyandera para nasabah.

Nasabah (Pria--Ivan Gunawan):
Terima kasih atas pertolonganmu, MaTaBeKaM!

Semi-Invisible Man:
Tolong jangan gunakan nama itu.

Nasabah (Wanita--Bunga Citra Lestari):
(Memeluk) Kau hebat!
(Merasakan sesuatu, ekspresinya berubah, dan mundur perlahan-lahan.)
Ngomong-ngomong, kamu bugil, ya?

Semi-Invisible Man:
Ah. Gini. Euh, soalnya cuman bagian tubuh gue yang bisa nangkis pantulan cahaya.
(Tertawa gugup.)

Semi-Invisible Man pun dikejar massa.

Massa (diperankan oleh mereka sendiri):
Maniak! Anonoh!

FPI mengadakan demonstrasi dan mensomasi Semi-Invisible Man.

Demonstran #1 (Ahmad Dhani):
(Berteriak-teriak.) Kita perlu mempertanyakan moral masyarakat yang menggantungkan keselamatan kepada pria yang berkeliaran dengan mengumbar syahwat!

Konflik memuncak saat sekelompok oknum blogger menyebarkan foto para pelaku kejahatan yang diubah dengan Photoshop sehingga seakan-akan seperti Semi-Invisible Man.

Semi-Invisible Man:
(Melihat sebuah foto palsu yang menunjukkan sosok tak jelas sedang mencuri pakaian dalam.) Sialaan!

Dalam sebuah pengadilan yang menuntut Semi-Invisible Man, seorang saksi ahli (diperankan oleh Roy Suryo) diperlihatkan foto palsu.

Saksi Ahli:
(Melihat foto, lantas melihat Semi-Invisible Man) Mirip, kok.

Semi Invisible Man:
(Histeris) Yang bener aaajaaaa!

Semi-Invisible Man pun dipenjara.



Sisa film akan meliputi proses naik banding Semi-Invisible Man yang kini diwakili oleh pengacara baru (Tamara Blezinsky).



___________

Ide film sebelumnya dapat dilihat di sini: Komedi Horor.

Penggunaan bingkai gaya film di atas numpang BlogFrames.

Foto Semi-Invisible Man dioprek dari sini.

Sunday, June 24, 2007

Uh Oh!

Dua orang rekan kerja pria, sebut saja B dan Y sedang mengurus pekerjaan di daerah Serpong. Karena sehari tidak beres, mereka pun mencari penginapan. Berhubung sesama lelaki, tidak pilih-pilih tempat. Begitu ada hotel langsung saja masuk, tanya harga, dan karena cukup murah, sewa satu kamar.

Kamarnya ternyata tidak mengecewakan. Bersih dan terawat. Sayang hanya ada satu tempat tidur. "Ah, tapi besar kok, ndak masalah," ujar B.

Y kemudian menyadari ada sesuatu yang aneh. "Di langit-langit atas tempat tidur kok ada cermin besar, ya?"

B tampak bingung. "Iya, ya. Kenapa, ya?"

Y mulai curiga. Tapi saat itu sudah lewat jam sepuluh malam, dan ia sudah capek. Ia memutuskan untuk diam saja. Namun ketika ia menyetel TV dan menemukan saluran khusus yang memasang film biru, bahkan B pun sadar.

Uh oh.

Keesokan pagi, sebuah sekat dekat pintu terbuka. Dan bon pembayaran pun menyelip masuk. Entah apa yang dipikirkan pemilik hotel saat mereka berdua menyewa kamar.

Thursday, June 21, 2007

Daya Ingat Fotografis...

...tapi isi filmnya cuman tiga. Itu lelucon basi yang dulu sering digunakan untuk mengejek saya. Karena kalau saya harus mengingat empat hal, misalnya, ada satu yang bakal saya lupakan.

