Friday, March 27, 2009

Ironis Karena Tidak Ada Yang Menganggapnya Ironis

Jumat ini (27 Maret 2009), daerah sekitar Gasibu Bandung mulai mengalami kemacetan. Penggalangan massa kampanye di area strategis ini memasuki periode puncak. Jumat adalah jadwal Partai Demokrat, Sabtu (28 Maret) PAN, dan Minggu (29 Maret) PKS.

Tidak ada hal baru. Massa masih berkumpul tanpa tujuan jelas disertai ingar-bingar. Yang penting mengenakan atau mengusung atribut partai (kaos, bendera, atau spanduk).

Entah mereka berkumpul murni karena mendukung atau ada tujuan lain. Yang jelas, kabar mengenai pembagian uang tetap ada walau masih simpang siur. Ada yang bilang Rp20 ribu per orang. Ada yang mengaku Rp50 ribu. Dan bukan hanya Partai Demokrat. PAN, Gerindra, dan Golkar pun disinyalir melakukan hal yang serupa. Daftar ini bisa memanjang.

Saat saya melewati kekisruhan sekitar Gasibu, saya sempat mengamati sebagian massa sudah bubar sebelum acara selesai. Sebagian di antaranya dengan khidmat melanggar peraturan lalu lintas (mengendarai motor tanpa menggunakan helm, melewati batas lajur jalan, atau duduk memenuhi atap bus). Sisanya masih nongkrong di Gasibu, mendengarkan satu grup musik yang menyanyikan lagu Iwan Fals dengan lantang, "Penguasa, penguasa... berilah hamba uang. Beri hamba uang!"

Dan tidak ada yang menganggapnya ironis.

5 comments:

Unknown said...

Rp 20 ribu? Rp 50 ribu? Hah, itu alasannya orang menuh-menuhin Gasibu ampe bikin macet, soalnya ada yang bagi-bagi duit.
Coba kalo saya lewat. Saya bakalan bilang, "Ah, duit segini mah cetek. Saya dong, tadi ada yang ngasih saya Rp 100ribu!"
Pasti orang-orang noleh semua. "100 ribu? Di mana? Di mana?!"
Bual saya, "Tuuh..di Tegallega! Tapi nggak tau jam segini mah, masih ada nggak ya?"
Spontan orang-orang yang bikin macet di Gasibu langsung bubar dan minggat semua, tancap gas ke arah Tegallega. Tinggal saya melaju di Gasibu dengan santai..

Isman H. Suryaman said...

Sayangnya hukum fisika masih berlaku. Jadi kalau puluhan ribu orang di Gasibu spontan pindah sementara kapasitas jalan hanya berapa ratus per menit, yang jadi adalah spontan gagal pindah, hehe.

annelies said...

Selama kampanye mengandalkan pengerahan massa masih diandalkan, mungkin uang masih akan menjadi iming-iming populer.
Tapi kalau soal nanti massa itu benar memilih atau tidak, rasa-rasanya kampanye dengan pengerahan massa tidak lagi menjadi faktor penentu. Masyarakat sudah lebih dewasa dalam menentukan pilihan. bukan begitu saudara-saudara?

Unknown said...

Hm... pembodohan masyarakat! ternyata, suara rakyat bissa dengan mudah dibeli dengan uang. huhu. pembodohan nggak sih namanya??? demokrasi??? appa bener iia? sepertinya rakyat tidak mempunyai pilihan sendiri, karena mereka udah terlanjur takluk dengan uank dan janji" iank di umbar oleh mreka" iank menginginkan tahta di kursi pejabat. lucu...

Isman H. Suryaman said...

Ya, annelies. Malah sejumlah politisi yang memprotes (baca: mencak-mencak) di TV karena hasil pemilu tidak mencerminkan massa kampanye yang mereka galang jadi terlihat kurang cerdas. :)

Itu yang namanya investasi jangka pendek, Riffy. :p Politisi yang dapat suara dari pemilih seperti itu sering lupa bahwa orang-orang itulah yang akan mereka pimpin nantinya, hehe.