Laporan UWRF: Berbincang dengan Kiran Desai
Setelah menghilang beberapa tahun, Kiran Desai muncul kembali dengan novel keduanya, Inheritance of Loss, yang langsung memenangkan Man Booker Prize. Kiran menjadi wanita termuda yang memenangkan salah satu penghargaan sastra yang paling bergengsi di dunia ini.
Setelah memperkenalkan Kiran, sang moderator, Nury Vitacchi langsung menodong, "Ayo mengaku saja, ibumu (Anita Desai) yang menulisnya, kan?"
Setelah tawanya mereda, Kiran menjelaskan bahwa ia pun baru menyadari setelah besar bahwa saat di New Delhi, ia tinggal di dekat dua penulis India legendaris. Salah satu di antara mereka bahkan merupakan teman masa kecil ibunya.
"Apakah itu yang mendorong kamu bercita-cita jadi penulis dari kecil?" tanya Nury.
"Tidak. Saya ingin jadi ilmuwan," jawab Kiran. Tapi kemudian ia menyadari bahwa bukan itu yang ia inginkan. Apalagi setelah mempelajari hal-hal seperti kanibalisme jangkrik, walaupun itu adalah salah satu hal yang akhirnya ia gunakan dalam novelnya. Ia mulai menulis setelah mengikuti sebuah lokakarya penulisan. Naskah pertamanya berjudul Twilight and the Office Manuals. Nury langsung berkomentar bahwa pemilihan judulnya sudah jauh lebih membaik sekarang.
Dalam Inheritance of Loss, ada deskripsi memikat mengenai sebuah rumah di tengah hutan. "Bagaimana cara kamu menulis adegan itu?" tanya Nury. "Apakah kamu harus pergi ke satu tempat khusus untuk menulisnya?"
Kiran menggeleng dan berkata bahwa dia menulis di mana saja. "Tapi tidak (termasuk) New York," tambahnya sambil tersenyum. Menurutnya memang ironis bahwa dia harus meninggalkan kota tempat tinggalnya demi menulis.
Nury menanyakan keadaan finansial Kiran. "Apakah kamu ada mata pencaharian lain (di luar menulis)?"
"Tidak," ujar Kiran. Sumber dananya hanya dari royalti novel pertamanya, Hullabaloo in the Guava Orchard, yang sempat memenangkan penghargaan sastra. Dan itu pun terbatas. Sehingga walaupun ia masih bisa makan, ia mengalami kesulitan untuk membayar berbagai tagihan. Kiran bergurau bahwa ia sampai sempat merenungkan nasihat (orang-orang tua India) untuk menikahi seorang pria pebisnis kaya. Namun, ia menyadari bahwa ia sudah melewatkan kesempatan itu pada usianya sekarang (36 tahun pada tanggal 3 September lalu).
"Apakah itu sebabnya kamu menghilang setelah novel pertamamu pada tahun 1998?" tanya Nury. Kiran baru muncul kembali pada tahun 2006 dengan novel keduanya ini.
Kiran mulai menjelaskan, bahwa pertama-tama, draf pertama naskahnya mencapai 1500 halaman. Pada akhirnya, ia berhasil menyunting naskah tersebut menjadi 500 halaman. Tapi bahkan setelah itu selesai, semua penerbit di Inggris menolak menerbitkannya. Semua editor yang ia temui takut menyentuh naskah tersebut. "Jadi siapa lagi yang bisa menyuntingnya?" ujar Kiran. Ia kemudian terpaksa mencari editor lepas. Bahkan editor itu pun menyuarakan pendapat serupa, "[Cerita] ini tidak akan laku." Seorang editor dari The New Yorker bahkan berkata, "Ini adalah buku terburuk yang pernah kubaca."
Setelah memenangkan penghargaan Man Booker Prize, Kiran sempat bertemu dengan editor itu lagi. Dan sang editor berkomentar bahwa, "yang sekarang jauh berbeda dari yang kubaca dulu."
"Sama sekali tidak," ujar Kiran kepada para hadirin. "Ini buku yang sama."
Ayah Kiran juga memberikan komentar, walau hanya menyangkut judul, "Kenapa judulnya begitu? Kenapa kamu tidak menamainya The Loss of Inheritance saja?" Di tengah tawa, Kiran menambahkan, "Dan ia mengira bahwa semua orang akan lebih mudah menangkap [judul itu]."
Kiran mengamati bahwa sebagian besar cerita fiksi sekarang terlihat begitu sempurna. Tertulis sempurna dan terbaca sempurna. Dia mencontohkan cerita-cerita di The New Yorker yang begitu sempurna sehingga "terasa seperti periklanan." Cerita-cerita tersebut bagaikan ditulis untuk orang-orang yang sempurna. "Padahal, kita sama sekali bukan."
Pada sesi tanya jawab, seseorang bertanya bagaimana Kiran menulis novelnya. Apakah ia membuat kerangka terlebih dahulu?
Kiran menggeleng, "Saya tidak memiliki disiplin sama sekali dalam menulis." Ia menjelaskan bahwa ia hanya menuliskan semuanya. Dan kemudian meng-"cut and paste" bagian-bagian hingga terasa benar. Ia menstrukturkan tulisannya berdasarkan emosi yang ingin ia curahkan.
"Apakah Anda menulis novel dengan mengira-ngira seperti apa emosi seseorang ketika membacanya?" tanya seorang lagi. "Tidak," jawab Kiran. "Saya tidak bisa mengukur apa yang akan seseorang rasakan saat membaca karya saya." Menurutnya, dua orang bisa saja mengalami perasaan yang berbeda ketika membaca novel yang sama.
Ketika ditanya apakah kesuksesan dramatis buku keduanya, setelah ditolak oleh begitu banyak penerbit, membuatnya menjadi lebih percaya diri dalam menulis, Kiran menjawab, "Penulisan [kreatif] timbul dari keraguan."
Kiran juga berkomentar bagaimana ia menikmati sambutan Indonesia yang jauh lebih ramah daripada negara-negara Eropa yang pernah ia kunjungi. Imigrasi di benua Eropa cenderung memandangnya dengan penuh curiga. Nury mengakhiri dengan cerita tentang seorang penulis India pernah dipersulit di bagian imigrasi sebuah negara Eropa.
Alasannya? Karena pihak imigrasi mengira penulis tersebut ingin menyelundup masuk untuk menjadi pencuci piring di restoran kari India.