Thursday, June 21, 2007

Daya Ingat Fotografis...

...tapi isi filmnya cuman tiga. Itu lelucon basi yang dulu sering digunakan untuk mengejek saya. Karena kalau saya harus mengingat empat hal, misalnya, ada satu yang bakal saya lupakan.

Sebelum saya punya ponsel, kalau keluar rumah saya hanya harus mengingat untuk bawa tiga hal: tas, dompet, dan topi. Begitu punya ponsel, saya harus mengingat empat hal. Awal-awalnya, ponsel selalu ketinggalan. Namun, begitu terbiasa, jadinya kadang saya muncul di kampus tanpa topi. Kadang tanpa dompet. Dan lebih gawat lagi, kadang tanpa tas.

"Sudah beres bab satunya?" tanya dosen pembimbing saya waktu itu.

"Sudah, Pak," angguk saya mantap.

Ia berhenti memeriksa kertas di mejanya. "Mana?"

"Euh," saya baru menyadari kalau tidak membawa tas, "di rumah, Pak."

"Jadi, ngapain kamu di sini?"

Saya menelan ludah. "Numpang malu, Pak."

Kasus spesifik di atas mungkin terdengar mengada-ada. Namun, coba ingat-ingat lagi; kadang karena kita begitu terbiasa membawa suatu barang, kita bisa tidak sadar bahwa barang itu tidak ada.

Teman SMA saya, Yogi, suatu hari berjalan masuk ke ruang kelas sambil bersiul-siul. Begitu sudah dekat tempat duduknya, ia menggerakkan kedua tangan ke belakang punggung, memegang ranselnya, dan melemparnya ke meja. Ini adalah kebiasaannya sehari-hari. Tapi hari ini berbeda. Karena saat ia melakukan itu, tasnya tidak ada.

Untuk sesaat, ia melongo melihat meja yang tidak tertimpa tas. Lantas ke tangan yang kosong. Baru ia sadar, "Anjis, tas gue ketinggalan!" Lantas bergegas pulang untuk mengambilnya. Kisah ini langsung tersebar hampir ke seluruh angkatan dalam waktu setengah hari. (Apa lagi gunanya teman?)

Namun, kembali ke masalah keterbatasan ingatan. Dari situ saya menyadari bahwa batas normal ingatan saya saat lagi rileks adalah tiga. Saya tidak tahu rata-ratanya berapa. Tapi saya yakin ini di bawahnya.

Soalnya ayah saya juga bawa ponsel. Tentunya ada dompet, tas, dan kunci mobil (karena menyetir sendiri). Dan tidak pernah ada situasi di mana beliau berkunjung ke Bandung, misalnya, dan menyapa, "Assalamu'alaikum, De! Sehat?"

"Wa'alaikum salam, Pap," balas saya. "Alhamdulillah, sehat. Sendirian?"

"Nggak, berdua sama Ma--" Beliau celingak-celinguk. "Mah? Mamah?"

Sementara saya bisa separah itu. Kala masih mengurus toko hobi Animbus, saya sering membawa mobil bolak-balik dari rumah ke lokasi toko, di daerah Setrasari. Satu hari saya berjanji untuk menjemput teman dan pergi ke sana bersama. Dompet sudah di kantong. Tas tidak perlu bawa. Kunci mobil terpasang. Ponsel siap. Saya pun menelepon sang teman, Arga.

"Ga, udah makan pagi, belum?"

"Belum dong," jawabnya bangga. Dia adalah orang yang sangat bangga akan keefisienan tubuhnya; bisa sehari hanya makan seporsi Indomie.

"Oke, gue beliin ayam crispy[1] deh," jawab saya, mengakhiri pembicaraan.

Setelah itu saya berangkat. Untunglah, saat sudah dekat toko, saya tiba-tiba teringat melupakan sesuatu. Saya pun berbalik arah dan mampir di penjual ayam goreng crispy. Berniat beli dua porsi. Dan dengan riangnya memarkir mobil. "Untung aja gue ingat, Ga," ujar saya.

Pada sebuah kursi penumpang yang kosong.

Karena mengingat-ingat untuk beli makanan, saya jadi lupa menjemput Arga. Ia masih menunggu di rumahnya, heran kenapa saya lama sekali.

_____________

[1]: Ayam goreng dengan tepung berlebihan. Sehingga paha ayam dengan diameter lima senti bisa jadi hanya 0,2 senti yang benar-benar daging. Penganan berbentuk KFC tapi dengan rasa yang bisa menyerupai sesuatu yang sama sekali bukan KFC.

2 comments:

Anonymous said...

baru tadi malam saya tidak sadar kalau dompet saya ketinggalan di kamar temen...:(

Isman H. Suryaman said...

Sadarnya baru kapan? (Jangan-jangan baru setelah ngetik komentar di sini)