Friday, January 19, 2007

Rating tak Berdaun

Membaca tulisan Nofie Iman tentang sinetron dan pembodohan, saya kembali teringat kepada satu esai dalam Bertanya atau Mati yang membahas jebakan rating. Saya akan tuliskan ulang sebagian di sini.

Bagaimana sebenarnya pengukuran rating ini?
Penentuan rating TV yang paling populer adalah berdasarkan hasil survei perusahaan rating multinasional yang independen. Banyak rumah produksi dan media Indonesia, sebagai contoh, berlangganan pada Nielsen Media Research Indonesia (NMRI).

Sistem surveinya sendiri telah otomatis, berbasiskan masukan dari kotak hitam bernama peoplemeter pada pesawat TV responden, lengkap dengan remote control khusus. Keluarga responden diambil secara acak dari lima hingga sembilan kota besar. Pemilihan sampel ini rahasia, walau menurut klaim NMRI sendiri (pada situs resminya) disesuaikan dengan jumlah populasi dan demografi ekonomi kota bersangkutan. Jadi, walau konon tujuan metoda ini adalah meminimasi toleransi kesalahan, sulit bagi orang luar untuk memastikan klaim tersebut.

Cara kerjanya sederhana. Jika seorang kepala keluarga responden menonton suatu acara sendirian di satu slot waktu, misalnya, 19:30 – 20:00, maka ia perlu menekan tombol tertentu pada remote. Jika menontonnya bersamaan, harus menekan tombol berbeda. Kotak hitam tersebut langsung mengirimkan informasi melalui satelit ke kantor pusat Jakarta. NMRI akan mengolah informasi ini lalu menjualnya dalam berbagai bentuk. Dua contohnya, adalah rating dan share (serupa dengan rating tapi hanya dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang sedang menyalakan TV. Share 50% berarti setengah dari rumah tangga yang menyalakan TV sedang menonton acara tersebut.)

Kerahasiaan tentunya menjadi sangat penting. Keluarga responden harus menandatangani perjanjian untuk tidak membocorkan hubungan kerja mereka. Karena kalau ketahuan, bisa saja ada yang memanfaatkan untuk manipulasi data. Seperti ditunjukkan pada film Danny Devito produksi tahun 1984, The Ratings Game.

Dalam film itu, Vic DeSalvo (diperankan oleh Danny Devito), adalah bos besar suatu perusahaan truk di New Jersey yang memiliki impian untuk menjadi produser acara komedi situasi, atau sitkom. Sayangnya, ia tidak memiliki kemampuan yang mendukung. Skripnya kasar. Leluconnya buruk. Dan aktingnya kaku. Sehingga saat acara sitkomnya diluncurkan, ratingnya mendekati nol.

Tidak mau menyerah, ia mencuri daftar keluarga yang terikat kontrak dengan Perusahaan Rating Terkemuka (diperankan oleh NMRI). Lantas ia memanipulasi agar sebagian besar keluarga bersangkutan pergi keluar kota. Para bawahannya (diperankan oleh para tokoh pendukung) kemudian menyusup ke rumah-rumah yang kosong, dan memasang TV pada saat penayangan acara sitkomnya. Hal ini berlangsung untuk beberapa lama. Dan dengan sendirinya, rating acara tersebut melonjak drastis.

Pemirsa TV mulai menyadari keberadaan acara tersebut. Vic menjadi terkenal dan mendapatkan banyak liputan media. Sebagai puncaknya, seri tersebut mendapatkan nominasi dalam penghargaan acara-acara TV (diperankan oleh Emmy).



PERINGATAN! SPOILER!
Jangan membaca paragraf berikut jika Anda tidak ingin mengetahui akhir ceritanya.




Klimaks film terjadi saat manipulasi Vic DeSalvo terungkap. Polisi menangkapnya tepat saat pengumuman penghargaan, yang ternyata jatuh ke tangan Vic.



AKHIR PERINGATAN
Di bawah ini sudah bebas untuk kembali membaca. (Oh ya, ngomong-ngomong, penghargaannya jatuh ke tangan Vic bersamaan saat ia diborgol polisi.)





Film itu dengan cantik mempertanyakan sistem rating sebagai salah satu kekuatan yang mempengaruhi opini masyarakat. Terutama kini, saat orang-orang lebih awas akan informasi dan tren terbaru. Apakah opini publik yang mempengaruhi rating, atau rating yang mempengaruhi opini publik?

Itu contoh pengaruh hype. Dan berlaku pada industri lain. Apakah buku seperti Supernova atau Jakarta Underground menjadi bestseller hingga populer? Atau karena populer sehingga menjadi bestseller? Apakah sinetron memang tayangan yang digemari penonton Indonesia? Atau sinetron banyak tertonton karena produser menggunakan rating sebagai dasar untuk membanjiri saluran TV dengan tayangan serupa (sehingga minim alternatif)?

Ini lebih dari sekedar debat telur atau ayam. Kita bisa saja tidak peduli mana yang lebih dahulu: telur atau ayam? Tidak akan ada pengaruh sama sekali ke kehidupan kita. Tapi keengganan untuk mempertanyakan hype, akan semakin menjerumuskan kita ke dalam jerat ”The Ratings Game.”

No comments: