Saturday, August 04, 2007

Berteman dengan Rasa Takut

Saya mendapatkan forwarded mail yang berjudul, "Modus Penipuan Baru". Judul ini bermunculan dengan rutin. Sebulan minimal satu. Kasusnya saja yang berbeda. Tingkat kebenarannya sih entah.

Yang terakhir ini menarik karena korban konon awalnya bersikap sinis. "...kalau memang benar hadiah mobilnya buat saya, kirim aja Pak mobilnya ke sini!" ujarnya via telepon. Namun, sikapnya berubah saat para penipu benar-benar membawa mobilnya ke rumah sang korban.

Berikut kutipan mailnya:


Masih dengan perasaan yang ragu, sekaligus surprised, maka dipersilakanlah tiga orang yang mengantarkan mobil tersebut masuk ke dalam rumah. Dengan menunjukkan seberkas dokumen, yang konon berupa Surat Jalan, dokumen Pajak, dokumen Asuransi, dan dokumen-dokumen yang lain maka diyakinkanlah bahwa ia memang berhak atas mobil yang dibawanya tersebut. Sayangnya, belum sempat ia memeriksa dokumen-dokumen tersebut, beberapa orang yang mengaku dari Pajak, Asuransi, dan juga Notaris bergantian menghubungi via telepon dan mengucapkan selamat atas hadiah yang didapat.

--dipotong---

Setelah lebih kurang 2 jam berada di rumah itu, maka tiga orang pengantar hadiah mobil pamit untuk menuju ke 'pemenang kedua' sambil lalu mereka pun mengajak untuk sekalian bertemu notaris sambil mengendarai 'Grand Prize' yang baru dimenangkannya. Dengan sangat meyakinkan sang pemenang dipersilakan untuk mengendarai mobil yang memang sudah diidamkannya selama ini.

Sebelum berangkat si pengantar hadiah menanyakan apakah uang sudah dipersiapkan. Sempat muncul keraguan, namun rasa gembira mengalahkan keraguan yang sempat muncul, hingga dibawalah olehnya uang tunai sejumlah 10 juta rupiah. Di tengah perjalanan, si pengantar kembali menanyakan, apakah perlu mampir ke ATM. Namun dijawab bahwa saldo di tabungan sudah tinggal sedikit. Maka perjalananpun dilanjutkan, dan melalui jalan bebas hambatan (tol).

Beberapa saat di jalan tol, si pengantar dengan sopan meminta agar kemudi diambil alih oleh temannya. Dengan beralasan bahwa kendaraan belum diserahterimakan, sehingga bisa merepotkan jika terjadi kecelakaan, maka beralihlah kemudi ke orang lain dan ia pun berpindah duduk di samping pak sopir. Di saat sedang menikmati kenyamanan kendaraan baru tersebut, tiba-tiba dari belakang sepasang tangan membekap mulut dan hidungnya dengan lap atau sapu tangan yang beraroma sangat tajam, hingga ia pun tak sadarkan diri......


Mail ini di-forward seseorang yang mengawali dengan tulisan, "Kalau kita yang mengalami kisah dibawah ini mungkin kita juga tertipu."

Bisa saja. Karena, berdasarkan cerita di atas, sang korban pun awalnya sinis. Ia tentunya pernah mendengar kasus-kasus penipuan seperti ini. Tapi akhirnya tertipu juga.

Terlepas dari benar atau tidaknya kasus di atas, ada dua hal yang bisa kita pelajari darinya:
a) Modus penipuan sebenarnya memiliki pola: mengawali dengan membuat lengah dan lantas memanfaatkan itu untuk serangan (tiba-tiba).

Dalam penipuan, biasanya pelaku membuat lengah dengan menunjukkan kredibilitas (rapport). Di kasus yang ini, pelaku mengambil risiko dan usaha yang lebih besar dengan membawa mobil. Namun, sebenarnya itu termasuk usaha penjalinan kredibilitas yang, sayangnya, palsu.


b) Kelengahan umumnya terjadi saat kita merasa aman pada situasi yang salah.

Bulan lalu, tetangga saya kecurian. Ia baru mengambil uang (tampaknya berjumlah sangat besar) dari bank dan langsung pulang. Begitu ia sampai ke rumah, ia turun dari mobil, dan membuka pagar.

Pada saat itulah, sebuah motor berpenumpang dua orang mendekat. Seorang di antaranya dengan sigap mengambil tas berisi uang sebelum motor kembali melesat pergi. Sang tetangga hanya bisa mengejar sambil menjerit-jerit histeris, sebelum akhirnya pingsan. Selama ini saya kira histeris hingga pingsan hanya mitos yang dibesar-besarkan sinetron. Namun ternyata memang terjadi.

Walau bentuknya pencurian, bukan penipuan, kasus ini mirip dengan cerita atas: para pelakunya sadar bahwa orang pada umumnya merasa aman saat di (sekitar) rumah mereka. Mereka memanfaatkan kecenderungan ini untuk mencari celah.


