Siapkan Enam Topi Berpikir Sebelum Menulis
Edward de Bono dalam bukunya, "Six Thinking Hats" menawarkan konsep yang praktis dalam bekerja sama secara tim, mengatasi masalah pribadi, maupun berinteraksi secara sosial.
Bagaimana kalau kita coba menerapkannya dalam menulis?
Enam topi berpikir merepresentasikan sudut pandang atau pola pikir berbeda yang sering kita gunakan sehari-hari. Sayangnya, kita seringkali menggunakan topi yang salah dalam situasi tertentu.
Sebagai contoh, seorang wanita mungkin mengeluhkan suatu masalah kepada pasangannya. Sang pasangan ini kemudian memberikan solusi yang logis kepada si wanita. Sayangnya, si wanita malah tersinggung.
Contoh lain, suatu tim kerja mengadakan sesi brainstorming untuk mencari ide kenapa produk mereka mandek di pasaran. Tetapi sesi yang seharusnya penuh dengan gagasan ini pun mentok di satu ide saja. Yang panjang adalah perdebatan dan saling menyalahkan.
Apa yang terjadi? Di contoh pertama, sang pria mengenakan topi biru, yang menganalisis masalah dengan tajam. Namun sang wanita mengenakan topi merah, yang berfokus kepada emosi. Wajar saja jika ia merasa tersinggung saat diberitahu bahwa masalahnya ada dalam dirinya.
Di contoh kedua, topi yang perlu dikenakan adalah topi kuning, yang mengeluarkan ide-ide secara kreatif. Namun, tampak ada yang mengenakan topi hitam, kemudian menyalahkan seseorang yang mengenakan topi merah.
Bagaimana dengan situasi penulisan? Kita ingin menulis flash fiction, tapi idenya tidak muncul-muncul. Kita malah melihat karya orang lain dan tergelitik untuk mengkritiknya. Sama saja. Di sini, kita mengenakan topi biru. Padahal seharusnya topi kuning.
Mengapa topi? Karena topi adalah sesuatu yang bisa kita ganti dengan mudah. Ini adalah visualisasi bagaimana kita dapat mengubah pola pikir kita dengan mudah pula. Tanpa sadar, kita sudah melakukannya. Namun, sering kali kita tidak sadar bahwa topi yang kita kenakan tidak cocok dengan situasi.
Kenali Topi-topi Berikut Ini
1) Topi hitam
Hitam melambangkan logika yang minim emosi. Di sini kita menganalisis dan memproses semua informasi apa adanya. Dan memberikan solusi apa adanya pula. Keunggulan topi hitam adalah dalam situasi yang membutuhkan pemikiran jernih tanpa campur tangan emosi. Namun, topi hitam membutuhkan semua informasi sudah ada untuk mengambil keputusan.
Anda ingin membuat outline novel atau buku nonfiksi? Kenakanlah topi hitam. Anda ingin membuat tabel karakter atau sinopsis plot? Topi hitam.
2) Topi putih
Topi putih melambangkan kertas yang kosong. Dan karena itu, membutuhkan isi. Ia menaruh kita dalam modus mencari informasi sebanyak-banyaknya. Dan informasi ini bersifat fakta, tanpa bumbu. Ini adalah topi yang perlu dikenakan pada masa di mana tidak cukup informasi untuk mengambil keputusan. Topi ini mengendalikan kita agar tidak melompat sembarangan dan mengambil kesimpulan tanpa pikir panjang.
Anda perlu riset? Jangan tunda-tunda lagi. Segera cari topi putih dan bergeraklah. Bingung bagaimana seorang karakter Sunda berinteraksi dengan keluarganya? Kenakan topi putih dan cari teman Anda yang bisa Anda wawancara.
3) Topi merah
Topi merah melambangkan semangat yang membara dan emosi yang menyala. Kenakan topi ini untuk merasakan apa yang diberitahu oleh emosi kita. Jangan terjun dalam situasi yang membutuhkan empati tanpa mengenakan topi ini. Topi merah pun dapat digunakan dalam sesi diskusi, karena insting dan naluri kadang dapat menyampaikan apa yang tidak terlihat di balik fakta.
Anda ingin menyelami kedalaman karakter Anda? Gunakan dulu topi merah. Rasakan apa yang tokoh Anda rasakan. Lempar ia di berbagai situasi penting. Saat sudah mulai mengenalnya, ganti kembali dengan topi hijau dan mulailah menulis.
4) Topi kuning
Topi kuning membuat kita dapat melontarkan ide-ide yang belum terpikirkan saat mengenakan topi lain. Karena topi kuning menolong kita melihat celah-celah solusi yang tidak umum. Bahkan kadang melanggar aturan itu sendiri. Topi kuning mendorong kita untuk sedikit nakal dan naif. Atau kembali menjadi anak-anak yang justru lebih sering menghasilkan solusi cerdas dalam sekejap sambil tertawa-tawa, dibandingkan orang dewasa yang terus mengerutkan kening sampai alis mata mereka bersatu.
5) Topi biru
Topi biru disukai para analis. Ia memudahkan mereka untuk melihat dan menemukan kesalahan dalam suatu hal. Jika ingin mencari tahu apa yang salah dan bagaimana seharusnya yang benar, segeralah kenakan topi ini. Berbeda dengan topi hitam, topi biru jelek dalam hal perencanaan. Ia hanya dapat melihat rencana yang ada, dan memberitahu apa yang salah.
Menulis ulang karya, menyunting kalimat efektif, mencari padanan kata yang lebih tepat--andalkanlah topi biru.
6) Topi hijau
Topi hijau mencerminkan produktivitas. Kenakan topi ini saat kita ingin berfokus kepada melakukan sesuatu, dan bukan membicarakannya. Keputusan apa pun yang dihasilkan saat mengenakan topi hitam tidak akan dijalankan kalau tidak segera menggantinya dengan topi hijau. Jika kita tahu apa yang salah setelah mengenakan topi biru, kita tidak akan melakukan apa pun berkaitan itu tanpa menggantinya dengan topi hijau. Begitu ada keputusan akan apa yang harus dilakukan, langsunglah cari topi hijau.
Saat Anda sudah memiliki bayangan akan apa yang ingin Anda tulis, segera kenakan topi hijau dan mulai menulis. Jangan berhenti dan bertanya, "Apa bagian ini sudah bagus? Apa paragraf ini sudah efektif?" Teruskan hingga selesai.
Bagaimana Aplikasinya dalam Penulisan?
Dalam penulisan kreatif, inilah yang perlu kita lakukan:
- Tentukan poin-poin penulisan yang akan Anda lakukan. Misalnya: mengembangkan outline, memunculkan ide, brainstorm, membuat sinopsis, membuat tabel karakter, riset, mulai menulis, lantas menyunting.
- Dalam tiap poin, kenali topi apa yang perlu.
- Kenakan topi yang sesuai dan mulailah beraksi.
- Jika ada kendala, berhenti dan lihat diri sendiri: apakah topi yang dikenakan tidak sesuai? Kalau tidak sesuai, segeralah ganti. Kalau masih sesuai, istirahatlah dulu. Kemudian lanjutkan.
No comments:
Post a Comment