Friday, July 27, 2007

Apresiasi Kesederhanaan Desain dan Harmoni Warna: Kecerdasan atau Selera?

Melihat-lihat karya para peserta Lomba Desain Kaos detikinet terakhir, saya jadi teringat lagi betapa sulitnya merancang kaos yang sederhana dan menarik.

Seragam olahraga ITB adalah satu contoh. Dalam pengamatan beberapa tahun di kampus, saya memiliki kesimpulan mengenai metode perancangannya:


  • Buatlah sebuah desain yang sederhana dan menarik

  • Pastikan paduan warna dan pola sudah memiliki harmoni yang menyejukkan mata.

Baru, setelah itu, masuk ke langkah terakhir:

  • Tambahkan minimal dua warna lagi. Kalau bisa tiga berarti jagoan.

Kaos angkatan saya, memiliki padanan biru tua dan biru langit yang sudah cukup bagus. Namun, entah mengapa, di beberapa bagian ditambahkan corak-corak putih-abu. Seakan-akan kaos aslinya sudah dirobek-robek beruang, kemudian terpaksa ditambal di sana-sini oleh taplak meja.

Para perancangnya tampaknya belajar dari pengalaman ini. Karena itu, pada seragam angkatan berikut, kombinasi warna yang ada adalah hijau, putih, kuning, dan--coba tebak--merah muda.

Saya pernah mengonfirmasikan kesimpulan saya di atas kepada salah satu perancang, Evi. Ia hanya berkomentar, "Ya, begitulah, Man," dengan nada seperti petugas toilet umum mal yang mendengar keluhan bahwa ada yang pipis belum disiram.

Sebenarnya, apresiasi kesederhanaan desain dan harmoni warna itu bawaan lahir atau didikan, sih? Apakah seperti buta nada yang berarti kecerdasan musikal yang rendah dan dapat ditanggulangi dengan pendidikan khusus? Atau sekadar selera, seperti kegemaran kita pada manis, hambar, atau pedas?

Mari asumsikan ada semacam kecerdasan warna dan desain. Berarti tiap manusia dilahirkan dengan bakat berbeda-beda. Namun, kecerdasan itu akan terpengaruh juga oleh didikan dan lingkungan.

Kalau ya, ini mungkin menjelaskan selera umum desain dan warna anak-anak SMP dan SMA. Sepanjang Jalan Suci Bandung, berjejer tempat pembuatan kaos, jaket, dan semacamnya. Kunjungilah satu-satu. Anda akan melihat beberapa kemiripan:

  1. Semua tempat tersebut memajang kaos buatan mereka (yang tentunya menjadi andalan mereka sebagai promosi)

  2. Minimal dua atau tiga kaos tersebut adalah pesanan anak SMP atau SMA

  3. Desain kaos SMP atau SMA tersebut umumnya merupakan sablonan gambar di tengah

  4. Gambar tersebut menggunakan warna-warna cerah dan mencolok mata

  5. Gambar tersebut umumnya memperlihatkan anak berseragam sekolah yang tampangnya seperti genderuwo di buku-buku R.A. Kosasih

  6. Anak tersebut biasanya sedang mencoret tembok, berkelahi, atau mabuk

Ada yang berpendapat bahwa mahkluk angkasa luar sebenarnya ada. Namun, mereka selama ini diam-diam meneliti dulu apakah intelejensi penduduk Bumi sudah cukup tinggi untuk berkomunikasi. Saya yakin penyenarai kapal angkasa mereka sempat merambah Jalan Suci. Karena itu mereka selama ini menghindari planet kita. Kalau saya menjelajahi hutan dan menemukan sisi jalan setapak menuju desa yang penuh spanduk kulit bergambarkan orang-orang saling memenggal kepala, saya jelas tidak akan mampir untuk mengaso.

Kini, yang menjadi pertanyaan semiliar rupiah adalah: kalau memang ada kecerdasan visual menyangkut desain dan harmoni warna, bagaimana metoda meningkatkannya? Dan perlukah kita memasukkan metoda tersebut sebagai bagian dari pendidikan formal?

4 comments:

ted said...

saat menulis komen ini saya sedang memakai kaos olah raga TPB yang bertema power ranger jadi satu (blue ranger, pink ranger dan yellow ranger) atau teman-teman biasa nyebut juga dengan kaos sugus (kaos 3 rasa)

Isman H. Suryaman said...

Jangan-jangan itu emang konsep perancangnya dari awal, San: Pahlawan keadilan, tapi penjahat fesyen.

Dalem.

ted said...

wakakak ... tapi memakai kaos power ranger ini jadi tanda kalo si pemakai angkatan 2001. atau 2000 juga ya. yang jelas unik. meskipun banyak yang sudah membuatnya lebih unik lagi karena udah dipakai sama bapak-bapak pengangkut sampah.

semua pasti berpikir.. oo pasti bapak itu dulu pernah TPB angkatan 2001 tapi trus ngga melanjutkan di ITB.

Isman H. Suryaman said...

Oh, tiap tahun itu terjadi kok. Jaket angkatan 94 juga baru seminggu pake (masih bangga--belum nyadar noraknya) udah sering nemu aja bapak-bapak yang jelas bukan angkatan 94 (kecuali kalau maksudnya 1894).

Kalau tiap tahun bikinnya kebanyakan, mestinya diapain ya, lebihnya?