Hati-hati: Menyabotase Presentasi Sendiri
Saya baru mengikuti seminar Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Bandung yang membahas situs portal bisnis untuk perdagangan dan investasi. Presentasinya bisa saya simpulkan dalam dua kata: sakit kepala.
Pembicara seminar ini adalah dua orang berkewarganegaraan Jerman. Pembicara pertama mengaku sebagai pakar situs web dan yang kedua adalah wakil dari Kadin Hanover. Keduanya sukses menyabotase presentasi mereka sendiri.
Mari mulai dari penataan ruang yang mengundang bencana. Para pembicara duduk di panggung tengah, terhalangi meja. Lantas ada dua layar sorot. Satu di pojok kiri (dari arah hadirin) dan satu lagi di pojok kanan ruangan. Hebatnya, kedua layar ini menampilkan dua hal berbeda. Layar kanan menampilkan slide PowerPoint. Layar kiri menunjukkan situs web portal bisnis Jerman.
Pembicara pertama membaca slide, dan kami menoleh ke kanan. Pembicara ganti menunjuk tampilan situs, dan kami menoleh ke kiri. Kembali lagi ke slide. Ke situs. Begitu terus. Kalau saya ingin menolehkan kepala ke kiri dan kanan secepat ini, saya mendingan ikut aerobik.
Ingat kembali bahwa pembicara berdiri di balik meja. Di atas panggung. Ini juga memberi jarak dengan hadirin. Lantas dikombinasikan dengan slide yang berisi jejeran bullet point, hasilnya cukup ampuh: hadirin kehilangan minat. Awalnya, hadirin mulai malas menoleh. Lantas sebagian mulai sibuk sendiri atau mengobrol. Saya sendiri setengah mati menahan diri untuk tidak melantunkan reff satu lagu Project Pop, "Leng geleng geleng geleng geleng..." Beberapa orang ada yang pamit ke belakang. Tapi tidak kembali-kembali. Bisa jadi diculik oleh Gerakan Pembebas Korban PowerPoint Nasional.
Dalam buku Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint, saya menuliskan bahayanya dosa besar keempat: menyulitkan pembacaan. Sewaktu-waktu, presentasi kita bisa tersabotase. Hadirin mengalami kesulitan menangkap apa yang ingin kita sampaikan. Ketika ini terus-menerus terjadi, mereka pun akan memutuskan untuk tidak lagi peduli.
Dan jangan salah: yang menyabotase presentasi kita, biasanya adalah kita sendiri.
Peristiwa di atas bisa dihindarkan dengan cara mudah: proaktif. Para pembicara dapat datang lebih awal dan ikut menata ruangan bersama panitia. Khusus untuk kasus ini, kita perlu memastikan bahwa tatapan hadirin dapat berpindah antara fokus perhatian dengan nyaman, tanpa menggerakkan kepala secara berlebih. Dan pilihan fokus perhatian ini sebaiknya hanya dua: diri kita dan layar. Kalaupun menggunakan dua layar, sebaiknya isinya sama. Layar kedua ini berfungsi sebagai alternatif bagi hadirin yang terlalu jauh dari layar pertama.
Dan yang tak kalah penting: singkirkan jauh-jauh semua penghalang antara kita dan hadirin.
Saat Brian Conley (pendiri aliveinbaghdad.org) diminta berbicara di depan podium, ia berbisik kepada temannya, "Kira-kira mereka bakal marah nggak kalau aku menendang podium itu hingga terguling?"
Berlindung di balik meja atau podium mungkin terasa lebih nyaman. Namun cobalah pikir lagi, apakah pernah ada pembicara yang berkata, "Wah, sambutannya meriah sekali! Untunglah aku membawa meja ini dari rumah." Tidak. Karena sebaliknyalah yang terjadi. Hadirin lebih menyambut para pembicara yang berani menampilkan diri secara utuh. Karena itu, hilangkan semua yang menghambat kita untuk menjalin kontak emosi dengan hadirin.
Sang pembicara pertama ini pun akhirnya sadar. Ia memutuskan untuk melangkah turun dari panggung, dan berdiri di dekat salah satu layar. Kini, kami dapat menatap kedua fokus perhatian dengan nyaman. Sang pembicara pun mulai berinteraksi, berbicara langsung dengan hadirin. Sesekali menanya bisnis apa yang digeluti seorang peserta. Atau apa yang mereka minati. Ia tidak lagi sekadar membaca slide.
Berkat itu, presentasi kembali hidup. Walau untuk sementara. Karena muncullah giliran pembicara berikut. Dan layar menayangkan slide baru yang berisi... lebih banyak lagi bullet point.
Saya langsung mencatat dalam hati, agar pulangnya nanti beli obat pusing.
No comments:
Post a Comment