Sebelum saya punya ponsel, kalau keluar rumah saya hanya harus mengingat untuk bawa tiga hal: tas, dompet, dan topi. Begitu punya ponsel, saya harus mengingat empat hal. Awal-awalnya, ponsel selalu ketinggalan. Namun, begitu terbiasa, jadinya kadang saya muncul di kampus tanpa topi. Kadang tanpa dompet. Dan lebih gawat lagi, kadang tanpa tas.

"Sudah beres bab satunya?" tanya dosen pembimbing saya waktu itu.

"Sudah, Pak," angguk saya mantap.

Ia berhenti memeriksa kertas di mejanya. "Mana?"

"Euh," saya baru menyadari kalau tidak membawa tas, "di rumah, Pak."

"Jadi, ngapain kamu di sini?"

Saya menelan ludah. "Numpang malu, Pak."

Kasus spesifik di atas mungkin terdengar mengada-ada. Namun, coba ingat-ingat lagi; kadang karena kita begitu terbiasa membawa suatu barang, kita bisa tidak sadar bahwa barang itu tidak ada.

Teman SMA saya, Yogi, suatu hari berjalan masuk ke ruang kelas sambil bersiul-siul. Begitu sudah dekat tempat duduknya, ia menggerakkan kedua tangan ke belakang punggung, memegang ranselnya, dan melemparnya ke meja. Ini adalah kebiasaannya sehari-hari. Tapi hari ini berbeda. Karena saat ia melakukan itu, tasnya tidak ada.

Untuk sesaat, ia melongo melihat meja yang tidak tertimpa tas. Lantas ke tangan yang kosong. Baru ia sadar, "Anjis, tas gue ketinggalan!" Lantas bergegas pulang untuk mengambilnya. Kisah ini langsung tersebar hampir ke seluruh angkatan dalam waktu setengah hari. (Apa lagi gunanya teman?)

Namun, kembali ke masalah keterbatasan ingatan. Dari situ saya menyadari bahwa batas normal ingatan saya saat lagi rileks adalah tiga. Saya tidak tahu rata-ratanya berapa. Tapi saya yakin ini di bawahnya.

Soalnya ayah saya juga bawa ponsel. Tentunya ada dompet, tas, dan kunci mobil (karena menyetir sendiri). Dan tidak pernah ada situasi di mana beliau berkunjung ke Bandung, misalnya, dan menyapa, "Assalamu'alaikum, De! Sehat?"

"Wa'alaikum salam, Pap," balas saya. "Alhamdulillah, sehat. Sendirian?"

"Nggak, berdua sama Ma--" Beliau celingak-celinguk. "Mah? Mamah?"

Sementara saya bisa separah itu. Kala masih mengurus toko hobi Animbus, saya sering membawa mobil bolak-balik dari rumah ke lokasi toko, di daerah Setrasari. Satu hari saya berjanji untuk menjemput teman dan pergi ke sana bersama. Dompet sudah di kantong. Tas tidak perlu bawa. Kunci mobil terpasang. Ponsel siap. Saya pun menelepon sang teman, Arga.

"Ga, udah makan pagi, belum?"

"Belum dong," jawabnya bangga. Dia adalah orang yang sangat bangga akan keefisienan tubuhnya; bisa sehari hanya makan seporsi Indomie.

"Oke, gue beliin ayam crispy[1] deh," jawab saya, mengakhiri pembicaraan.

Setelah itu saya berangkat. Untunglah, saat sudah dekat toko, saya tiba-tiba teringat melupakan sesuatu. Saya pun berbalik arah dan mampir di penjual ayam goreng crispy. Berniat beli dua porsi. Dan dengan riangnya memarkir mobil. "Untung aja gue ingat, Ga," ujar saya.

Pada sebuah kursi penumpang yang kosong.

Karena mengingat-ingat untuk beli makanan, saya jadi lupa menjemput Arga. Ia masih menunggu di rumahnya, heran kenapa saya lama sekali.

