Monday, August 13, 2007

Wawancara Imajiner Tentang Humor Tulisan

Bulan lalu sebuah majalah mewawancarai saya via telepon berkaitan penulisan humor. Ada sejumlah pertanyaan yang menggelitik pikiran saya selama beberapa hari setelah itu. Dan saya menyadari bahwa apa yang saya sampaikan sama sekali belum lengkap. Dan bisa jadi pewawawancara malah salah tangkap.

Terlepas dari tulisan hasil wawancaranya seperti apa, saya jadi ingin menulis ulang beberapa pertanyaan dan jawabannya.


Tanya (T): Seperti apakah humor yang bagus menurut Anda?
Jawab (J): Humor yang jujur. Karena biasanya humor seperti ini membuat kita tertawa lantas berpikir. Penulis William Davis pernah berkata, "Jenis humor yang saya sukai adalah yang membuat saya tertawa selama lima detik, lantas berpikir selama sepuluh menit."


T: Kalau humor yang buruk?
J: Kebalikannya: membuat kita malas tertawa, apalagi berpikir.


T: Apa pendapat Anda tentang buku humor di Indonesia?
J: Sebagai sebuah kategori di dunia buku Indonesia, "humor" masih terjebak stereotipe sebagai kumpulan lelucon pendek ala "Mati Ketawa Cara..." Padahal kalau dibandingkan dengan kategori internasional, bentuknya macam-macam. Buku humor nonfiksi bisa berupa kumpulan esai, seperti karya P.J. O'Rourke, Dennis Miller, atau Roy Blount Jr. Bisa kisah pengalaman/wawasan diri seperti karya Bill Cosby, Steve Martin, Tim Allen, Paul Reiser, maupun Ray Romano.

Atau bahkan bentuk-bentuk lainnya. Dave Barry, misalnya, menerbitkan The Book of Bad Songs, yang isinya secara hiperbolis membahas lagu-lagu terburuk, berdasarkan masukan dari para pembaca kolomnya. Dengan menertawakan lagu-lagu yang ia bahas, kita tanpa sadar menangkap kritik terhadap lirik yang ditulis asal-asalan. Douglas Adams menggagas The Meaning of Liff, yang merupakan ide brilian untuk memperkaya perbendaharaan kata Inggris dengan menambahkan sejumlah definisi untuk nama-nama daerah. Dua contohnya adalah:


ARDSCALPSIE (n.)
Excuse made by rural Welsh hairdresser for completely massacring your hair.

WIGAN (n.)
If, when talking to someone you know has only one leg, you're trying to treat then perfectly casually and normally, but find to your horror that your conversion is liberally studded with references to (a) Long John Silver, (b) Hopalong Cassidy, (c) The Hockey Cokey, (d) 'putting your foot in it', (e) 'the last leg of the UEFA competition', you are said to have committed a wigan. The word is derived from the fact that sub-editors at ITN used to manage to mention the name of either the town Wigan, or Lord Wigg, in every fourth script that Reginald Bosanquet was given to read.



Gagasan Adams sendiri mungkin merupakan pengembangan dari ide The Devil's Dictionary-nya Ambrose Bierce, yang mendefinisikan ulang istilah kamus secara sarkastis.

CONGRATULATION, n.
The civility of envy.

CONSULT, v.i.
To seek another's disapproval of a course already decided on.


Pernah dengar istilah Darwin Awards? Ini adalah penghargaan yang secara sarkas dianugerahkan untuk orang-orang yang berhasil membuktikan teori Darwin, dengan gagal dalam seleksi alam. Umumnya mereka tewas atau luka parah karena tindakan bodoh seperti pria yang menggunakan penghisap debu untuk masturbasi.[1] Kumpulan cerita mengenai orang-orang ini bahkan sudah sampai beberapa seri dan laris manis.


T: Kita bisa lanjut ke pertanyaan berikut?
J: Tidak. Saya masih belum selesai. Sekarang mari kita lihat fiksi. Kita bisa melihat kungkungan stereotipe ini dari anggapan mayoritas pembaca bahwa buku humor harus yang "kocak".[2] Padahal karya satir seperti Gulliver's Travels-nya Jonathan Swift juga termasuk humor.

