Sekarang Saya Tahu Kenapa
Ketika kamu berusia tiga bulan, kamu dan ibumu membuat saya mencium isi popokmu.
Ketika kamu berusia delapan bulan, kamu mendorong saya mengarang alternatif lirik lagu nina bobo.
Ketika kamu berusia satu setengah tahun, kamu sulit untuk tidur tanpa ritual panjang. Walau jelas-jelas ngantuk, kamu malah garuk-garuk rambut. "Mau susu coklat," ujarmu. Dan entah kenapa, bukannya menjawab, "Papi juga mau," saya malah berdiri, keluar kamar dan membawakannya.
Dan biasanya ini berlanjut. "Mau air putih", "Mana boneka ular?", "Mau pake baju biru". Entah mengapa, bukannya menembakkan senapan bius, saya malah berdiri, keluar, dan mengambilnya.
Saat matamu sudah hampir segaris, tiba-tiba bola matamu membesar lagi. "Tepuk," ujarmu menepuk-nepuk pantat sendiri.
Terus terang, saya langsung membayangkan bokong itu ditaruh di titik penalti depan gawang sementara penonton di sekeliling bersorak-sorai. Namun, berhubung saya malas mengenakan sepatu bola dulu, saya pun menepuk-nepuk pantatmu. Yang saya tidak mengerti, kenapa saya dan ibumu melakukannya sambil tersenyum.
Ketika kamu berusia dua tahun, saya dan ibumu sudah lebih sigap.
"Mau sus--"
"Ini," ujar saya mengeluarkan sekotak Ultra kecil.
"Mau air put--"
"Ini," ujar ibumu membukakan tutup cangkir air putih.
"Mau boneka ul--"
"Udah ada tuh," ujar saya mengeluarkannya dari balik bantal.
"Tep--"
Ibumu pun menepuk-nepuk pantatmu.
Dan kamu pun garuk-garuk rambut, "Mau... mau, mau apa, ya?"
Entah kenapa, saya dan ibumu malah tertawa.
Kini, saat berusia tiga tahun (dan berat lebih dari lima belas kilogram), kamu sering kali menerjang dan menimpa saya saat sedang membaca buku. Bukannya langsung menyerah dan kabur, saya malah membiarkanmu loncat-loncatan di atas punggung. Padahal kadang kala teriakan mengaduh saya tidak dibuat-buat. Memang asli sakit.
Tapi kini saya tahu kenapa. Karena senyum kurang ajarmu yang meluluhkan. Senyum yang mencerminkan balik semua kasih sayang dan kesabaran yang kamu terima. Senyum yang hanya kamu tunjukkan pada orang-orang yang kamu percayai. Senyum lepas yang tidak akan ada kalau kami pernah sekali saja memilih jalan amarah kala kamu tidak bersalah.
Selamat ulang tahun, Aza. Semoga kita bertiga terus-menerus mendapatkan pencerahan, seterang senyummu.
2 comments:
Selamat ulang tahun, Aza. Salam dari Kakak Inka dan Irza. :)
Terima kasih Kakak Inka dan Irza, sudah saya sampaikan ke Aza. Dan komentarnya, "Yang mana, ya?"
Saya tunjukkin foto Kakak Inka dan Irza yang mampang di blog. "Oh, iya," katanya.
"Yang mana, ya?" tambahnya kemudian.
Post a Comment