Jangan Jadi Orisinal, Jadilah Otentik
Masih dalam acara Ngobrol Seru (tapi Santai), Luna menyampaikan bahwa ada dua macam penulis. Pertama, adalah yang hanya mau menulis ide-ide hebat. Sebelum ia merasa suatu ide itu benar-benar unik ia tidak akan mau menuliskannya. Begitu terbit, karyanya bisa jadi fenomenal dan menginspirasi banyak orang. Namun, butuh waktu lama sebelum ia kembali berkarya. Bisa jadi sampai sepuluh tahun sekali.
Yang kedua menulis begitu memiliki suatu ide yang cocok. Karena itu, begitu terbit, karyanya tidak sefenomenal tipe pertama. Namun, ia produktif. Dalam setahun, bisa empat buku yang ia hasilkan.
Tipe penulis seperti apakah Anda?
Donna mengajukan dirinya sebagai contoh tipe kedua. Baginya, yang penting adalah menyampaikan pesan kepada sasaran pembaca. Karena itu, ia tidak mencari ide yang fenomenal. Yang ia angkat adalah keseharian. Dan justru cerita keseharian itu yang bisa lebih mengena sasaran pembacanya (mayoritas pembaca remaja).
Isman menambahkan, bahwa kalaupun kita memilih sebagai tipe pertama, tetaplah berkarya. Minimal untuk diri sendiri. Atau kalangan terbatas. Karena dalam penulisan kreatif, ide bagus hanya muncul di antara ide-ide buruk. Dalam sepuluh ide, mungkin hanya satu yang benar-benar bagus. Tetapi, tanpa mewujudkan sembilan ide sebelumnya, ide kesepuluh yang bagus itu tidak akan muncul.
Luna menyetujui dengan mengingatkan pepatah Inggris, "There's nothing new under the sun." Ide sendiri tidak ada yang benar-benar orisinal sekarang. Jadi jangan terlalu ngotot untuk mencari ide yang orisinal.
Ada sisi lain dari pepatah itu, tambah Isman. Ide-ide hebat sekarang sebenarnya merupakan pengolahan dari ide-ide hebat sebelumnya. Bahkan konsep segar atau baru sendiri merupakan perbandingan dengan ide sebelumnya. Ide segar menggunakan pendekatan yang relatif berbeda dengan gagasan pada umumnya. "Itulah yang perlu kita arah," ucap Isman. "Pendekatan yang segar dan otentik. Jangan terlalu terpaku untuk mencari ide orisinal, tapi bikinlah ide itu menjadi khas kita. Otentik."
Donna mengajukan contoh, "Banyak cerita yang mengeksploitasi jeleknya hubungan keluarga. Karena itu, saya malah melakukan sebaliknya. Dalam Quarter Life Fear, Saya membuat hubungan antara tokoh utama dengan orangtuanya sangat dekat. Bahkan saking dekatnya, tak jarang sang tokoh utama merasa sesak sendiri saat butuh privasi. Dan di situlah muncul konflik." Banyak pembaca yang menyukai tokoh Mama Belinda ini, menurut Donna. "Sampai pada ngirim e-mail, bilang pengin punya ibu seperti itu," gelak Donna. "Dan ada juga yang berkomentar, 'Wah, ini kayak Mama gue banget!'"
Isman menyodorkan contoh lain dari buku nonfiksinya, Bertanya atau Mati, "Pernah memerhatikan kebiasaan orang untuk bilang, 'Kapan nyusul'?" tanyanya. Saat orang lain wisuda: Kapan nyusul? Saat ada yang menikah: Kapan nyusul? Saat ada teman yang melahirkan: Kapan nyusul? "Saya coba menawarkan pandangan yang berbeda: kenapa buru-buru sih?" ujar Isman. "Gimana kalau saya ngunjungin rumah duka? Apa nanti saya ditodong juga: Kapan nyusul? Dengan penggambaran itu, saya menyampaikan pendapat bahwa hidup itu bukan perlombaan. Nyante aja. Masing-masing ada waktunya sendiri."
Jadilah otentik. Cari pendekatan yang segar, bukan ide baru. Dan temukanlah pendekatan itu dengan terus berkarya.
No comments:
Post a Comment