Wednesday, January 17, 2007

Dokter Kandungan, Pemandu Wisata, dan Mahasiswi Teknik Astronomi

Membaca berita bahagia Sonny, saya jadi teringat kagumnya saya akan kemampuan dokter kandungan menjelaskan foto USG kehamilan di bawah dua bulan.

Karena jujur saja, saya tidak tahu sama sekali apa yang dia bicarakan.

"Bapak bisa lihat kan, di sini kepalanya?" tunjuk sang dokter. "Ini badannya. Masih merangkul kaki. Tapi lihat deh, kepalanya miring ke sini. Kayak lagi noleh, ya Pak? Lucunyaaa."

Aku ikut-ikutan semangat menunjuk. "Yang ini? Iya kepalanya lucu sekali."

"Bukan, Pak," geleng sang dokter. "Itu kaki."

"Yang ini?"

"Itu perut."

"Ya, itu pun lucu," angguk saya.

Dokter-dokter kandungan ini akan cocok sekali menjadi pemandu wisata di museum geologi. "Bapak bisa lihat sendiri," ujarnya menunjuk sebuah fosil batu. "Ini kepalanya. Lehernya bergeser dari posisi normal. Bisa jadi ia tewas dalam perkelahian melawan pejantan lainnya."

"Hebat!" seru saya bersemangat. "Kalau yang ini ceritanya bagaimana?" tunjuk saya pada batu lain. "Apa spesies yang hidup di bawah laut? Atau tipe yang bisa menyamarkan warna kulit dengan sekitarnya? Atau bisa me--"

Sang pemandu akan mendehem, "Itu pecahan meteor, Pak."

"Oh," ujar saya. "Ya, itu juga lucu."

Saya curiga kedua tipe profesi ini adalah lulusan Teknik Astronomi. Karena saya pernah mengikuti sesi peneropongan bintang mereka. Saat mereka sudah berbicara akan rasi bintang, semangatnya melebihi seorang maniak mobil membahas aksesoris.

"Man, kau tahu kan, kalau kebanyakan bintang itu letaknya berjuta-juta tahun cahaya dari sini?" tanya seorang teman perempuan.

"Euh, ya?" angguk saya tak yakin. "Seperti pergi dari Kebon Jeruk ke Monas saat jam makan siang, ya?"

"Intinya," ia tak mengindahkan perbandingan saya, "cahaya yang sampai ke bumi adalah kiriman berjuta-juta tahun lalu. Ramalan bintang bukan berbicara tentang masa depan. Tapi masa lalu." Ia mendengus, "Bisa jadi, bintang yang kita lihat itu sebenarnya sudah nggak ada. Meledak. Cuman sinarnya saja yang masih sampai."

"Oh," jentik saya mengerti. "Kadang aku juga masih mencium wangi bakpau, padahal waktu nanya ke tukangnya, ternyata sudah habis. Seperti itu, ya?"

"Itu sih otakmu saja yang terlambat sadar," gerutunya.

"Lah," saya mengangkat bahu. "Sekarang saja aku belum sadar, kita sekarang di sini mau lihat apa, ya?"

Ia melirik ke rekannya yang masih mengutak-atik teropong. "Ya, sementara lihat pake mata telanjang dulu, lah."

Mendengar "telanjang", saya langsung semangat. "Mana? Mana?"

"Di atas, Einstein," tunjuknya tegak lurus dengan bumi.

"Hmm," saya mengamati sambil bersilang tangan. "Nggak ada yang telanjang," ujar saya kemudian.

"Biar kubantu, deh," katanya. Ia menunjuk beberapa titik di atas. "Lihat tiga titik itu, ditambah yang ini dan ini, menjadi seperti layang-layang. Lucu, kan? Dan kalau yang di sebelah sana kauhubungkan dengan ini, ini, ini, ini, ini, ini, ini, dan ini," ia berhenti sebentar untuk mengambil napas. "Jelas sekali seperti Sagittarius yang sedang memanah!"

"Oh, ya! Ya!" seru saya, berbohong. Karena saya hanya melihat angkasa hitam dan hamparan debu-debu berkilau. "Bagaimana dengan yang merah itu!" tunjuk saya kepada titik yang paling jelas bagi saya. "Apa itu rasi Rudolph dengan hidungnya?"

"Pertama, nggak ada rasi bintang Rudolph," ucapnya datar. "Dan itu lampu menara radio."

"Euh, ya, itu juga lucu."

2 comments:

Anonymous said...

kenapa jugak harus mahasiswi? ;)

Anonymous said...

Karena persentasenya lebih besar? Hehe.