Dalam fiksi, humor sebenarnya merupakan elemen cerita. Karena itu, karya humor fiksi biasanya tidak dikategorikan ke dalam "humor". Melainkan masuk dalam sebuah subkategori di bawah fiksi.

Salah satu subkategori fiksi yang lucu adalah "novel populer". Novelis Irwin Shaw pernah berkomentar, "Saya mengernyit setiap kali para kritik berkata bahwa saya ahli [dalam menulis] novel populer. Novel yang tidak populer itu [seperti] apa?"

Kalaupun ada label dalam dunia buku yang memasukkan nama humor atau komedi, biasanya lebih ke arah fungsi pemasaran.


T: Sekarang gimana? Sudah?
J: Belum. Masih ada lagi.

Kumpulan strip komik kita, yang masih termasuk humor, juga menderita stereotipe serupa. Mayoritas adalah kartun satu atau beberapa panel yang tidak memuat dialog. Hanya mengandalkan kelucuan adegan slapstick. Komikus/kartunis yang menggunakan dialog dan situasi humor seperti Dwi Koendoro masih jarang. Dan saya belum melihat ada yang bisa seperti Scott Adams, membuat seri Dilbert yang menjadi ikon budaya (atau kebodohan) korporat (hingga menulis buku Dilbert's Principle atau Dilbert's Future). Atau seperti Bill Watterson, yang begitu piawai mengilustrasikan pola pikir seorang anak dalam seri Calvin and Hobbes, hingga tanpa sadar kita ikut mempertanyakan kehidupan.


T: Tolong beritahu saya kalau Anda sudah selesai. Saya tidur dulu.
J: Sudah kok.


T: Bener, nih?
J: Iya.


T: Yakin nggak mau nambahin lagi? Tentang hal yang perlu diperhatikan dalam menulis humor, misalnya?
J: Oh, benar juga. Oke, mau mulai dari mana?


T: Dari bagaimana seharusnya saya tutup mulut saja.
J: Ada dua hal yang perlu kita sadari sebelum menulis buku humor. Pertama, humor itu serius. Kedua, humor penulisan berbeda dengan humor pementasan.

Saya melihat banyak penulis yang melupakan hal pertama karena menganggap remeh penulisan humor. Dalam salah satu ajang permainan kepenulisan bertema humor, tiga dari sepuluh penulis berkomentar, "Ternyata menulis yang lucu-lucu susah, ya?"

Sebelum menulis humor, kita perlu menguasai dasar-dasar penulisan terlebih dahulu. Karena humor akan sulit keluar kalau berkomunikasi dalam bahasa tulisan saja belum fasih. Salah koma saja bisa berakibat fatal bagi eksekusi humor tulisan.

Hal kedua saya lihat dari sejumlah pelawak/komedian yang menulis buku. Ada yang sekadar menyusun kumpulan lelucon dan mengubah nama tokohnya menjadi nama mereka, seperti Edwin dan Jody. Ada yang sekadar memindahkan humor pementasan jadi humor tulisan, seperti Kelik Pelipur Lara.

Padahal humor tulisan adalah makhluk yang berbeda sama sekali. Dua jenis humor yang bisa berlaku baik dalam bentuk tulisan maupun pementasan adalah lelucon pendek dan humor pengamatan. Itu pun masih perlu diubah sesuai keperluan, seperti yang dilakukan Jerry Seinfeld dalam Seinlanguage atau Chris Rock dalam Rock This!


T: Bisakah Anda ngomong, "Ya, itu saja"?
J: Hmm? Ya, itu saja. Untuk a--


T: Terima kasih! (Klik.)
J: Halo? Halo?


_________________________________

[1]: Hanya pria yang akan mengernyit saat membaca kalimat ini.

[2]: Umumnya dalam arti mendorong pembacanya untuk mengeluarkan tertawa di atas 80 desibel, atau cukup untuk membuat orang-orang di sekitarnya bereaksi dalam dua cara. Pertama, bertanya, "Apa sih yang lucu?" Atau kedua, menyumpal mulut si pembaca dengan tisu.

No comments: