Monday, July 06, 2009

Coraline: Novel Grafis yang Mengadaptasi Karya Neil Gaiman

Mengapa film horor Asia (Jepang, Thailand, bahkan Indonesia) sering menggambarkan hantu perempuan berambut panjang dengan gaun putih? Karena itu merupakan bagian dari stereotip kecantikan.

Dengan menggunakan stereotip kecantikan dalam pakem horor, penonton akan lebih terganggu. Kita jadi bingung saat batas antara menyenangkan dan menyeramkan terlanggar. Otak kita memaksa kita untuk menjauhkan diri dari apa pun yang kita lihat. Tapi setelah menghindar, kita malah merasa kehilangan; tertarik melihat lagi.

Itu juga sebabnya ketakutan-ketakutan masa kecil (atau besar) kita biasanya merupakan pelanggaran antara batas tersebut. Ketakutan masa kecil saya, misalnya, adalah menemukan Drakula boker di kamar mandi. Tidak terbang mengancam. Tidak lari mengejar. Tapi duduk santai sambil baca koran dan meminta saya menutup pintu.

Justru itu yang membuat saya ketakutan setengah mati. Karena batas antara kehidupan biasa dan tidak biasa menjadi kabur.


Kesederhanaan yang Merindingkan Bulu Kuduk

Coraline adalah karya seperti itu. Bukan karena memuat Drakula boker. Melainkan karena mengunyah batas antara menyenangkan dan menyeramkan, lantas meludahkannya sembarangan.

Tokoh utamanya adalah anak sebelas tahun, yang entah bagaimana, masih memiliki pikiran seterbuka bocah usia lima tahun.

Ya, bocah usia lima tahun--karena ia bisa menerima banyak keanehan tanpa panik. Sebagai contoh, saat ia menemukan sisi dunia lain di apartemennya, ia menemukan para "orangtua yang lain" yang mirip dengan orangtuanya. Bedanya, gigi ibunya tidak sepanjang itu. Jari dan kukunya tidak setajam itu... yang tentunya menyulitkan dalam melakukan beberapa hal tertentu.



Sori, bercanda. Itu nggak terjadi di novel grafisnya. Yang paling mencolok bagi Coraline: mata ibu yang ini terbuat dari kancing.

Kalau saya mendadak menemukan ibu yang lain seperti itu, bisa jadi saya pingsan berdiri. Sementara Coraline? Bukan hanya tenang. Ia ikut makan siang dengan mereka. Dan ia menikmatinya dengan lahap.

Ia bahkan tetap tenang saat disuruh bermain bersama barisan tikus bergigi tajam yang bisa bicara dan--dengan sangat horornya...



... menyanyikan lagu Kangen Band!

Maaf, saya nggak bisa menahan diri. Kembali serius, mereka menyanyikan lirik seperti, "Kami di sini sebelum engkau jatuh, dan kami akan di sini saat engkau bangun." Tidak ada lirik eksplisit yang mengancam akan membunuh atau mencincang kita. Justru karena itu, begitu mengganggu.


Harapan Neil Gaiman?

Anak sebelas tahun biasanya sudah terpolusi oleh dunia nyata. Atau lebih parah: oleh orangtua. Sehingga mereka tidak lagi berpikir kemungkinan. Hanya apa yang biasa. Semua yang tidak biasa tidak mungkin ada.

Mungkin Coraline merupakan harapan penulisnya sendiri, Neil Gaiman. Bahwa anak usia sebelas tahun sebaiknya tetap seperti itu: seorang perambah dan penjelajah. Tidak perlu harus punya cita-cita yang akan bagus kalau diceritakan di depan kelas. Tidak perlu sudah bisa hapal semua tabel perkalian hingga tiga digit. Dan tidak perlu bisa memberi kesimpulan yang penuh logika untuk bertindak. Sebagaimana jawaban Coraline saat dipertanyakan oleh sang Kucing mengapa ia berkeras mau menolong orangtuanya padahal ia takut: "Karena mereka orangtuaku."

Rambah. Jelajah. Tetaplah jadi anak-anak.


Penceritaan Visual yang Mengalir

Keuntungan sebuah novel grafis adalah visualisasi. Dan penggambaran Philip Craig Russell sangat mendukung nuansa ini. Paduan warna-warni cerah menemani perang antara cahaya dan ketiadaannya. Penggambaran dunia yang lain tanpa berlebihan; membuat seakan-akan wajar saja kalau anjing kelurahan sebelah bersayap dan suka nonton pertunjukan vaudeville. Coraline bukan kerja sama pertamanya dengan Gaiman, melainkan kelima. Ia sudah paham apa yang ingin disampaikan Neil. Bahkan begitu muncul ide adaptasi Coraline dalam bentuk novel grafis, Neil sendiri yang langsung meminta Russell untuk melakukannya.

