Saturday, September 06, 2008

Pertanyaan Bagus

Sore tadi, saya menemani Aza ke taman komplek perumahan. Taman ini dulunya hanya lapangan rumput. Lantas lima tahun lalu, warga sekitar menambahkan empat permainan anak-anak: serodotan, ayunan, jungkat-jungkit, dan gantung-gantungan.[1]

Setelah dua tahun terakhir menghindari gantung-gantungan, akhirnya Aza mau juga mencoba alat ini. Awalnya sekadar memanjat ke atas. Masih saya pegangi. Itu pun dia selalu mengomel, setiap dua detik, "Waaah, aku takut jatuh." Lalu turun. Di sini ada kemajuan: frekwensi omelannya jadi tiap satu detik. "Waaah, aku takut jatuh."

Dua kali coba, ia langsung lupa diri. Naik, turun, naik, turun. Sesekali ia bilang, "Waaaah, aku takut jatuh." Tapi kelakuannya yang nungging-nungging saat menaiki anak tangga justru menunjukkan kebalikannya.

Di saat itu, seorang anak perempuan yang tampak lebih muda ikut bergabung. Saya berkata, "Za, itu adek ikutan. Kenalan dulu, dong." Sebenarnya, saya tidak terlalu berharap Aza mau. Dia tipe yang malu berkenalan dengan anak lain.

Eh, tahunya, Aza langsung menyambut, "Nama kamu siapa?" Ia memamerkan senyumnya yang lebar, "Namaku Azad Zen."

Dengan sedikit heran, aku balik memerhatikan anak perempuan tadi. Sang anak menjawab dengan lembut, "Namaku Wahmi." Sialan. Ternyata cukup manis. Pantas Aza mendadak semangat.

Seorang anak perempuan lain yang lebih besar mendekat, "Adek mainnya hati-hati, ya?"

"Ada kakaknya tuh, Za," ujar saya. Kali ini saya langsung memerhatikan. Ternyata kakaknya tidak semanis adiknya. "Kenalan juga dong."

"Kenalan?" jawab Aza dengan kening berkerut. "Nggak." Ia pun kembali memanjat dengan cuek.

Saya langsung memijat kening. Anak usia empat tahun kok sudah belajar diskriminasi fisik, sih?

Sebelum saya protes, Aza sudah melanjutkan percakapan pada Wahmi. "Rumah kamu di mana?" Dan Wahmi memberitahukan sebuah nama jalan di dekat lapangan.

Buset! Saya takjub. Gerak Aza cepat amat. Dan berhasil, pula!

Namun, ketakjuban saya langsung menguap begitu Aza bertanya pada Wahmi, "Papih kamu, laki-laki atau perempuan?" Jelas-jelas bukan pertanyaan yang bakalan muncul di daftar Top 10 Kalimat Pembuka untuk Pedekate.

"Memangnya Papih Aza sendiri laki-laki atau perempuan?" potong saya, penasaran.

"Laki-laki," jawab Aza tenang.

"Alhamdulillah," ujar saya.

Kemudian Aza mengerutkan kening dan menengadah, "Tapi kenapa Mamih perempuan, ya?"

"Pertanyaan bagus, Za." Saya hampir tersedak oleh tawa. "Sepulang nanti kita tanya deh, ke Mamih."

________________

[1]: Aslinya sih tidak seseram sebutannya. Bentuknya seperti dua tangga panjat vertikal, yang atapnya berupa tangga juga. Anak-anak memanjati tangga vertikal, lantas bergantung ke anak-anak tangga di atas. Mereka bisa menyeberang dari satu sisi tangga vertikal ke sisi lain, atau sekadar bergantungan aja. Makanya disebut gantung-gantungan.

6 comments:

Anonymous said...

Hahaha, Aza boleh juga nich. Kira - kira Aza mau ga ya kenalan sama saya :D

Salam kenal buat yang punya blog juga dech.

Anonymous said...

UHAUHAHA...
tapi bagus sih pernyaannya cuma ada dua option. kalo ada tiga. gawat!

Isman H. Suryaman said...

Jangan terlalu berharap aja dulu, hehe. Dia tipe yang menghindari dari orang agresif. Tapi kalau ada yang pasif, dia yang mendekat sendiri, hehe.

Salam kenal juga, desta.

Buset, snydez. Kalau udah ada tiga opsi, perlu dipertanyakan dia tahu dari mana tuh. (Paling juga sinetron.)

Anonymous said...

Mungkin selama ini Aza memang gak tahu Papih-nya laki-laki apa perempuan? :lol:

Anonymous said...

Ternyata papihnya aza juga belum tahu kalau mamihnya itu perempuan atau bukan, makanya dia ngajak aza lihat mamih dirumah apa bener dia perempuan atau laki. Anak dan papih sama aja, letoy....

Isman H. Suryaman said...

Jangan-jangan begitu, kang nur, hehe.

Wow. Setelah dua tahun, akhirnya muncul juga seorang flamer. Mari beri tepuk tangan untuk musida, saudara-saudara.