_____________

[1]: Ayam goreng dengan tepung berlebihan. Sehingga paha ayam dengan diameter lima senti bisa jadi hanya 0,2 senti yang benar-benar daging. Penganan berbentuk KFC tapi dengan rasa yang bisa menyerupai sesuatu yang sama sekali bukan KFC.

Wednesday, June 20, 2007

Pertanyaan Sederhana Kadang Justru Lebih Sulit Dijawab

"Papih mana?" tanya Aza, anak saya yang sebentar lagi berusia tepat tiga tahun.

Donna, mitra hidup saya, membungkuk dan tersenyum, "Kan di kantor. Kerja."

Alis Aza melengkung, "Kenapa kerjanya nggak di rumah aja?"

Untunglah saya sedang jauh dari sana.

Monday, June 18, 2007

Teater Teks Improv: Ikuti Saja Aliran Cerita

Sebelumnya, saya pernah menyampaikan Teater Teks Improv sebagai permainan untuk melawan kebosanan menulis. Namun, seperti apakah praktik jelasnya?

Sederhana saja. Kumpulkan sejumlah penulis dalam satu text conference. Beri mereka satu kata atau frase kunci. Kemudian, mereka harus bergantian mementaskan cerita bersama-sama dalam bentuk tulisan. Tanpa diskusi cerita. Tanpa kesepakatan karakter. Dalam waktu sepuluh hingga lima belas menit.

Apa yang akan terjadi? Teater Teks Improv (TTI)! Terinspirasi oleh Teater Improv seperti Mother, TTI adalah wadah menyenangkan bagi para penulis yang ingin bersenang-senang dan tertawa bersama sambil menjalin cerita.

Dalam TTI, kita belajar untuk melepas kritik-diri yang terlalu mengungkung. Tidak apa-apa berbuat kesalahan dalam TTI karena yang penting "the show must go on", semua peserta akan saling mendukung agar pementasan terus berlanjut hingga selesai.

Sebagai contoh, dalam sebuah sesi TTI, ada salah tangkap antara penulis. Isman yang berperan sebagai Turis #1 menulis "dekat sumur". Dan Johan yang berperan sebagai Turis #2 salah baca, mengiranya "dalam sumur."

Apakah itu akan menghancurkan pentas? Sama sekali tidak. Silakan baca sendiri hasil transkripsinya di bawah. Dalam cerita ini, Alex memerankan Narator. Sementara Andi, sebagai penonton melontarkan frase kunci: Koin keberuntungan.



Narator:
Dua orang turis mendekati sebuah sumur keramat di daerah Wates. Mari kita dengarkan percakapan mereka.

Turis #1 melihat ada koin tergeletak di dekat sumur, dan langsung menginjaknya. Ia lantas bersiul-siul, sambil celinguk kanan-kiri.

Turis #2:
Mas, ngapain dalam sumur?

Turis #1:
(Kaget) Euh...
Olahraga! Saya dari Vanderstanikctan. Lompat ke dalam sumur adalah olahraga nasional kami.

Turis #2:
Oh... berapa kalori yang terbuang mas? Saya lagi dalam program diet.

Turis #1:
Tergantung berapa dalam sumurnya. Kalau lebih dari 100 meter, Anda tidak perlu khawatir akan masalah berat badan lagi.

Turis #2:
Wah benar, nih?
(Naik ke atas sumur.)
Duh, jadi lupa tadi mau ngapain.

Turis #1:
Mengangkat saya dari dalam sumur dulu ke luar sebelum mencoba sendiri?

Turis #2:
Tadi pas lompat gak mikirin cara keluarnya, yah?
(Mengulurkan tangannya.)
Mas... lihat koin saya, gak?

Turis #1:
Sebentar, itu apa, ya?
(Menunjuk ke angkasa.)

Turis #2:
Yang mana, Mas?
(Melihat ke angkasa.)
Pesawat?

Saat penolongnya menoleh, Turis #1 mengambil koin dan mengantunginya.

