Thursday, April 19, 2007

Menunjukkan Dua Kualitas Humor Pribadi yang Penting

Lantas, lelucon apa yang saya berikan ke kakak saya untuk menolong wawancaranya? Pertama-tama, jelas bahwa organisasi ini tidak mencari komedian. Mereka hanya ingin mengenali prinsip pribadi calon rekan kerja mereka.

Karena itu, saya cukup mengambil dua lelucon dari simpanan pribadi. Lantas memberi petunjuk pembawaan leluconnya yang akan menunjukkan dua hal penting:
a) Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri
b) Personalisasi lelucon

Lelucon pertama saya pesankan untuk disampaikan setelah jelas bahwa latar belakang kakak saya adalah akuntan. Lelucon itu sendiri adalah salah satu varian lelucon "tipe orang". Bunyinya antara lain:

Ada tiga tipe akuntan di dunia. Yang bisa menghitung, dan yang nggak.

Ini adalah salah satu jenis lelucon terkuno. Saya sendiri menggunakan satu variannya ketika menulis artikel tentang pengalaman latihan beban:
Ada dua tipe orang di pusat kebugaran. Orang yang pipis ketika mandi pancuran, dan orang yang berbohong.

Intinya, ini adalah lelucon sederhana yang mudah disampaikan. Dan yang paling penting: ini menunjukkan bahwa kita bisa menertawakan diri sendiri. Ini adalah kemampuan yang dicari. Orang yang bisa menertawakan diri sendiri berkemungkinan lebih kecil untuk menyalahkan orang lain saat terjadi kesalahan. Rata-rata tingkat stres pun lebih kecil. Ini juga menunjukkan humor yang baik.

Kita juga cenderung menyenangi orang-orang yang menertawakan diri sendiri. Dengarkan saja pujian sebagian besar penggemar acara Empat Mata. Umumnya, mereka (karena saya bukan penggemarnya) berkata bahwa, "[Yang unik], Tukul sering menertawakan diri sendiri." Almarhum Ronald Reagan juga mampu mempertahankan sebagian besar pendukungnya pada masa kepresidenan karena sering menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan lelucon positif.

Lelucon kedua saya pesankan agar disampaikan sebagai cerita pribadi. Saya menyarankan agar dia mulai dengan membuka diri sebagai ibu dari tiga anak. Tunjukkan ketegaran dalam membagi waktu dan disiplin. Lantas sambung dengan kelemahan; bilang bahwa kadang-kadang menjadi orangtua ada susahnya. Contohnya saat Aril, anaknya yang menjelang remaja, tiba-tiba bertanya, "Bu, sex itu apa?"

Berhentilah sebentar untuk menunjukkan keterkejutan. Lanjutkan dengan cerita bahwa ia percaya pada pendidikan anak modern yang terbuka. Karena itu ia lantas menjelaskan panjang lebar tentang seks. Setelah itu, Aril mengangguk mengerti, "Oke." Tapi ia kemudian menyeret kakak saya dan menunjukkan layar monitor. Ia sedang mendaftar ke satu situs luar negeri, dan harus mengisi form. "Kalau gitu," tanyanya. "Gimana ngisiin semua itu ke kotak kecil ini?" ia menunjuk pada kolom "Sex: ".

Dengan cara begini, kakak saya tidak sekadar menceritakan lelucon. Ia sedang berbagi cerita diri dan keluarga. Kalau kebetulan lucu, bagus. Kalau tidak, setidaknya sebagian keraguan akan kemampuan profesional dia sudah terjawab. Karena umumnya, orang yang sudah berkeluarga akan dipertanyakan apakah dia bisa membagi waktu. Dengan cerita ini, dia terlihat kompeten, berpendidikan, dan humoris.

Apakah ini manipulasi? Sebagian ya. Tapi tenang saja. Humor bukan sesuatu yang bisa dipalsukan dengan mudah. Cara ini berfungsi bagi kakak saya karena dia memang kompeten, berpendidikan, dan humoris. Seseorang yang sekadar berusaha meniru akan kesulitan dalam menceritakan kedua lelucon di atas. Bisa jadi, ia malah tidak akan memahami keduanya.

2 comments:

Anonymous said...

Jadi inget Gus Dur waktu meeting di ASEAN (CMIIW?) trus bilang, "Saya dan Megawati ini adalah pasangan Presiden dan Wapres yang pas. Saya gak bisa ngelihat tapi banyak bicara, sedang bu Mega bisa melihat tapi banyak diammnya". (kayaknya udah gak bener nih kutipannya :P)

Isman H. Suryaman said...

Tapi kira-kira begitulah memang, Hardono. Sayangnya emang Gus Dur selain berkomentar humor cerdas yang menertawakan diri sendiri juga sesekali menyerang orang/kondisi dengan kurang bijak.