Thursday, March 01, 2007

Satu Hal Apakah yang Akan Menyiapkan Kita Untuk Jadi Ayah?

Jawabannya: tidak ada.

Bahkan pengalaman pun tidak. Saat saya membaca tulisan lama tentang kelahiran anak pertama, saya kembali menyadari itu. Fase yang saya dan Donna lalui adalah:
a) Perencanaan superbanyak
b) Pelaksanaan superkacau
c) Improvisasi besar-besaran penuh emosi
d) Berhasil melaluinya sambil menertawakan diri

Dan kini, pada kelahiran akan kedua, kami sudah mengulangi tiga poin pertama. Apalagi setelah Chika, anak kedua kami, harus diboyong kembali ke RS karena kadar bilirubin yang terlalu tinggi. Semoga saja terus pada (d).

Bagi yang belum membacanya, berikut adalah tulisan lama yang saya sebut di atas.




Halo dari Bandung. Tepatnya dari kamar yang lima menit sebelumnya menyaksikan pertarungan dramatis antara Ayah Amatiran melawan Popok Kotor.

Kedudukan sementara:
Popok Kotor vs Ayah Amatiran
----- 7 vs 1 -----

Bintang Tamu: Bayi yang Tanpa Aba-aba Akan Mengencingi Siapapun yang Membuka Celananya (15 kali).

Terima kasih atas ucapan selamat dan doa teman-teman. Alhamdulillah, proses kelahiran anak pertama kami berlangsung normal dan lancar. Selancar apa? Kita mulai saja dari awal.

Proses Kelahiran
Dari tanggal 22 Juni 2004, tanda-tanda jabang bayi siap nongol sudah muncul. Flek mulai keluar. Kontraksi ada walaupun belum teratur. Dan skala sakitnya masih berbeda. Dari skala 1 ("Eh, kayaknya kontraksi, A.") hingga 3 ("Ow ow owwwwwwwwwwww!"). Saya dan Donna sudah menyiapkan stopwatch. Begitu jarak antarkontraksi di bawah lima menit dan durasinya mencapai empat puluh detik, Donna akan segera dilarikan ke Rumah Sakit Bersalin (RSB) Limijati di Jalan Riau Bandung.

"A! A! A!" tangan Donna mengangkat minta perhatian. Wajahnya mulai menegang.

"Oke, Nna!" Saya menyalakan stopwatch dengan sigap.

...Beberapa lama kemudian...

"Udah," ujar Donna lemes. Napasnya terengah-engah.

"Sip!" Saya menghentikan laju stopwatch.

Donna mengembuskan napas panjang, "Berapa lama?"

Aku mengangguk dengan tegas, "Nggak tahu. Angka sebelumnya lupa di-reset."

Untunglah wanita hamil tua tidak bisa bergerak cepat, sehingga tidak terjadi kekerasan rumah tangga.

Ternyata, enam hari kemudian baru mulai pembukaan satu. Berhubung ini kehamilan pertama, dokter kandungan memberikan saran medis yang profesional, "Santai aja dulu, Bu." Ia berkata bahwa rata-rata kenaikan ke pembukaan berikutnya berlangsung tiap dua jam. Setelah pembukaan empat atau lima baru meningkat. Daripada berstres ria nunggu di rumah sakit dari jam satu siang, mendingan jalan-jalan saja.

Begitu mendengar kata "jalan-jalan", kami langsung setuju. Kami pun pergi kencan. Makan siang. Lihat-lihat buku. Dan seperti biasa, diserang tatapan curiga para penjaga toko saat belanja. Besarnya kehamilan Donna memang terfokus pada perut, hingga bagian tangan dan pipi masih terlihat normal. Bisa jadi kami dicurigai mengutil susu kaleng.

Sekitar jam empat sore, ternyata skala kontraksi menanjak ke empat (YOOOOW!). Kembalilah kami ke RSB, hanya untuk mendapati bahwa pembukaannya masih dua. Ya, sudahlah. Kamarnya sudah terburu disiapkan. Sehingga kami tempati saja dengan riang. Saat memindahkan barang, kami langsung disambut penghuni kamar lain dengan akrab, "Ini mau melahirkan atau pindahan?"

Haha. (Dia kami coret dari daftar bagi-bagi kue nanti.)

Kami berdua memutuskan menunggu di kamar dengan tertib. Dan bermain-main dengan dipan tidur yang ternyata bisa dinaikturunkan.

Sekitar jam enam sore, Donna mendengar suara "pop!" Seperti letupan balon permen karet. Ternyata ketubannya pecah! Donna pun segera dipindahkan ke kamar bersalin. Skala kontraksi menanjak drastis menjadi tujuh (WADDDDDAAAWWAAAAA-WAAWAAAAAAAAAW--dan ini teriakan saya karena genggaman tangan Donna keras sekali.)

RSB Limijati memiliki kebijakan bahwa suami tidak boleh ikut menemani istri saat proses kelahiran atau pemeriksaan, kecuali ada izin dokter. Sayangnya, mereka baru menginformasikan kebijakan tersebut saat itu juga. Jadi saya tertendang keluar. Baru diizinkan masuk lagi saat pemeriksaan beres.

