Coraline: Novel Grafis yang Mengadaptasi Karya Neil Gaiman
Mengapa film horor Asia (Jepang, Thailand, bahkan Indonesia) sering menggambarkan hantu perempuan berambut panjang dengan gaun putih? Karena itu merupakan bagian dari stereotip kecantikan.
Dengan menggunakan stereotip kecantikan dalam pakem horor, penonton akan lebih terganggu. Kita jadi bingung saat batas antara menyenangkan dan menyeramkan terlanggar. Otak kita memaksa kita untuk menjauhkan diri dari apa pun yang kita lihat. Tapi setelah menghindar, kita malah merasa kehilangan; tertarik melihat lagi.
Itu juga sebabnya ketakutan-ketakutan masa kecil (atau besar) kita biasanya merupakan pelanggaran antara batas tersebut. Ketakutan masa kecil saya, misalnya, adalah menemukan Drakula boker di kamar mandi. Tidak terbang mengancam. Tidak lari mengejar. Tapi duduk santai sambil baca koran dan meminta saya menutup pintu.
Justru itu yang membuat saya ketakutan setengah mati. Karena batas antara kehidupan biasa dan tidak biasa menjadi kabur.
Kesederhanaan yang Merindingkan Bulu Kuduk
Coraline adalah karya seperti itu. Bukan karena memuat Drakula boker. Melainkan karena mengunyah batas antara menyenangkan dan menyeramkan, lantas meludahkannya sembarangan.
Tokoh utamanya adalah anak sebelas tahun, yang entah bagaimana, masih memiliki pikiran seterbuka bocah usia lima tahun.
Ya, bocah usia lima tahun--karena ia bisa menerima banyak keanehan tanpa panik. Sebagai contoh, saat ia menemukan sisi dunia lain di apartemennya, ia menemukan para "orangtua yang lain" yang mirip dengan orangtuanya. Bedanya, gigi ibunya tidak sepanjang itu. Jari dan kukunya tidak setajam itu... yang tentunya menyulitkan dalam melakukan beberapa hal tertentu.
Sori, bercanda. Itu nggak terjadi di novel grafisnya. Yang paling mencolok bagi Coraline: mata ibu yang ini terbuat dari kancing.
Kalau saya mendadak menemukan ibu yang lain seperti itu, bisa jadi saya pingsan berdiri. Sementara Coraline? Bukan hanya tenang. Ia ikut makan siang dengan mereka. Dan ia menikmatinya dengan lahap.
Ia bahkan tetap tenang saat disuruh bermain bersama barisan tikus bergigi tajam yang bisa bicara dan--dengan sangat horornya...
... menyanyikan lagu Kangen Band!
Maaf, saya nggak bisa menahan diri. Kembali serius, mereka menyanyikan lirik seperti, "Kami di sini sebelum engkau jatuh, dan kami akan di sini saat engkau bangun." Tidak ada lirik eksplisit yang mengancam akan membunuh atau mencincang kita. Justru karena itu, begitu mengganggu.
Harapan Neil Gaiman?
Anak sebelas tahun biasanya sudah terpolusi oleh dunia nyata. Atau lebih parah: oleh orangtua. Sehingga mereka tidak lagi berpikir kemungkinan. Hanya apa yang biasa. Semua yang tidak biasa tidak mungkin ada.
Mungkin Coraline merupakan harapan penulisnya sendiri, Neil Gaiman. Bahwa anak usia sebelas tahun sebaiknya tetap seperti itu: seorang perambah dan penjelajah. Tidak perlu harus punya cita-cita yang akan bagus kalau diceritakan di depan kelas. Tidak perlu sudah bisa hapal semua tabel perkalian hingga tiga digit. Dan tidak perlu bisa memberi kesimpulan yang penuh logika untuk bertindak. Sebagaimana jawaban Coraline saat dipertanyakan oleh sang Kucing mengapa ia berkeras mau menolong orangtuanya padahal ia takut: "Karena mereka orangtuaku."
Rambah. Jelajah. Tetaplah jadi anak-anak.
Penceritaan Visual yang Mengalir
Keuntungan sebuah novel grafis adalah visualisasi. Dan penggambaran Philip Craig Russell sangat mendukung nuansa ini. Paduan warna-warni cerah menemani perang antara cahaya dan ketiadaannya. Penggambaran dunia yang lain tanpa berlebihan; membuat seakan-akan wajar saja kalau anjing kelurahan sebelah bersayap dan suka nonton pertunjukan vaudeville. Coraline bukan kerja sama pertamanya dengan Gaiman, melainkan kelima. Ia sudah paham apa yang ingin disampaikan Neil. Bahkan begitu muncul ide adaptasi Coraline dalam bentuk novel grafis, Neil sendiri yang langsung meminta Russell untuk melakukannya.
Keakraban Neil Gaiman sendiri dengan format novel dan komik juga membantu kelancaran adaptasi ini. Gaya Narasi Neil memang visual, memudahkan kita untuk membayangkan. Ia paham bahwa kekuatan visualisasilah yang mampu membuat kita merinding tiada tara. Pertama-tama, Gaiman memunculkan citra kuat seorang ibu dalam benak kita; pelindung, penyayang, dan tegas. Lantas menghancurkannya dengan citra jari panjang berkuku tajam dan mata kancing; menunjukkan identitas aslinya...
...sebagai Mbah Surip.
Oke, serius, tadi itu bercanda terakhir. Sebagai makhluk yang justru kebalikannya dari seorang pelindung dan penyayang.
Kurangnya Ketelitian Penyunting
Yang saya sayangkan adalah kurangnya ketelitian penyunting. Dari sampul saja sudah terlihat bahwa penerjemah dan penyunting tidak sadar bahwa Harvey Award dan Eisner Award adalah dua penghargaan berbeda; bukan satu penghargaan dengan nama "Harvey and Eisner".
Itu mungkin tampak seperti hal yang remeh. Namun bagi saya fatal. Konteksnya jadi keliru. Hal seperti ini terjadi beberapa kali dalam Coraline versi Indonesia terbitan M&C ini. Kabar baiknya: pembaca seperti saya jumlahnya sama seperti pengemudi motor yang tidak menyelip-nyelip di antara kepadatan mobil. Suara kami tidak akan terdengar; kalah jauh dibandingkan mayoritas.
Pertanyaan Penting: Karya Ini Untuk Dibaca Siapa?
Neil Gaiman menulis novel aslinya untuk pembaca anak-anak. Dalam situsnya, Neil berkata bahwa ia membacakan Coraline untuk anaknya, Maddy, pada saat usianya enam tahun.
Ini bukan berarti Coraline hanya untuk anak-anak. Seperti yang dikatakan Agung dalam resensinya, "...para orangtua yang berpendapat sebuah komik anak-anak nggak akan mungkin berhasil menakut-nakuti diri mereka yang gagah perkasa, jangan menyesal kalo belakangan harus bangunin anak untuk minta ditemenin pipis."
Pendapat ini diperkuat Holly, anak Neil Gaiman sendiri. Ia membaca Coraline saat berusia enam belas tahun. Khawatir, Neil berkata, "Semoga kamu nggak terlalu tua untuk [bacaan] itu." Holly menjawab, "Aku rasa tidak akan ada yang terlalu tua untuk membaca Coraline."
Bagi yang masih penasaran, situs HarperCollins menyediakan pratinjau empat puluh halaman awal Coraline (tentunya versi Inggris). Namun, kalau sudah terpikat tanpa itu, langsung saja cari versi Indonesianya di toko-toko buku. Dengan lima puluh lima ribu saja, Anda bisa punya alasan untuk mempererat hubungan kekeluargaan... dengan pergi pipis malam bareng-bareng.