Pencerahan dari Perang Antar-robot
Aza, anak saya yang berusia hampir tiga tahun, baru tadi malam mendapatkan mainan robot plastik. Satu set berisi empat robot sebesar telapak tangan, berbentuk seperti Gundam yang baru saja kalah perang dan didaur ulang.
Hal ini tidak mengurangi kegirangannya. Saking senangnya, ia langsung memainkan mereka dalam sebuah peperangan. Biasanya saya tidak begitu memerhatikan ocehan permainannya. Tapi permainan peran dia kali ini sedikit berbeda.
"Halo, saya Robot Baik," ujar Aza menggerakkan robot di tangan kanannya. "Kamu siapa?"
"Saya Robot Jahat," jawab Aza sambil mendekatkan robot di tangan kiri. "Kamu saya tembak, ya? Dar! Dar!" Robot Jahat rupanya mematuhi sopan santun. Dalam kalangan robot, sepertinya tidak apa-apa saling membunuh asalkan permisi dulu.
"Aduh, sakit!" keluh Robot Baik.
"Kalo sakit, diobatin aja," anjur Robot Jahat yang ternyata juga penuh perhatian pada korban-korbannya.
"Iya," angguk Robot Baik yang sepertinya juga lugu.
"[Selagi] kamu diobatin, saya tembak. DAR! Tembak yang bagus!"
Saya dan Donna berusaha keras menahan tawa di sini. Karena kami tidak ingin mengganggu permainan Aza. Sebelum bahu saya berhenti berguncang, sebuah pemikiran menyeruak. Hal ini mengingatkan saya, bahwa anak-anak pada umumnya selalu mulai memahami dunia dengan pembedaan Jahat dan Baik. Begitu mereka sudah merasa jelas akan perbedaan kedua itu, tiba-tiba muncullah beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan dengan pembedaan ini. Lalu muncullah pertanyaan-pertanyaan lain sekitar persepsi: "Mengapa Baik bagi A bisa Jahat bagi B?" lantas "Apa hubungan antara Baik-Jahat dengan Benar-Salah?"
Hingga akhirnya muncullah pertanyaan yang akan selalu mampir di kala kita butuh pedoman, "Apa yang harus saya lakukan?"
Kita semua menjalani proses itu. Dan satu hal yang saya pelajari selama ini: jawabannya tidak bisa saya dapatkan dari orang lain. Harus dari diri sendiri. Orang lain hanya bisa mendukung atau membantu. Termasuk sebaliknya, menentang maupun melawan.
Saya menyadari peran saya dan Donna sebagai orangtua di titik-titik itu akan lebih berat daripada sekadar mengganti popok pada dini hari menjelang tenggat waktu pekerjaan. Karena di saat itu, kami tidak bisa melakukan sesuatu yang konkret. Hanya bisa memberi dukungan dan kepercayaan.
Percaya bahwa anak-anak kami dapat mengambil keputusan yang tepat. Dan kalaupun tidak, mereka akan bisa bertahan hidup dengan belajar dari kesalahan mereka sendiri.
1 comment:
Hahaha...seru, saya juga sering dapat pencerahan kalau melihat tingkah laku anak-anak. Masalah yang buat kita rumit, bisa jadi sangat sederhana kalau ditanyakan pada mereka...
Post a Comment