Turis #2 tidak menemukan apa-apa dan mengangkat bahu. Ia kembali mengulurkan tangannya, yang diterima Turis #1 dengan senang hati.

Saat Turis #2 berusaha menarik lawan bicaranya keluar sumur, ia terpeleset dan nyemplung juga, menimpa tubuh Turis #1 dengan keras.

Turis #1:
(Mengerang)
Oke, untunglah saya tidak perlu memerankan ini di dunia nyata.

Turis #2:
Mas, maaf Mas, ini bukti koin saya kalo hilang. Jadi sial terus... Gak papa, Mas?

Turis #1:
(Meringis) Nggak apa-apa.
Ngomong-ngomong, koinnya seperti apa, ya? Apa perak dengan lapis emas di pinggirnya?

Turis #2:
Sepertinya sih gitu, ada tulisan Cinanya gak, Mas?

Turis #1:
Kanji Cina yang berarti Keberuntungan bukan?

Turis #2:
Iya, yang itu!

Turis #1:
Kalau gitu seh, nggak pernah lihat.

Narator:
Hari pun semakin gelap seraya kedua orang itu menunggu di dalam sumur. Mereka sadar bahwa mereka harus keluar dari sumur itu secepatnya, tapi bagaimana?

Turis #2:
Duh, jangan-jangan masih di sini, bantuin cari dulu yah Mas, dah mulai gelap nih.

Turis #1:
Boleh! Tapi berhubung mulai gelap, bagaimana jika aku naik ke punggungmu, ke luar sumur dulu, terus cariin senter buat kita. Jadi bisa nyari semalaman, kan?

Turis #2:
Wah pinter idenya, boleh boleh...
(Membungkuk)
Mas, tengkyu yah, baek banget mau bantuin saya.

Turis #1:
Sama-sama!

Turis #1 menaiki punggung lawan bicaranya, meraih pinggir sumur dan naik. Setelah sampai di atas ia menoleh ke dalam.

Turis #1 (Cont'd):
Aku cari dulu senternya, ya? (Tersenyum sinis)
Eh, ngomong-ngomong, apa yang terjadi kalau koin keberuntunganmu di tangan orang lain?

Turis #2 tidak menjawab karena terlalu sibuk mencari-cari di dasar sumur.

Turis #1:
(Mengangkat bahu) Ya, apa pun, lah.
Semoga beruntung mencarinya!

Turis #1 melangkah pergi. Menyeringai lebar, ia melempar koin ke atas... dan tertabrak mobil.

Koin yang terlempar jatuh kembali ke sumur, tepat di hadapan Turis #2.

Turis #2:
Waah, untung aja koin saya ketemu, Mas! Kalau kepegang orang lain, kasihan orangnya. Bisa bawa sial.
(Mencoba mendengarkan jawaban yang tidak datang.)
Mas?

Friday, June 15, 2007

Empat Belas Sastrawan dan Satu Penulis Humor

Terdengar seperti sebuah tagline yang cocok untuk sebuah film musim liburan. Atau konsep reality show. Sayangnya, ini akan jadi deskripsi kisah nyata pada akhir September 2007 nanti di Ubud, Bali. Dan semoga saja berakhir bahagia.

Karena saya akan menjadi si penulis humor itu.

Tadi pagi, saya baru menerima konfirmasi dari panitia Ubud Writers and Readers Festival 2007, bahwa saya termasuk dalam lima belas penulis yang diundang untuk menjadi "tuan rumah" di acara internasional itu.

Tahun lalu, festival ini ditulis Harper's Bazaar sebagai "salah satu dari enam festival sastra teratas di dunia". Tahun ini, Festival Ubud akan dihadiri sekitar 80 penulis mancanegara, termasuk Kiran Desai dan Richard Flanagan. Penulis Detektif Feng Shui, Nury Vittachi, sebagai contoh, adalah orang yang ingin saya temui dan kenal secara pribadi.