Keakraban Neil Gaiman sendiri dengan format novel dan komik juga membantu kelancaran adaptasi ini. Gaya Narasi Neil memang visual, memudahkan kita untuk membayangkan. Ia paham bahwa kekuatan visualisasilah yang mampu membuat kita merinding tiada tara. Pertama-tama, Gaiman memunculkan citra kuat seorang ibu dalam benak kita; pelindung, penyayang, dan tegas. Lantas menghancurkannya dengan citra jari panjang berkuku tajam dan mata kancing; menunjukkan identitas aslinya...


...sebagai Mbah Surip.

Oke, serius, tadi itu bercanda terakhir. Sebagai makhluk yang justru kebalikannya dari seorang pelindung dan penyayang.


Kurangnya Ketelitian Penyunting

Yang saya sayangkan adalah kurangnya ketelitian penyunting. Dari sampul saja sudah terlihat bahwa penerjemah dan penyunting tidak sadar bahwa Harvey Award dan Eisner Award adalah dua penghargaan berbeda; bukan satu penghargaan dengan nama "Harvey and Eisner".

Itu mungkin tampak seperti hal yang remeh. Namun bagi saya fatal. Konteksnya jadi keliru. Hal seperti ini terjadi beberapa kali dalam Coraline versi Indonesia terbitan M&C ini. Kabar baiknya: pembaca seperti saya jumlahnya sama seperti pengemudi motor yang tidak menyelip-nyelip di antara kepadatan mobil. Suara kami tidak akan terdengar; kalah jauh dibandingkan mayoritas.


Pertanyaan Penting: Karya Ini Untuk Dibaca Siapa?

Neil Gaiman menulis novel aslinya untuk pembaca anak-anak. Dalam situsnya, Neil berkata bahwa ia membacakan Coraline untuk anaknya, Maddy, pada saat usianya enam tahun.

Ini bukan berarti Coraline hanya untuk anak-anak. Seperti yang dikatakan Agung dalam resensinya, "...para orangtua yang berpendapat sebuah komik anak-anak nggak akan mungkin berhasil menakut-nakuti diri mereka yang gagah perkasa, jangan menyesal kalo belakangan harus bangunin anak untuk minta ditemenin pipis."

Pendapat ini diperkuat Holly, anak Neil Gaiman sendiri. Ia membaca Coraline saat berusia enam belas tahun. Khawatir, Neil berkata, "Semoga kamu nggak terlalu tua untuk [bacaan] itu." Holly menjawab, "Aku rasa tidak akan ada yang terlalu tua untuk membaca Coraline."

Bagi yang masih penasaran, situs HarperCollins menyediakan pratinjau empat puluh halaman awal Coraline (tentunya versi Inggris). Namun, kalau sudah terpikat tanpa itu, langsung saja cari versi Indonesianya di toko-toko buku. Dengan lima puluh lima ribu saja, Anda bisa punya alasan untuk mempererat hubungan kekeluargaan... dengan pergi pipis malam bareng-bareng.

25 comments:

Cikenstrip said...

OMG, mbah surip *pingsan*

Isman H. Suryaman said...

@niwat0ri: manteb toh!

avianto said...

Ilustrasinya kurang 'garang' dibandingkan versi novelnya yang diilustrasikan oleh Dave McKean.

Lebih terasa 'nightmare'nya, kalau yang ini seperti komik biasa...

Isman H. Suryaman said...

Menurutku malah inti Coraline adalah di penggambarannya yang nggak garang, Boy. Bikin merinding karena semuanya dibikin biasa. Analoginya kalau di humor itu menyampaikan lelucon dengan ekspresi datar (deadpan).

Ms Mushroom said...

penasaran ingin membaca, anyway, gambarnya gak seimut filmnya ya :p

Isman H. Suryaman said...

Iya. Versi film lebih imut. Dan tokoh Coraline-nya malah jadi kayak usia 13 tahun lebih.

Mfcreation said...

Ceritanya menarik..

Amir Syafrudin said...

Salam kenal.

Saya cuma pernah lihat versi film Coraline. Sayangnya melihat film itu juga cuma sepintas karena lagi buru-buru. Kesan pertama, bentuk karakter di film animasi itu aneh. Selanjutnya jadi agak males nonton. :)

Btw, pernah kepeleset dan mengetik Caroline gak?

Isman H. Suryaman said...

"Mengusik" lebih tepat Mfcreation, hehe.

Salam, Amir! Animasinya emang begitulah, hehe. Desain karakternya dibuat lebih lucu supaya lebih bisa diterima anak-anak. Cerita sih tetap mengusik, hehe.

Selama ini sih belum. Tapi teman yang memberi aku novel grafis ini malah beberapa kali kepeleset, haha. Aku sih justru karena namanya begitu, otomatis langsung nempel.

