Thursday, July 21, 2011

Hong Kong: Aturan Dan Adaptasi

Perjalanan ke Hong Kong mengajarkan tiga poin menarik. Pertama: semua harus ada aturan yang jelas dan tegas.


Menyeberang jalan, misalnya. Jika seorang pejalan kaki menyeberang saat lampu penyeberangan merah lantas ditabrak mobil, apa yang terjadi?

Kalau di Indonesia, kemungkinan besar mobil tersebut akan dibakar massa.

Kalau di Hong Kong, sang pejalan kaki akan dituntut oleh pemilik mobil. Kenapa? Karena merusak mobil. "Apalagi kalau darahnya mengotori mobil," jelas Adof, pemandu tur simPATIZone Friday Movie Mania. "Si pejalan kaki harus bayar ongkos bersihin mobil. Karena dia yang salah. Belum rugi waktu, dan sebagainya."

Terdengar tidak manusiawi? Tidak juga. Karena aturannya jelas: yang bersalahlah yang bertanggung jawab. Dengan begitu, setiap orang dituntut bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Tidak ada alasan.

"Saya kan nggak mampu bayar denda." Ya jangan melanggar. Gampang.
"Situ kan enak, bisa beli mobil. Saya kan cuman bisa beli motor." Apa hubungannya? Jadi kondisi keuangan membuat kita boleh melanggar aturan? Apakah nanti sebaiknya ada rambu: "Dilarang Parkir, kecuali bagi yang gajinya di bawah UMR"?

Kedua, di Hong Kong ada perbedaan jelas antara "salah" dan "melanggar aturan".

Contoh: merokok itu tidak salah. Merokok, di luar kontroversi mengenai efek candu atau merugikan bagi kesehatan, adalah hak pribadi. Jadi tidak salah.

Tapi, aturan merokok di Hong Kong itu ketat. Ada tempat-tempat tertentu untuk merokok. Misalnya di sekitar tempat sampah berbentuk LPG seperti terlihat di samping. Merokok di luar tempat itu, bisa merugikan hak orang lain (yang jadi perokok pasif), sehingga pelaksanaannya diatur. Merokok di lift, misalnya, akan didenda 5.000 dolar Hong Kong (sekitar 5 juta rupiah). Karena ini adalah pelanggaran aturan dan bukan kesalahan, pelanggar cukup berhenti melakukannya dan bayar denda. Beres.

Sedangkan merusak properti atau membunuh orang adalah kesalahan. Kalau itu dilakukan, langsung ditangkap dan diproses secara hukum.

Ketiga, aturan bisa berubah seiring kebutuhan. Apalagi kalau banyak protes dari warga berkaitan pelaksanaannya. Aturan dilarang parkir, misalnya. Ketika banyak protes dari pemilik bisnis yang membutuhkan lahan parkir bagi tamu, aturan itu bisa berubah. Lantas diresmikan dengan penandaan lahan parkir. Dan pengalihan jalur jalan menjadi satu arah. Itu pun rutenya sudah diteliti agar arus lalu lintas tetap stabil.

Poin ini menunjukkan konsep pemerintah yang ideal: tegas mengatur untuk kepentingan warga. Namun, tetap mendengarkan kebutuhan warga saat pelaksanaannya. Dan beradaptasi untuk menemukan bentuk yang cocok.

Bukan berarti pelaksanaan sistem ini di Hong Kong sudah ideal. Praktiknya tetap saja ada pelanggaran. Saat kami baru tiba di bandara internasional Hong Kong saja, supir bus kami sudah melanggar dua aturan: membawa troli keluar dan ngetem (padahal tidak boleh).

Tetap saja, secara konsep sistem ini lebih baik, daripada pemerintahan yang, sebagai contoh, membiarkan warganya melanggar aturan marka busway karena tidak mau terlihat buruk.

1 comment:

Anonymous said...

konsep 'tanggung jawab' disini yang selalu gue permasalahkan.
yang salah siapa koq malah orang lain yang bertanggung jawab.
pe: pejalan kaki salah nyebrang