Ngobrol Soal Identitas Kepenulisan
(Dialog berikut saya kutip dari diskusi dalam milis Writer's Tavern, antara saya, Wicak, dan donna.)
Wicak:
Hmm... Isman, saya tertarik dengan urut-urutan itu. Mau nggak menjelaskan lebih lanjut soal 'identitas diri yang kuat' sebelum 'berkarya secara konsisten'. Apa yang dimaksud dengan identitas diri dan kapan seseorang tahu dia sudah memiliki identitas diri yang kuat?
donna:
Soal identitas diri, mungkin more or less begini ya. Seorang penulis itu idealnya punya idealisme atau setidaknya sesuatu yang ingin ia sampaikan via tulisannya. (setidaknya ini menurutku) Dia juga sebaiknya tahu, tujuannya menulis untuk apa, apa dia berencana mengembangkan kemampuan menulisnya atau tidak, apa dia hanya menjadikan menulis sebagai hobi atau memang berniat menulis pro, dll.
isman:
Kira-kira begitu. Dia tahu dan sadar bahwa dia menulis itu karena apa dan untuk apa. Jadi rutinitas berkaryanya konsisten dengan identitas ini. Kalau berkarya secara rutin tapi tidak ada identitas, jadinya sekadar hasil. Karena mau konsisten dengan apa?
Dan identitas ini tidak harus ideal. Saya kenal dengan seorang penulis yang terbuka menyatakan bahwa ia menulis untuk uang. Dan saya cukup menghormati dia karena ia konsisten dengan itu. Tidak mengumbar idealisme. Dan tetap rutin berkarya. Praktis saja. Toh banyak juga arsitek dan seniman yang berkarya untuk uang. Apa bedanya dengan penulis?
Nah, ia menyadari dan merangkul identitas kepenulisannya. Tapi bagaimana jika sebaliknya? Bisa jadi ketidakbahagiaan; karena ingin membuat karya yang laku, tapi takut dicap sekadar "mencari uang". Padahal persepsi orang lain itu kalah penting dibandingkan persepsi diri sendiri.
Wicak:
Apakah identitas diri yang kuat sama dengan seseorang telah mencapai tingkat selebritas tertentu atau kepakaran atau bagaimana?
isman:
Tingkat selebritas atau kepakaran itu lebih ke arah citra diri, Cak. Konteks "identitas"-nya bermain di ranah persepsi publik. Orang lain.
Sementara identitas yang kumaksud di sini berlaku dalam ranah persepsi diri. Kalau identitas diri secara umum mungkin bisa dicari dengan pertanyaan: "Untuk apa kita dilahirkan di dunia ini?"
Sementara identitas kepenulisan bisa dijelajahi dengan pertanyaan: "Kenapa kita menulis?" Jawabannya, tentu saja, perlu lebih dalam dari sekadar "Suka aja." Satu pertanyaan itu akan menghasilkan cabang-cabang seperti:
- Apakah pesan yang ingin kau sampaikan? Kalau tidak ada, kenapa? Kalau ya, apa dan kenapa?
- Apa yang membuatmu tetap menulis? Apa yang bisa membuatmu berhenti menulis?
- Apa yang kau anggap sebagai keberhasilan dalam menulis? Apa yang kau anggap sebagai kegagalan dalam menulis?
Dan masih banyak lagi. Kita memiliki identitas yang kuat saat bisa menjawab pertanyaan apa pun yang muncul berkaitan itu.
Dari deskripsi milis ini juga bisa dilihat: perbedaan penulis pribadi dan profesional dibedakan dari karakteristik identitas. Bukan dari kompetensi. Karakteristik penulis pribadi yang utama, ya hanya menulis untuk diri sendiri. Yang ekstrem, orang lain tidak boleh baca. Kalaupun ada yang baca, komentar apa pun tidak pengaruh baginya.
Penulis profesional menulis untuk orang lain. Karena itu, label "profesional"--selain dari bagian dari identitas--menjadi tuntutan. Kalau sekadar ingin membuat semau kita tanpa memedulikan pembaca, itu belum sepenuhnya profesional. Masih menuju, lah. Asalkan memang dalam proses belajar.
Kekaburan antara karakteristik identitas ini bisa menghasilkan konflik. Contoh yang jamak: Mau menulis untuk orang lain, tapi takut untuk mencoba. Atau menulis untuk pribadi, tapi memendam keinginan untuk diakui (atau dipuji) oleh orang lain.
Konflik ini bisa hilang dengan mengemban identitas yang jelas.
donna:
Seorang penulis yang menurutku identitas dirinya kuat, tahu di mana dia sebaiknya "bermain". Misalnya dia bagusnya nulis fantasy, tapi karena suka banget ama genre romance atau comedy maksain nulis, hasilnya belum tentu optimal.
isman:
Itu juga salah satu karakteristik identitas. Tapi jangan salah mengartikan identitas sebagai pembatasan. Bebas saja mengeksplorasi genre lain yang bukan kompetensi utama kita. Asalkan ingat kembali tuntutan "profesional". Kalau memang mau beralih genre, kita harus memastikan bahwa itu adalah karya yang dihasilkan dengan upaya terbaik kita--dengan memerhatikan pembaca.
donna:
Sebaiknya juga, dia tahu kelebihan dan kekurangannya apa, dan berusaha banget memoles kemampuannya terus-menerus supaya tidak stagnan.
isman:
Iya. Kalau sesuai identitasnya. Siapa tahu memang ia bahagia sebagai penulis yang stagnan. (Bisa saja terjadi. Walau belum pernah ketemu orangnya sih.)
Wicak:
Thanks atas pencerahannya.
isman:
Wehehe, semoga nggak malah jadi makin gelap. Ini cuman pendapat saya, lho. Bisa aja beda.
Intinya, aku rewel berkaitan identitas kepenulisan ini karena menyangkut kebahagiaan. Jujur saja, kehidupan seorang penulis akan sering sekali diancam ketidakbahagiaan. Yang utama adalah ancaman mental maupun sosial.
Tapi, asalkan identitas kepenulisan kita jelas dan kuat, kita akan bisa menghadapi ancaman apa pun (menyangkut kepenulisan, ya. Ditodong garong sih beda masalah.) Jangan salah, bahkan keberhasilan (contohnya kelarisan suatu buku) pun adalah suatu ancaman; apakah ia tetap bahagia jika buku berikutnya tidak laku? Apakah ia jadi tidak bahagia karena merasa "disetir" untuk menghasilkan karya yang memuaskan pembaca setianya? Pergelutan akan terus terjadi.
Bisa saja seorang penulis tidak sadar bahwa identitas kepenulisannya kuat. Yang ia tahu hanyalah: ia bahagia dengan menulis (baik saat melakukannya maupun tidak).
Itu sudah lebih dari cukup.
Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa penulis yang baik adalah penulis yang tidak bahagia. Saya menentang pendapat itu. Bagaimana dengan teman-teman?