Reaksi awal saya adalah terbatuk-batuk. Karena memang sudah beberapa hari terakhir sakit tenggorokan dan demam. Reaksi berikutnya adalah memeriksa daftar penulis yang diundang. Wow. Empat belas nama sastrawan terpampang di situ.

Dan satu penulis humor.

Sepertinya, saya perlu rebahan dulu.

Wednesday, June 06, 2007

Alternatif Lirik Nina Bobo untuk Dinyanyikan Pada Bayi yang Masih Aktif Jam Tiga Pagi di Hari Kerja

Nina bobo, oh Nina bobo,
kalau tidak bobo...

  1. ...dicekokin Valium.

  2. ...disumpit curare.

  3. ...dibekap kloroform.

  4. ...digigit lalat tsetse

Catatan: nyanyikan dengan welas asih.

Monday, June 04, 2007

Pencerahan dari Perang Antar-robot

Aza, anak saya yang berusia hampir tiga tahun, baru tadi malam mendapatkan mainan robot plastik. Satu set berisi empat robot sebesar telapak tangan, berbentuk seperti Gundam yang baru saja kalah perang dan didaur ulang.

Hal ini tidak mengurangi kegirangannya. Saking senangnya, ia langsung memainkan mereka dalam sebuah peperangan. Biasanya saya tidak begitu memerhatikan ocehan permainannya. Tapi permainan peran dia kali ini sedikit berbeda.

"Halo, saya Robot Baik," ujar Aza menggerakkan robot di tangan kanannya. "Kamu siapa?"

"Saya Robot Jahat," jawab Aza sambil mendekatkan robot di tangan kiri. "Kamu saya tembak, ya? Dar! Dar!" Robot Jahat rupanya mematuhi sopan santun. Dalam kalangan robot, sepertinya tidak apa-apa saling membunuh asalkan permisi dulu.

"Aduh, sakit!" keluh Robot Baik.

"Kalo sakit, diobatin aja," anjur Robot Jahat yang ternyata juga penuh perhatian pada korban-korbannya.

"Iya," angguk Robot Baik yang sepertinya juga lugu.

"[Selagi] kamu diobatin, saya tembak. DAR! Tembak yang bagus!"

Saya dan Donna berusaha keras menahan tawa di sini. Karena kami tidak ingin mengganggu permainan Aza. Sebelum bahu saya berhenti berguncang, sebuah pemikiran menyeruak. Hal ini mengingatkan saya, bahwa anak-anak pada umumnya selalu mulai memahami dunia dengan pembedaan Jahat dan Baik. Begitu mereka sudah merasa jelas akan perbedaan kedua itu, tiba-tiba muncullah beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan dengan pembedaan ini. Lalu muncullah pertanyaan-pertanyaan lain sekitar persepsi: "Mengapa Baik bagi A bisa Jahat bagi B?" lantas "Apa hubungan antara Baik-Jahat dengan Benar-Salah?"

Hingga akhirnya muncullah pertanyaan yang akan selalu mampir di kala kita butuh pedoman, "Apa yang harus saya lakukan?"

Kita semua menjalani proses itu. Dan satu hal yang saya pelajari selama ini: jawabannya tidak bisa saya dapatkan dari orang lain. Harus dari diri sendiri. Orang lain hanya bisa mendukung atau membantu. Termasuk sebaliknya, menentang maupun melawan.

Saya menyadari peran saya dan Donna sebagai orangtua di titik-titik itu akan lebih berat daripada sekadar mengganti popok pada dini hari menjelang tenggat waktu pekerjaan. Karena di saat itu, kami tidak bisa melakukan sesuatu yang konkret. Hanya bisa memberi dukungan dan kepercayaan.

Percaya bahwa anak-anak kami dapat mengambil keputusan yang tepat. Dan kalaupun tidak, mereka akan bisa bertahan hidup dengan belajar dari kesalahan mereka sendiri.