Sunday, March 06, 2011

Sekapur Sirih untuk Why Did The Chicken Browse The Social Media?

Why Did The Chicken Browse The Social Media? adalah buku sekilas tentang media sosial yang diiringi strip komik khas ala Diki Andeas.

Berhubung ini buku yang sangat serius dan menjunjung tinggi jurnalisme, wajar saja jika kata pengantarnya ditulis oleh saya, seorang penulis humor. Berikut adalah tulisan saya yang saya sampaikan pada Diki, dan karena suatu alasan--kerasukan, sepertinya--ia memuatnya.

_________________________________

Peringatan pemerintah: buku Why Did The Chicken Browse The Social Media berisi banyak jargon berkaitan komputer dan internet plus istilah Inggris yang dicetak miring.

Hal yang Anda perlu lakukan saat tidak mengerti:

  1. Jangan panik!

  2. Baca dengan santai, seakan-akan Anda menikmatinya.
Benar: membuka halaman perlahan, sesekali tersenyum atau tertawa kecil

Salah: membuka halaman demi halaman, dengan kening berkerut dan mulut membuka.

Salah besar: tertawa berlebihan sambil berguling-guling, menunjuk, dan meneriakkan salah satu kalimat lucu di buku ini pada orang sekitar, “TAGITO ERGO SUM katanya! HAHAHAHAHAHA!—eh? Kok saya diborgol, Pak Polisi?”

Kembali serius, teknologi komputer dan internet bukan hanya maju pesat, melainkan juga membawa berbagai perubahan di tingkat sosial. Dan wajar saja kalau tidak semua orang memahaminya.

Arthur C. Clarke, seorang penulis berkebangsaan Inggris berkata, “Kalau sudah terlalu canggih, suatu teknologi tidak akan bisa dibedakan dengan sihir.” Dengan kata lain, bagi sebagian besar orang yang tidak mengikuti perkembangan teknologi, komputer dan internet tidak ada bedanya dengan klenik.

Tak perlu heran kalau orang yang bekerja di bidang ini sering dianggap seperti pawang hujan.

“Pak, komputer saya kok nggak mau nyala, ya?”

“Maaf, saya analis bisnis di Internet, Mbak. Bukan teknisi.”

“Oh, kalau gitu, bisa bantu kasih saran saya perlu beli komputer barunya seperti apa?”

Ini bukan sekadar masalah perbedaan kelas ekonomi. Perbedaan generasi pun berpengaruh. Jika kakek saya masih hidup, saya sendiri bakal kebingungan bagaimana menjelaskan komputer dan internet kepada Beliau.

Kakek: “Jadi ada semacam lapangan besar di angkasa yang bisa kita isi dengan teks, gambar, video dan macam-macam?”

Saya: “Euh, ya, kira-kira begitu.”

Kakek: “Dan kita bisa melihat isi lapangan ini dengan komputer?”

Saya: “Bisa ikutan ngisi juga.”

Kakek: “Asalkan dicolok pake kabel?”

Saya: “Euh, bahkan bisa nggak pake kabel. Dari ponsel aja bisa.”

Kakek: “Kamu nggak mabok, kan?”

Dan seperti saya sampaikan di atas, perubahan yang dipicu teknologi merambat sampai tingkat sosial. Sudah banyak kasus menunjukkan seseorang tersinggung karena teman bicaranya terus-menerus mengetikkan sesuatu di ponselnya selagi ngobrol. Padahal, bisa jadi sang teman bicara sedang memuji orang tersebut di Facebook, Twitter, Plurk, Koprol atau media sosial lainnya.

Satu contoh umum: ada empat orang yang berkenalan akrab melalui internet. Saat akhirnya bertemu di suatu cafe, keempatnya ngobrol sambil mengetik di ponsel mereka. Apa yang mereka ketikkan? Kabar bahwa mereka sedang saling bertemu.

Pembaca buku ini pun akan terbagi antara dua golongan besar: mereka yang, saat membaca cerita di atas berkomentar, “Hah, masa sih?”

Dan kedua, mereka yang berkomentar, “Hahaha, bener banget!”

Kalau Anda termasuk golongan yang pertama, sekali lagi: Jangan panik! Anggap saja klenik.


Bandung, 2 Maret 2010

1 comment:

Anonymous said...

Kenapa harus membaca buku tentang hal yang toh kita alami sehari-hari di social network? Is this author any good? Any blogs or link?

Btw, judulnya provokatif dan covernya menarik perhatian. You should try that approach in your next book. Misalnya, alih-alih "Oksimoron", gunakan "Kenapa Tidak Ada Kucing Jantan Belang Tiga?" :p

--- Kang Jodhi ---