Saturday, August 04, 2007

Peter and the Starcatchers

Saya akui, saya mencari-cari buku ini dari tahun lalu hanya karena satu hal: salah satu pengarangnya adalah Dave Barry, penulis humor favorit saya.

Namun saat mendapatkan buku itu, alasan saya bertambah. Saya ingin mengetahui karya seperti apa jadinya jika seorang penulis humor berkolaborasi dengan penulis misteri (Ridley Pearson).

Membaca buku ini bagi saya mungkin seperti berlibur ke Pangandaran. Tidak jarang saya mengernyit melihat hal-hal yang bisa merusak pengalaman saya. Namun, berhubung saya mengkukuhkan diri untuk bersenang-senang, saya pun berjuang untuk mengabaikan semua yang mengganggu. Saya fokus ke hal-hal yang menghibur saja. Alhasil, begitu berakhir, saya pun pulang dengan perasaan puas.

Sebenarnya tentang apa buku ini?

Ini adalah prekuel novel Peter Pan and Wendy (oleh J.M. Barrie) versi mereka. Ide ini muncul saat Dave mendongeng kepada anaknya. Lantas sang anak bertanya, "Kenapa Peter bisa tinggal di Neverland?" Sebagai penulis humor, tentu saja dia berpengalaman dalam mengarang cerita di tempat. Namun, saat ia dengan asal menjelaskan dari mana Peter dan kenapa ia bisa terbang, ia tiba-tiba tertegun melihat ekspresi anaknya. Itu adalah ekspresi anak yang tercengang. Tak sabar menunggu lanjutannya. (Atau ingin ke toilet.)

Apa pun itu, ia akhirnya menceritakan idenya bersama Ridley Pearson, dan mereka pun memutuskan untuk menyusun bukunya. Cara mereka berkolaborasi pun cukup sederhana: masing-masing melempar satu bab, lewat email. Hasilnya, ada satu bab yang begitu panjang. Dan ada yang hanya beberapa halaman.

Secara keseluruhan, buku ini cukup menarik. Walaupun bagi saya, yang lebih menarik adalah gagasannya. Membuat prekuel dari sebuah kisah legendaris. Ini adalah ide yang muncul hanya pada orang-orang yang mau bertanya. Kenapa begini? Kenapa begitu?

Ironisnya, yang memunculkan ide itu adalah seorang anak.

Buku ini mengingatkan saya untuk kembali mempertanyakan berbagai hal. Terutama sebagai penulis. Jika kita begitu mudah untuk terbuai atau terkagumkan oleh karya-karya penulis lain. Bisa jadi, kita merasa bahwa semua hal sudah ditulis orang lain. Semua ide sudah diwujudkan. Tiada hal baru lagi di bawah sinar mentari. Apa lagi yang bisa kita tulis?

Itu adalah contoh pertanyaan yang salah. Jika kita mulai terjebak dalam situasi seperti itu, cobalah kembali jadi anak kecil. Apresiasilah karya. Atau malah peristiwa di sekitar kita. Lantas tanyakanlah.


"Wah, ceritanya asyik! Terus, kenapa tokoh utamanya bisa begitu? Eh, gimana kalau begini? Atau sekalian aja begitu?"

Atau

"Haha, kejadian tadi lucu juga. Gimana kalau ternyata yang datang buaya?"

Bisa jadi, itulah yang akan membuat kita jadi kembali bersemangat meneruskan karya kita. Atau memompa ide segar ke dalam benak kita yang mengempis.

Selamat bertanya dan menulis!

______________________

1 comment:

Mariskova said...

Sepertinya buku yang wajib dicari kalo ke toko buku (atau buku yang wajib dititip kalo ada yang pergi ke LN hehehe). Ide bahwa pengarang misteri bisa bergabung dng pengarang humor(is?) sangat menarik.

Btw, Mas, punya info gak ttg penerbit Indonesia yang mau menerbitkan naskah bahasa Inggris?