Monday, May 14, 2007

Makan Buah Simalakama: Seperti Diurut Shin Se

Minggu lalu, saya mengalami cedera pada dua bagian: jempol tangan karena futsal. Dan tumit kaki karena bulutangkis. Setelah istirahat seminggu pun belum terasa sembuh. Melangkah masih terseok-seok sambil meringis.

"Baru gosok gigi, Man? Kok senyum melulu?" tanya rekan kerja saya. Seorang rekan kerja juga langsung pura-pura menari tap. "Makanya, Man," ujar seorang lagi. "Kalau beli sepatu yang rata dong. Jangan tinggi sebelah."

Sialan. Saya hanya bisa diam karena sulit bicara dari sela-sela gigi yang terkatup. Dan memutuskan untuk mencari ahli urut[1] atau syaraf.

Jum'at malam lalu, saya pun memutuskan untuk berobat ke seorang shin se (tabib) bernama Jerry. "Shin se Jerry-nya ada?" tanya saya kepada seorang pria bertubuh mungil berkaos hitam.

"Saya sendiri," jawabnya dengan senyum. Usianya mungkin baru awal tiga puluhan tahun.

Entah kenapa, saya tidak terkejut. Mungkin karena dalam film silat, ahli silat dan pengobatan umumnya bertubuh kecil. Atau mungkin juga karena, saat mempersilakan masuk ruangan pemijatan, saya melihat tangannya yang berotot liat. Jika ada tangan yang dapat menahan sabetan pedang, saya yakin bentuknya kira-kira seperti itu. Jika ada tangan yang dapat meremas batu jadi serbuk kecil, bentuknya pun akan seperti itu.

Baru saya sadar bahwa tangan yang sama akan memijat kaki dan tangan saya. Sambil menelan ludah, saya membayangkan sakitnya; bagaimana kalau saya berteriak-teriak?

Seakan menjawab, tampaklah satu papan yang tertempel di tembok dengan tulisan besar, "Harap tenang!"

Kata-kata itu terus membayang di otak saya ketika merebahkan diri di dipan pemijatan. Sebelumnya saya berganti celana pendek dan merendam kaki di air hangat. Saya sempat heran melihat sebuah lubang yang menembus bagian kepala dipan. Untuk apa itu?

Sebelum sempat bertanya, sang Shin se sudah memegang kaki kanan saya dan menepuk-nepuknya dengan keras. "Yang sakit ini, ya?" tanyanya, seakan-akan mata saya yang membelalak belum menjawab. Ia mulai memijat dari jari-jari kaki. Lantas menyuruh saya tengkurap.

Ternyata lubang dipan itu berguna untuk memasukkan kepala kita. Sehingga punggung bisa lurus, tidak menegang. Sayangnya pencerahan ini pun berumur pendek, karena sang Shin se mulai memijat dari betis hingga pangkal paha. Saking sakitnya bagian itu, saya terpaksa mencengkeram pinggiran dipan.

Entah berapa lama, Shin se pun berhenti dan meminta saya untuk berdiri. "Coba jalan, sakit nggak?"

Saya pun melakukannya dan mengernyit. Tumit saya masih sakit. Saya pun kembali berbaring.

Dan ia kembali berpusat kepada titik pangkal paha yang sangat menyakitkan. Rasanya seperti urat saya sedang dicongkel-congkel menggunakan sendok. Beberapa kali saya terpaksa menahan napas. Hingga akhirnya sambil terengah-engah, diminta kembali berjalan.

"Masih sakit?" tanya Shin se perlahan.

Di sini saya mengalami dilema. Kaki saya sebenarnya masih sakit. Tapi kalau mengaku, urat saya akan kembali dicongkel. Seharusnya peribahasa basi "Seperti makan buah simalakama"[2] diubah menjadi "Seperti dipijat Shin se"; kalau tidak mengaku, sakit. Kalau mengaku juga sakit.

"Euh," ujar saya ragu. "Masih," jawab saya sambil menelan ludah. Ia pun kembali mengisyaratkan saya untuk kembali berbaring. Saya langsung membayangkan nasib tawanan perang yang diinterogasi paksa. "Ngaku nggak?" tanya penginterogasi sambil mencongkel kuku jempol.

Sepertinya bagus juga kalau para shin se jadi ahli interogasi. Selama ini kan siksaan selama interogasi pada tawanan perang itu melanggar Konvensi Jenewa dan memang membahayakan nyawa tahanan. Namun bagaimana kalau para shin se ini justru diminta mengurut mereka?

"Hmm, kaki kamu keselo, dan tulang bahu sedikit bergeser," ujar seorang shin se penginterogasi. "Kalau kamu menolak mengatakan apa misimu, saya akan sembuhkan kamu!" ancamnya.

Mata sang prajurit hanya balas menantang.

Sang shin se pun tinggal membaringkan prajurit tersebut dan mulai mengurutnya. Krek, krek, plek.

"Wadddaaaaww! Amppppppuuuuuuun! Misi saya mencuri dokumen proklamasi kemerdekaan!" aku sang prajurit.

"Oke, sip," ujar sang shin se sambil membasuh tangan. "Kakinya jangan diberi beban terlalu berat dulu. Jadi tunggu dua minggu sebelum nyoba kabur, ya? Posisi tulang bahunya juga sudah saya kembalikan normal. Tapi tunggu sebulan, lah, sebelum pake ransel yang berat."

Tawanan jadi sehat. Informasi pun dapat. Sama-sama senang, kan?

Anehnya, gara-gara membayangkan ini, rasa sakitnya jadi tidak terlalu terasa. Saya bahkan malah nyengir-nyengir di antara kesakitan. Untungnya wajah saya menghadap ke lantai. Kalau terlihat oleh shin se, bisa-bisa dikira masochist.

Setelah yang terakhir ini, sakitnya pun mulai menghilang. Ternyata, menurut sang shin se, sakit di tumit itu muncul akibat urat di pangkal paha tertarik. Karena itu, saya diminta menekukkan kaki sebelum melangkah, agar meminimasi tegangan. Dalam beberapa hari seharusnya akan kembali normal.

Lega juga. Dunia tiba-tiba terasa damai. Saya pun siap-siap keluar dengan perasaan ringan. Namun, tiba-tiba sang shin se bertanya, "Kalau tangannya mau sekalian sekarang?"

Walah! Dilema lagi.

____________________
[1]: Satu hal tentang bekerja di sebuah perusahaan konsultasi teknologi informasi: jika kita bertanya, "Ada yang tahu tukang urut yang bagus?" biasanya dijawab dengan, "Diurutnya sesuai alfabet atau waktu tampil?"

[2]: Ngomong-ngomong, buah simalakama itu nyata atau abstrak sih? Kalau nyata, bentuknya seperti apa? Ada yang pernah lihat?

2 comments:

dende said...

mas, kalo bulutangkis yang cedera tumit saya masih bisa terima, tapi bagaimana mungkin, futsal yang pake kaki, cedera jempol tangan?
lapangannya basah ya? :D

berarti futsal divusi sabtu pagi kemaren gak ikutan ya mas?

Anonymous said...

Kan saya jadi kiper, Deeeen. Lupa, ya?

Sabtu pagi kemarin nggak ikutan. Lah, kamu sendiri kok ndak muncul lagi? Masa cuman one-hit wonder sih? (Emang grup musik?)