Wednesday, December 19, 2007

Teori Relativitas 32,5%

Dalam rangka mengincar kursi kepresidenan, Wiranto menayangkan kampanye TV yang menayangkan statistika World Bank: 49% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan.

SBY menyanggah, mengatakan bahwa berdasarkan BPS, persentasenya hanya 16,5%.

Ke mana perginya 32,5% ini?

Terlepas dari acuan dasar yang digunakan berbeda, mari tinjau kemungkinan lain:

  1. Persentase kemiskinan berbanding terbalik dengan lama jabatan kepresidenan
  2. Semakin lama seseorang menjadi presiden, entah mengapa, ia semakin percaya bahwa persentase kemiskinan mengecil. Sebaliknya, semakin lama seseorang gagal jadi presiden, ia semakin percaya bahwa persentase kemiskinan membesar. (Dan--tentunya--hanya dia yang tahu solusinya.)


  3. Pemerintah bingung 32,5% itu miskin apa nggak?
  4. Bisa jadi karena pilihan metoda survei. Misalnya jika form survei yang digunakan memiliki pertanyaan sebagai berikut:

    1. Apakah Anda miskin? (Silangi jawaban yang paling Anda anggap sesuai. Kosong berarti "Tidak".)
    a. Tidak.
    b. Tidak sama sekali.
    c. Sangat tidak sama sekali.
    d. Miskin itu apa?
    e. Saya hanya mampu beli makan sekali seminggu.
    f. Maaf, saya tidak bisa baca.

    Kalau iya, bisa dimengerti. Tentunya sampai sekarang pun para pengujinya masih memperdebatkan, "Makan sekali seminggu itu miskin!"

    "Lho, bisa saja diet," tentang penguji lain.


  5. Bisa jadi malah 32,5% itu yang justru bingung: saya miskin apa nggak sih?
  6. Mari kita uji dengan sampel acak, yakni contoh yang saya ambil dari siapa pun yang berhasil saya ingat dalam waktu semenit ke depan. Ah, dapat satu. Ada satu-dua kenalan saya di kampus yang dulu sering mengajukan beasiswa untuk mahasiswa tidak mampu. Dan sering kali dapat. Begitu dapat, apa yang ia lakukan? Menggunakannya untuk beli ponsel dan pulsa. Menurut mitra hidup saya, ia juga mengetahui sejumlah orang di kampusnya yang seperti itu.

    Di sisi lain, ada juga kenalan yang senang belanja gadget dan beraktivitas dugem. Begitu keluarganya mengalami kesulitan keuangan (perusahaan ibunya pailit), ia jadi sering meminjam uang. Untuk apa? Melunasi tagihan kartu kredit. Sisa tagihan dulu? Oh, bukan. Pengeluaran dan barang baru lagi. Status boleh kesulitan uang. Tapi berkat kartu kredit (dan teman-teman yang baik hati namun malah menjerumuskan), gaya hidup tetap sama.

    Jadi ada yang mampu tapi merasa tidak. Dan sebaliknya, ada yang tidak mampu tapi tetap merasa bisa. Berarti, bisa jadi 32,5% itu memang krisis identitas.

Apakah ada kemungkinan lain yang saya lewatkan? Silakan ajukan.

12 comments:

Ragil Duta said...

Mungkin, ini baru kemungkinan ya, ada perbedaan waktu uji. Tim A menguji pada saat siang hari di suatu wilayah perumahan yang sepi. Sepi, karena semua orang pergi mencari nafkah. Karena tidak ada orang, daerah itu dimasukan dalam kategori tidak ada orang miskin. Sementara tim B melakukan pengujian pada malam hari. Mungkin ngga ya?

Isman H. Suryaman said...

Atau bisa jadi hasil BPS (16,5%) itu diambilnya zaman dulu banget. Nah, sekarang World Bank dapat 49% karena yang 16,5% udah pada beranak-pinak, hehe.

Anonymous said...

fiuu, untung bukan 68% ;)
kirain sama dengan teori relativitas gue :D

parameter nya harus dikalibrasi,
setelah itu baru diitung ulang lagi statistik nya *serius

Anonymous said...

barangkali yang nyurvei-nya juga beda strata...hihi :D

tim-nya SBY jauh lebih miskin daripada timnya Wiranto :))

apa kabar om? udah lama nggak maen2 ke sini saya :)

Isman H. Suryaman said...

Parameter kan tergantung pada tujuan orang menggunakan statistiknya, Son, hehe.

Bisa jadi, Don. Konon, orang yang khawatir karena mengalami gejala kebotakan, misalnya, akan merasa ke mana-mana menemukan orang botak, hehe. Orang yang cemas akan berat badan berlebih, akan merasa ke mana-mana menemukan orang gemuk, hehe.

Anonymous said...

hmm, jadi inget jargon 68% dari pakar telematika :D

Isman H. Suryaman said...

Wehehe, yang itu sih aku yakin angkanya nggak muncul dari World Bank.

Anonymous said...

"Ke mana perginya 32,5% ini?" wah mungkin pergi ke kantong masing-masing pejabat.

Cinthya Aristawati said...

kalo angka sih harusnya nggak relatif, ya..
solusinya... ya bikin database pendapatan dong, jangan bikin kuesioner.. *menghancurkan pesta becanda*
hehehehehe....

Isman H. Suryaman said...

Hehe. Nggak cuman pejabat kok yang korupsi, tanahsirah. Bikin KTP aja ada pelicin. Sudah masalah budaya.

Secara teori database itu ada lho, cinthya, di Ditjen Pajak, Departemen Keuangan. Cuman kok, kesannya datanya sampling juga, ya? Heheh.

Pandi said...

wah bagus juga tuh diadain diskusi terbuka judulnya 10 cara praktis mengenali apakah anda miskin atau ngga!

Anonymous said...

@isman
Di negri ini Korupsi sudah mendarah daging, lantas apa mungkin dibuang atau disingkirkan? Kalau di Jepang para pejabat yang ketahuan korup akan melakukan harakiri, lebih baik mati daripada menangggung malu. Apa berani pejabat kita berbuat demikian?