Amir Syafrudin said...

Maafkan saya yang awam literatur. Maksudnya "mengusik" itu bagaimana ya?

Isman H. Suryaman said...

Oh, itu padanan yang kugunakan dalam konteks ini untuk istilah "disturbing".

Isman H. Suryaman said...

Tambahan: dalam arti yang baik, ya?

Amir Syafrudin said...

Pertanyaan saya kayaknya kurang tepat, Bang Isman. Maksud saya adalah bagian mana dari Coraline yang Bang Isman anggap mengusik itu?

Isman H. Suryaman said...

Dari resensi masih kurang jelas, ya? Sebagai satu contoh: pengawinan hal-hal absurd dan menyeramkan yang ditanggapi tokoh utama dengan tenang.

Amir Syafrudin said...

OK deh, Bang Isman. Sepertinya memang saya yang tidak menganggap bahwa hal tersebut mengusik. Makanya saya gak ngerti bagian mengusik yang dimaksud Bang Isman. Terima kasih atas jawaban-jawabannya.

irawan.sandra@yahoo.co.id said...

Trus pingsan deh, hehehe.

Leila said...

Ngg, itu ada satu 'Caroline' di plesetan novel grafisnya...

Boleh di-link untuk memeriahkan review saya ya.

Isman H. Suryaman said...

Halah! Ternyata emang kalau kepleset ya nggak akan nyadar kalau nggak dikasih tahu. Langsung kuganti aaaah. Thanks, ya!

Boleh, silakan.

motherAnarchy said...

"Coraline" ini bagi saya perpaduan yang jenius antara Neil Gaiman, Philip Craig Russell, dan tentu aja, Henry Selick! saya nge-fans berat ama tiga-tiganya, dan cukup terkejut sekaligus sedikit histeris ngeliat karya mereka untuk Coraline ini.

tentu saja bawaan visual dalam buku, komik dan film beda! dan kolaborasinya tidak mengutamakan gaya Neil dalam pemaparan ceritanya, tetap dengan karakteristik Philip Craig dan Henry Selick.

FYI, Henry Selick juga sutradara dari The Nightmare Before Christmas, bagi yang masih mengira film ini disutradarai oleh Tim Burton ;) Gaya Neil Gaiman yang ngungkapin 'cryptic truth' seperti dalam Sandman Storiesnya, juga ada di Coraline, seperti review masnya yang ngejelasin tentang gimana kita umumnya menghadapi sesuatu yang 'horor'. dan Henry Selick gambarin ini dengan keren, dunia yang benar-benar lain, dunianya Neil Gaiman dan Coraline.

anak saya umurnya hampir 3 tahun, dan ya, dia takut sama The Other Mother-nya Coraline, katanya takut emaknya jadi kayak gitu juga :P

bagian-bagian yang mengusik dari karya Neil Gaiman itu ya, memang perbedaan yang tipis antara kenyataan yang menyeramkan dan mimpi yang menyenangkan , atau sebaliknya. silakan tukar2 kata2 yang di-italic. The Sandman Stories dengan 10 edisinya lebih jelas mengungkapkan sisi Neil Gaiman yang ini, yang sepertinya memang sifat dia yang sebenarnya. bagus juga, untuk membuat kita sedikit melihat dunia dari sisi lain ;)

I LOVE NEIL GAIMAN!!

ddee said...

Super hero Indonesia kalah sama bintang horor di film Indonesia. Honor itu identik dengan muka seram dan berdarah-darah ya :(

Isman H. Suryaman said...

@motherAnarchy: Glad to meet someone that enthusiastic, Lois. I mean, if I talk about Neil Gaiman at the office, my friends reaction would be, "Oh. That's good," or "Hmm... yay?"

@ddee: Honor? Ya, tentu saja honor identik dengan berdarah-darah mendapatkannya. Muka seram sih kalau nggak dibayar-bayar, hehe.

Kembali serius. Ya, horor kita masih berkutat di tingkat superfisial. Istilah Inggrisnya sih face-value. Maen mengejutkan dengan muka seram, darah-darah, dan hal-hal menjijikkan, tanpa konteks.

Irwan Bajang said...

lagi tergila2, novel grafis...
review yang menarik....meski rada sinting
hahahahaha


salam

Isman H. Suryaman said...

Emang, sinting banget. Siapa sih yang nulis? ... Eh?

Karina Saputri said...

itu ilustrasi dengan versi plesetannya bener-bener deh...

Unknown said...

saya pernah baca novel ini pas smp dan saya gak nyadar kalo ini novel horror (iya bukan?)baru nyadarnya pas baca resensi (?) ini dan berasa serem sendiri.. apa dulu pikiran saya juga terlalu 'terbuka'?