Saturday, January 06, 2007

Kata Terjahat dalam Dunia Kreativitas...

...adalah "garing". Variasinya antara lain: jayus, basi, kuno, kampungan, pasaran.

"Garing" adalah kata yang digunakan seseorang, saat malas berpikir, untuk merendahkan gagasan (lelucon, puisi, maupun cerita pun gagasan) orang lain dan meninggikan diri sendiri (karena dengan menghujat "garing", sekaligus mengklaim bahwa sang penghujat tidak garing). Alih-alih menjelaskan kenapa suatu ide tidak bekerja/lucu/autentik, kita menggunakan "garing".

Salah dua penyebab garing menjadi pilihan populer adalah waktu dan kebiasaan. Banyak orang Indonesia yang tidak siap jika diminta opini dadakan. Alhasil, yang keluar adalah opini satu kata. "Gimana acaranya?" "Keren!" "Si A gimana orangnya?" "Asik!"

Wajar saja kalau ada yang berusaha melucu dan gagal, komentar orang-orang seperti ini adalah, "Garing!" Biasa satu kata. Seperti kata pepatah, "Alah bisa[nya cuman gitu] karena biasa."

Waktu juga masalah pelik. Saat seseorang berusaha mengejek pria kurus, misalnya, dengan lelucon yang sudah diceritakan beribu-ribu kali, "Badan lu kok kayak papan cucian, sih?" Jawaban harus disampaikan sebelum lima detik. Kalau tidak, percuma. Berhubung tidak biasa, balik lagi ke "Basi!" atau "Garing ah, kreatif dikit kalau ngejek, dong."

Karena itu, sebaiknya kita membuat perjanjian baru. Dalam situasi seperti di atas, daripada menggunakan garing dan kawan-kawan, lebih baik kita bit dulu dan bertukaran nomor telepon. Nanti, saat kita sudah siap, tinggal hubungi nomor tersebut.

"Halo, bisa bicara dengan Johan?"

"Saya sendiri."

"Oke, sebentar." Terdengar suara lipatan kertas dibuka. "Kalau kau pergi ke hutan dan menebang pohon--bukan, bukan ini." Suara tangan menyibak kertas. "Nyonya, Anda terlihat cantik, tapi saya sedang mabuk--halah, bukan juga."

"Mau ngapain sih?"

"Lu kemaren menghina rambut gua?"

"Bukan. Tubuh lu yang kurus."

"Oh, salah kotret kalau gitu. Bisa gua telepon lagi nanti?"

"Silakan."

Kembali pada pembicaraan yang serius, penggunaan kata garing bertanggung jawab atas:
a) Menghalangi kita untuk berpikir dan menemukan jawaban yang lebih cerdas
Orang dalam budaya berbahasa Inggris, secara umum lebih lancar dalam menyusun dan mengucapkan opini. Ambillah contoh seperti para penyanyi rap dan atlet basketball. Mereka sering digeneralisir maupun direndahkan kemampuan intelijensinya. Namun, saat diwawancara, ucapan mereka terunut logis dan jelas. Dari ngalor ngidul sampai saling cerca (thrash talk) lancar.

Menurut saya, ini disebabkan bahasa Inggris tidak mengenal satu kata seperti "garing" yang menjadi guilotin sakti bagi lawan bicara. Kalau ucapan orang lain ngaco, kita perlu mendebat balik. Mengejek balik juga oke asalkan poin dan logikanya jelas. Dengan kata lain, semua orang dituntut untuk berpikir. Sementara dalam budaya berbahasa Indonesia, tidak usah. Cukup katakan, "Garing lu!" Beres.


b) Menghentikan proses diskusi lebih lanjut yang bisa mematangkan ide
Pernahkah Anda menyampaikan satu ide dengan berapi-api? Anda merasa yakin bahwa jika ide ini dilaksanakan seperti bayangan Anda, hasilnya pasti sukses besar. Namun, rekan Anda hanya mengerutkan kening dan berkomentar, "Garing ah. Jangan deh."

Apakah tiba-tiba Anda jadi mendapatkan pencerahan? "Oh astaga! Benar juga. Untung kamu ngomong gitu. Jadi saya tiba-tiba mendapat inspirasi baru. Kita sebaiknya melakukannya begini." Anda pun mengotret ide baru tersebut.

"Nah! Itu baru keren!" sambutnya. Dan kalian pun berjingkrak-jingkrak gembira.

Dalam dongeng saja tidak pernah terjadi.

Kenyataannya, begitu seseorang dalam kelompok memvonis garing, matilah semua energi positif. Keran-keran ide mampet. Tiap orang jadi makin takut untuk mengeluarkan pendapat. "Nanti dibilang garing lagi di depan umum. Malu dong."

Kalau Anda ingin membuat tim kreatif dalam perusahaan, coret kata garing dalam kamus bersama. Bikin SOP kalau perlu: jika ingin mengkritik ide (termasuk lelucon), harus ada alasan dan umpan balik. Kenapa ide itu buruk? Bagaimana agar bisa lebih baik? Dan barangsiapa yang mengucapkan garing harus mentraktir makan siang seluruh anggota tim. Dalam satu sesi saja, bisa jadi jatah sebulan makan siang gratis sudah tersedia.

Kunci utama: lawanlah efek sosial garing. Jika ada orang digaringi di depan publik, jangan diam saja. Dan jika Anda yang digaringi, lawan! Minta kejelasan. Minta contoh nyata kalau si penggaring (orang yang berteriak garing) itu bukan maling teriak maling. Kalau mereka masih ngotot juga, ya sudahlah.

Mereka garing sih. (Lho?)

2 comments:

Anonymous said...

tapi di sisi lain kadang garing juga di nanti2, semakin garing orang semakin notice (kasus garing buat ngelucu tapi :P), ini kayanya posting gundah gulana setelah terbantai vonis garing? hihihi sabar sabar :D

Anonymous said...

Garing dinanti-nanti? Apa maksud Anda "lucu"? Soalnya menurutku, kalau seseorang ngelucu dan membuat kita tertawa, itu bukan garing. Tapi lucu. Memang, lucunya sendiri bisa di berbagai macam hal. Bisa jadi lucunya di materi (emang leluconnya lucu). Bisa jadi di cara membawakannya (materi basi, tapi cara ia membawakan). Bisa jadi karena kedekatan (kalau dengan teman dekat, apapun bisa jadi bahan ketawaan). Bisa jadi karena menertawakan orangnya (saking nggak lucunya, kita ketawa karena merasa jumawa).

Namun, tidak jarang kita nggak rela mengaku bahwa lelucon orang lain itu lucu. Jadi kita menyebutnya "garing". Menurutku, ini juga satu kebiasaan yang buruk. Membiasakan diri untuk tidak menghargai orang lain.

Untuk kasus yang terakhir (ketawa karena merasa jumawa), sering kali "garing" juga dipakai untuk menandakan kejumawaan itu. Ini juga nggak baik. Karena kalau emang jumawa, cobalah mengejek dengan lebih pintar (dan niat) dikit. Setidaknya dengan begitu lebih mikir.

Ini memang posting gundah gulana. Tapi bukan karena pribadi, lebih karena sosial. Kalau garing terus merajalela, lupakan saja mengenai selera humor maupun kreativitas meningkat. Seterusnya, kita akan didorong untuk merendahkan orang lain dengan mudah tanpa berpikir. Dan tanpa memberikan umpan balik.