Persamaan Antara Penerjemahan dan Penulisan Humor
Keduanya terlalu sering diremehkan, "Apa sih susahnya?"
Dan setiap kali yang bertanya begitu mencoba, mereka kemudian berkomentar, "Ternyata susah juga, ya?" Belum pernah--dan saya tekankan sekali lagi--belum pernah saya meminta seseorang menulis humor, lantas ia berkata, "Ternyata memang mudah!"
Bahkan penulis berpengalaman seperti Melvi Yendra juga berpendapat bahwa menulis humor itu sulit setengah mati.
Sementara untuk penerjemahan, Mbak Poppy pernah menantang seseorang untuk melakukan hal serupa. Cobalah terjemahkan satu paragraf. Sama saja.
Christopher Merril, Direktur International Writing Program di The University of Iowa, juga pernah menceritakan betapa peliknya penerjemahan karya. Terutama berkaitan konteks. Dalam sebuah sesi di Ubud Writers and Readers Festival 2007, ia menganalogikannya dalam cerita tentang seorang pemandu wisata suatu rombongan turis asing.
Sebelum ekspedisi ke hutan, sang pemandu berkata pada rombongannya, "Kenakanlah sepatu yang paling nyaman." Seorang penerjemah resmi lantas mengalihbahasakan kata-katanya pada di hadapan grup. Semua kepala mengangguk-angguk.
Keesokan harinya, ia bersiap-siap memandu rombongannya merambah pedalaman bersemak belukar dan tanah berlumpur. Ternyata seluruh wanita datang mengenakan sepatu pesta mengilap berhak stiletto. Maksud sang pemandu hilang dalam terjemahan.
Baik penerjemahan, penulisan humor, maupun tipe penulisan kreatif lainnya tidak hanya bermain kata. Melainkan juga konteks. Setiap terjemahan yang kita lahap dengan mudah adalah hasil dari jerih payah penerjemah yang membuatnya tampak mudah. Setiap tawa yang kita mudah lontarkan saat membaca karya humor adalah hasil dari penulisan dan pewaktuan yang rumit.
Kritiklah karya. Karena setiap penulis atau penerjemah justru membutuhkan itu. Namun, jangan remehkan.
No comments:
Post a Comment