Saturday, September 22, 2007

Saat Humoris Tidak Boleh Tersenyum

Hari Minggu kemarin (16 September 2007), saya menderita reaksi alergi hebat di sekitar wajah. Penyebabnya? Oxygenated Spray Mustika Ratu.

Berdasarkan label di botolnya, semprotan ini "Mengandung sari TEH HIJAU dan OKSIGEN KOMPLEKS. Memberikan kesegaran dan rasa sejuk pada kulit wajah. Menjadikan kulit lembab dan berseri." Saya coba semprot tiga kali, terus usap di muka.

Ternyata emang seger banget.

Reaksinya memang tidak spontan. Awalnya hanya gatal-gatal dulu. Lantas perih. Besok paginya saat sahur, mata sudah bengkak. Ternyata di beberapa bagian tampak seperti terbakar. Salah satunya di kelopak mata. Kulit wajah juga terasa kaku. Dan karena itu, beberapa bagian, seperti pinggir bibir dan hidung jadi sobek. Setiap kali tersenyum (atau mengupil) perih sekali. Sorenya saya langsung mendaftar di dokter penyakit kulit dan kelamin.

"Oh, ya, ini sih alergi," komentar sang Dokter. Ia pun kemudian menyuruh susternya untuk menyuntik pantat saya. Entah kenapa saya menurut saja. Karena setelah berpikir-pikir aneh juga. Mengapa harus dari pantat, ya? Alerginya kan di wajah? Kenapa nggak di pangkal lengan saja yang lebih dekat ke wajah?

Atau jangan-jangan ada jalan tembus dari pantat ke wajah? Bagus juga kalau ada. Lain kali kalau ada wanita cantik yang mengeluh, "Ini bintik merah di pipi gue apa, ya? Alergi?" saya bisa segera membantu.

"Mau saya periksa dari jalan tembusnya, Mbak?" tawar saya tanpa pamrih.

Sebelum saya sempat menanyakan hal tersebut pada sang Dokter, saya keburu tertegun duluan. Karena sang Dokter ternyata sedang menyemprotkan Oxygenated Spray itu ke lengannya. "Oh," ujarnya sambil mengusap-usap lengannya yang basah. "Ada sabunnya juga toh." Ia menyemprot lagi dan mengusap-usapnya. Lantas menunjukkan sedikit busa yang terbentuk. "Lihat, ada busa, kan?"

"Wow, iya," ujar saya, seakan-akan melihat seekor lumba-lumba menari samba.

"Panas juga nih," tambah sang Dokter lagi. "Pantes aja alergi. Kulit saya juga alergian," ucapnya.

"Kalau gitu ngapain Dokter nyoba segala?" adalah kalimat yang ingin saya lontarkan. Tapi jadinya yang keluar hanya, "Oh, ya?" Dalam hati, saya bersyukur hanya kena reaksi alergi. Coba saya datang sambil sekarat, "Dok, kayaknya saya keracunan arsenik!"

"Mana botolnya!" Ia pun menenggak isinya. "Hmm... kayaknya ada sabunnya. Coba, Suster, tolong suntik pantat Bapak ini." Setelah itu, ia tergeletak tewas.

Namun, bisa jadi sang dokter hanya mempraktikkan prinsip kedokteran pertama di seluruh dunia: eksperimen diri. Ribuan tahun lalu, saat manusia masih sibuk mengejar-ngejar mammoth dan diinjak tyrannosaurus rex, metode kedokteran jelas belum secanggih sekarang.

Seorang manusia purba datang mengeluh, "Ugh. Semprot. Wajah. Sakit."

Dan dokternya akan langsung mendiagnosis keluhan itu. Dengan cara mengetikkan kata kunci "semprotan wajah sakit" pada Google. Dan tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban. Karena internet pada masa itu masih ditenagai pterodactyl pos. Sekali kirim pterodactyl, sampainya kira-kira seminggu. Ini jelas jauh lebih parah daripada Telkom Speedy. Tapi lebih mending daripada Telkomnet Instan.

Jadi, jelas mencari solusi di internet bukanlah solusi medis yang efektif. Dokter di masa prasejarah mungkin terpaksa bereksperimen pada diri sendiri. Dia akan mencoba menyemprotkan itu pada wajahnya. Lantas berusaha menyembuhkan diri. Karena berdasarkan peninggalan lukisan gua, orang-orang pada masa itu senang sekali melemparkan tombak. Jadi kalau ada yang berani-berani menyemprot wajah orang, bisa-bisa disate.

Kembali ke masa kini, saya memastikan apakah gejala yang saya alami masih normal. Jika kulit wajah kering, belah-belah, dan seperti terbakar di beberapa tempat itu bisa dibilang normal.

"Oh, ya memang begitu," jelas sang Dokter. "Kulitnya jadi keras dan kaku gitu, kan? Makanya nggak elastis lagi. Coba kalau karet gelang tiba-tiba jadi keras terus tetap ditarik, jadinya gimana?"

"Aww!" seru saya. Bukan bermaksud menjawab. Tapi karena tanpa sadar tersenyum.

Akhirnya saya pun diberi resep obat dan salep. Ketika menebus obat, petugas apotek menanyakan nomor telepon. Saya pun menyebutkan sederetan angka hingga, "...dua satu empat sembilan..."

Dan ia mengetikkan, "...1149".

"Dua satu empat sembilan, Pak," ujar saya lagi.

Ia memeriksa angkanya. "Iya," ujarnya sambil memegang gagang kacamata. Tapi tidak mengoreksinya. Ia benar-benar mengira bahwa maksud saya adalah dua buah angka satu.

Saya hanya bisa menyayangkan kesempatan yang hilang. Coba tadi bilangnya, "Sepuluh ribu satu empat sembilan." Bisa jadi sampai subuh petugas itu teruuuuus saja mengetikkan angka satu.

Awwww! Dan bibir saya pun sakit lagi.

Malamnya saya mampir di kantor untuk membereskan administrasi proyek. Dan saat mendengar saya tidak bisa tersenyum, Mbak Noey dari bagian administrasi langsung menyeringai lebar dan mengajak bercanda terus.

Aw! Aww! Awwwwawawawawawwwww!

Mungkin inilah definisi masochist bagi seorang humoris: terus tersenyum walau justru itu yang bikin tersiksa.

2 comments:

Anonymous said...

Syahahaha.. syihihihi.. ahahaha.. kocak banget ini masss.. eh.. mas kan? apa jeung? mbak? sus? hehe..

Isman H. Suryaman said...

Mas Jeung. Atau Kang Jeung, ya? Kang Jeung Prabu.