Sempat ada potensi untuk drama sinetron, ketika pembukaan sudah lewat delapan. Donna dapat merasakan bayi akan brojol sebentar lagi. Karena itu, ia protes tanpa henti, "Suster, mana suami saya!" Volume suara meningkat setiap kali perawat menjawab, "Sabar, Bu."

Tak lama, lengkingan Donna terdengar dari luar. Sehingga kalau pengin bikin ribut, sebenarnya bisa saja saya balas berteriak, "Istriku!"

"Suamikuuuu!"

"Istrikuuuu!"

"Pasienkuuu!" para perawat juga ikutan dramatis.

"Waktu tidurkuuuu!" protes pasien yang lain.

Tapi saya sadar bahwa sang Kepala Perawat bukanlah tipe yang akan melanggar aturan dalam keadaan apa pun. Kalau ia seorang polisi lalu lintas dalam daerah yang terkena bencana banjir, ia akan tetap menilang semua pelanggar lampu merah.

"Lampu merah mana?" protes mereka.

"Itu, sekitar dua meter di bawah perahu karet kalian," ujarnya kalem.

Jadi saya hanya bisa menunggu. Untunglah, tidak sampai lima menit, sang dokter sudah berlari-lari datang.

Langsung saja saya menyambar, "Boleh ikut masuk, Dok?"

"Boleh!"

"Siiip!" ujar saya menyeruak ke dalam.

"Eh, nggak boleh masuk, Mas!" protes seorang suster.

"Lho, udah ada izin dokter, kok!"

"Iya, tapi ruang istri Mas di sebelah! Ini istri orang."

Singkat kata, proses kelahiran berlangsung normal dan lancar. Memang, sempat muncul adegan horor ala film Alien dengan anggaran berlebih untuk efek darah. Tapi alhamdulillah, ibu dan anak sehat-sehat saja. Paling tangan saya saja yang mati rasa digenggam Donna.

Catatan untuk para calon suami yang akan menemani istrinya di kamar bersalin: betapa pun mengagumkannya melihat dokter bisa menarik keluar bayi yang begitu besar dari rahim istri... harap tahan diri untuk tidak bertepuk tangan. Ini bukan pertunjukan sulap.

Mengenai Nama
Berkaitan nama, saya dan Donna sudah cukup lama berdiskusi. Hasilnya: kami tidak ingin anak dibebani oleh nama.

Keluarga saya cenderung menginginkan nama muslim yang bagus. Tapi saya berpikir realistis saja. Zaman saya masih SD, dari sepuluh orang yang dipanggil ke ruang guru, lima di antara mereka memiliki nama depan Muhammad atau Ahmad (artinya: yang terpuji). Dalam kasus mereka, artinya meleset sedikit: satu generasi dan satu huruf. Jadinya, orangtua merekalah "yang teruji".

Intinya, kami percaya nama jangan terlalu membebani anak. Karena ada saja yang bisa memenuhi harapan namanya. Tapi banyak juga yang tidak. Cukup carilah nama yang
a) Menyimbolkan harapan baik
b) Kalau disebutkan tidak membuat sepuluh orang di sekitar ikut menjawab

Idealnya, kami ingin sang anak memilih namanya sendiri. Tentu saja, sekarang belum bisa. Karena pilihan namanya hanya sedikit: Uwaaaa, Oeeee, ama Eneeeeee. Berarti, sebelum dia bisa menentukan mau jadi orang seperti apa, tentunya dia perlu panggilan lebih dari sekedar "Hei!" atau "Eh, cowok!"

Menimbang semua hal di atas, saya dan Donna mempersiapkan nama sementara untuk anak kami, yaitu "Riordan Azad Zen".

"Riordan" dari bahasa Celt untuk "Bard". Bukan mencerminkan profesi atau beban agar menjadi orang yang sesuai keinginan orangtua, melainkan karakteristik. Intinya, berharap agar ia dapat mengapresiasi musik dan penceritaan sambil tetap bersosialisasi, sebagaimana seorang bard. "Azad" dari bahasa Arab untuk "Bebas" dan "Mandiri." Biarkan ia bebas untuk memilih dan menjalani hidupnya sendiri dengan konsekuensinya, dan secara mandiri. "Zen" dari bahasa Jepang untuk "enlightenment" atau "pencerahan". Semoga apa pun pilihannya, ia senantiasa mendapatkan pencerahan.

Panggilannya adalah "Hei, cowok!"

Bercanda, kok. Panggilannya adalah Aza.

Nanti saat sudah dapat berpikir bagi diri sendiri (dan ini tidak otomatis muncul dengan usia), ia dapat memilih sendiri baik nama maupun keinginan jadi orang seperti apa. Kalau ia masih bingung, bisa kami bantu dengan memberikan pilihan berikut:

Saya, Riordan Azad Zen, akan menjadi...
a) Seperti ayahku yang baik
b) Seperti ayahku yang lucu
c) Seperti ibuku, yang, euhm... seperti ayahku sajalah karena ia berdiri di belakang sambil memegang buku tabungan pendidikanku.

2 comments:

Anonymous said...

masih menunggu posting arti dari : Sachika Haniyya Evereska

tertarik setelah melihat penjelasan nama Riordan Azad Zen
hehe :)

Isman H. Suryaman said...

Ting. Udah tuh.