Dalam "The Gift of Fear", Gavin deBecker menulis bahwa poin (b) sering terjadi karena kita tidak mau merasa takut. Lihat saja lingkungan kita: orang yang tampak penakut sering diolok-olok. Di sisi lain, media malah mempromosikan rasa takut melalui tayangan horor, kekerasan, dll. Rasa takut jadinya kita salahartikan sebagai perasaan negatif atau sekadar sensasi hiburan. Kita lantas terdorong untuk senantiasa mencari rasa aman. Salah satunya adalah dengan mengurung diri di rumah. Bentuk yang lebih abstrak adalah terus mengikat diri pada pekerjaan yang kita benci (demi rasa aman dari gaji rutin).

Padahal anggapan itu salah. Menurut deBecker, rasa takut adalah sinyal alami manusia untuk memperingatkan akan bahaya. Dan yang paling penting: rasa takut adalah alarm saat kita lengah di situasi yang salah.

Di New York, tulisnya, seorang mahasiswa masuk ke sebuah toko kelontong (convenient store, semacam Circle-K). Ketika ia membuka pintu, tiba-tiba ia ditusuk oleh rasa takut. Tanpa ia sadari, ia langsung berbalik dan meninggalkan toko tersebut.

Baru besoknya, ketika lewat di situ lagi, ia melihat bahwa tempat tersebut sudah jadi TKP. Ternyata kemarin, pada saat ia hendak masuk, terjadi perampokan. Seorang polisi yang kemudian masuk pun tewas ditembak oleh sang perampok.

Ketika ditanyai oleh polisi, ia mengaku tidak tahu kenapa ia merasa takut. Tapi setelah ditanyai oleh tim deBecker, ia mengulang-ulang suatu informasi tanpa sadar: bahwa dia melihat sebuah sedan terparkir di dekat toko. Dan saat ia melihat spionnya, ia bertatapan dengan mata sang supir. Setelah dikonfirmasikan oleh tim deBecker, ia baru mengaku bahwa hal itu memang mengherankannya. Seakan-akan sang supir bersiap-siap kabur dengan menunggu seorang temannya di dalam.

Dan memang informasi kecil itulah yang memicu alarm bawah sadarnya: rasa takut. Sebenarnya otak menyimpan segala informasi yang kita lihat, dengar, dan rasa. Namun, hanya sebagian kecil yang kita proses secara sadar. Rasa takut adalah mekanisme alamiah manusia untuk mengingatkan, bahwa bisa jadi kita melewatkan sesuatu. Dan itu bisa berakibat fatal.

Kalau kita tidak memusuhi rasa takut, kita akan dapat memanfaatkannya untuk keselamatan diri kita. Ambillah contoh tetangga saya. Tentunya, selama perjalanan, ia diikuti oleh motor tersebut. Ketika ia mengemudi, kemungkinannya besar ia beberapa kali melihat motor yang sama berada di belakangnya (melalui spion). Mungkin rasa takut sudah merambatinya saat perjalanan. Namun ia memutuskan untuk mengabaikannya. Dan langsung lega saat melihat rumah.

Lalu contoh cerita Innova: rasa aman membuat korban lupa, bahwa tiga orang tersebut adalah orang asing. Memasukkan diri dalam suatu ruang sempit (mobil) bersama orang asing dengan membawa uang sepuluh juta biasanya akan memicu alarm rasa takut seseorang. Dan bukan cuma itu. Ada sejumlah tanda mencurigakan lain seperti:

  • Telepon dari orang Pajak, Asuransi, dan Notaris yang terlalu tepat waktu

  • Menanyakan "Apa perlu mampir ke ATM?" padahal sudah jelas dari awal
    cuma ada Rp10 juta.

  • Setelah jauh, baru meminta yang nyetir temannya. Tidak dari awal.


Semua itu adalah poin-poin yang pada keadaan normal bisa membuat sirine dalam diri menggaung-gaung. Apalagi yang terakhir. Namun, bisa jadi kita--dalam situasi serupa--mengabaikannya karena sudah memutuskan untuk percaya.


Intinya:

  1. Bukan berarti kita harus curiga ke semua orang. Cukup jangan lengah. Apalagi kalau sebenarnya tidak ada alasan kuat untuk merasa aman. Biasakanlah untuk mengonfirmasikan sesuatu langsung kepada sumber aslinya. Kalau memang seseorang mengaku dari Wings, misalnya, cobalah telepon ke customer service Wings--menggunakan ponsel kalau bisa. Jangan puas hanya sekadar melihat kartu nama orangnya.

  2. Ingat: "Check and recheck" bukan sekadar nama acara infotainment

  3. Dan jelas, intinya bukanlah untuk selalu merasa takut. Justru biasa saja. Namun, kala rasa takut mulai merambati tengkuk kita, cobalah untuk cari tahu apa yang mau dikatakan oleh alarm tubuh kita ini. Jangan langsung abaikan.

No comments: