Milikilah Pesan dan Bersenang-senanglah
"Menulis memang mudah," ujar Donna pada anak-anak SMP Madania, Bogor. Puluhan pasang mata memerhatikan saat Donna melanjutkan, "Hanya kalau kamu serius melakukannya."
Kumpulan anak-anak ini baru saja menyelesaikan tugas mereka, membuat novel dalam satu bulan! Acara Writing Open Day ini adalah akhir dari rangkaian pembelajaran mereka. Pada hari ini, karya sejumlah penulis belia ini akan mendapatkan penghargaan. Para praktisi industri perbukuan pun akan ikut berbagi pengalaman. Benny Rhamdani dari Mizan mewakili penyunting. Sementara Donna dan saya mewakili penulis.
Beberapa anak tampak mengangguk. Namun ada juga yang mengeryitkan kening. "Serius nggak selalu menyeramkan, kok," lanjut saya. "Main basket juga bisa serius. Dan kita tetap senang saja melakukannya."
Kami pun mulai dari mengajak para penulis belia ini bertanya pada diri sendiri, "Mengapa kita menulis?" Cara mudahnya, ingatlah karya yang membuat kita benar-benar merasa, "Karya seperti inilah yang ingin aku tulis." Lalu pikirkan, "Kenapa?" Ingat juga karya yang berkesan panjang dalam diri kita. Boleh novel, film, atau komik. Apa persamaan antara cerita-cerita ini?
Umumnya, karya-karya tersebut memiliki pesan. Dan bukan pesan moral gamblang yang sekadar ditempel di belakang cerita seperti, "Janganlah mencuri, adik-adik. Mencuri itu tidak baik."
Justru sebaliknya. Semakin bagus karya, semakin tidak gamblang pesannya. Tapi malah tertanam dengan kuat pada diri kita. Banyak anak yang membaca Harry Potter, misalnya, terinspirasi untuk menjadi pahlawan. Banyak orang dewasa juga yang kembali merenungi hidup setelah membaca karya Mitch Albom, Five People You Meet in Heaven. Pesan ini terkandung seutuhnya dalam cerita.
Dan inilah yang membuat perbedaan antara karya yang menggugah dan karya yang biasa-biasa saja.
Meneruskan obrolan tentang karya yang menggugah, Donna menanyakan karakter apa yang para hadirin sukai dari Harry Potter? Jawabannya beragam. "Harry!" seru seorang anak lelaki yang begitu didekati malah malu. "Hermione!" tukas seorang anak perempuan dengan tegas.
"Ada yang suka Ron?" tanya saya. "Hagrid?" Walau sembunyi-sembunyi, ada yang mengangguk.
"Selain pesan, ini juga salah satu keunggulan karya yang menggugah," ucap Donna. "Pembaca mana pun akan dapat menemukan dirinya pada salah satu karakter dalam cerita."
"Bayangkan kalau kita membaca cerita seperti ini," ucap saya sembari membuka slide yang menunjukkan gambar di kanan ini. "Narasinya cantik dan bahasanya indah, seperti pemandangan ini. Tapi tidak ada penggambaran tokoh. Kira-kira berapa lama sebelum kita bosan?" Sambil melangkah ke tengah, saya melanjutkan. "Coba saja, kalau melihat foto bersama, wajah siapa yang pertama-tama kita cari?" Seorang anak lelaki berambut keras yang duduk di barisan kanan menunjuk dirinya sambil tersenyum hingga pipinya membulat.
Anak itu, yang mengenalkan diri sebagai Valdi, sudah menangkap intinya. Walaupun kita membuat cerita fantasi di antah berantah, pembaca akan selalu mencari relevansi antara dirinya dengan tokoh cerita. Karena itu, penokohan yang kuat dan membumi, serta interaksi antar karakterlah yang menjadi kunci kedekatan emosi pembaca.
Star Wars, sebagai contoh, berlatarkan dunia antah-berantah berteknologi tinggi. Namun, salah satu adegan yang paling diingat para penonton justru bukan kecanggihan teknologinya. Begitu trilogi kedua dibuat dengan bantuan pencitraan komputer, tetap saja tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan adegan ini. Adegan mana yang saya maksud? Tak lain ketika Luke menyadari bahwa Darth Vader adalah ayahnya.
Obrolan di Aula MPH ini terus berlanjut. Dari berbagai teknik penulisan (memulai cerita, show, don't tell, orisinal versus autentik, dan manajemen konflik) hingga tips untuk mencari ide maupun melawan kebosanan dalam menulis. Para penanya juga mendapatkan hadiah buku dan notes eksklusif Gramedia Pustaka Utama.
Menjelang akhir, sejumlah anak mulai kehilangan konsentrasi. Udara di aula sendiri semakin terasa panas. Namun, mereka kembali memerhatikan saat kami menayangkan beberapa klip video menggelitik untuk menunjukkan ilustrasi tentang pentingnya mengambil sudut pandang yang berbeda, memikat pembaca dari awal, hingga pentingnya memeriksa ulang (check and recheck) tulisan. Barisan depan pun tergelak saat saya dan Donna mengajak mereka untuk bermain-main dengan tulisan saat bosan. Misalnya, membayangkan naskah mereka dibawa ke unit gawat darurat dalam ambulan yang sirenenya berbunyi mentok-mentok-mentok-mentok-mentok-mentok.
"Apa yang terjadi?" tanya dokter.
"Naskah saya sekarat, Dok! Ceritanya mentok saat tokoh cowok bingung mau jadian apa nggak?"
"Tambahin konflik aja," ujar dokter sambil memasang infus. "Munculin orang baru yang kayaknya disukai ama si cewek."
"Saat jenuh, break aja," simpul Donna. "Atau kembalikan kesenangan kita untuk menulis."
"Ya, jangan sampai menulis jadi beban," tambah saya. "Saya contohkan basket lagi. Apa bedanya main biasa dengan pertandingan? Pertandingan bisa bikin kita jadi terbebani. Tapi main basketnya tidak jera, kan? Karena kita suka. Menulis juga gitu. Untuk mengatasi kejenuhan, cobalah menulis dengan tujuan bersenang-senang."
"Dengan begitu," tutup Donna. "Menulis menjadi mudah."
2 comments:
Kalau saya memang untuk bersenang-senang sih...tapi kalau untuk cerpen, masih belum kepikiran euy, masih takut-takut gitu deh, padahal kan gak penting ya takut gitu? :D
Penting untuk diakui sih, Don. Sama aja kayak rasa "takut" untuk berbicara di depan umum. Kita perlu mengakui bahwa perasaan itu ada. Dengan begitu, kita memanfaatkan perasaan itu sebagai energi dalam melakukannya: berbicara maupun menulis.
Post a Comment