Tuesday, January 30, 2007

Rangkuman Acara: Ngobrol Seru (tapi Santai) di Rumah Alebene

Pada hari Sabtu (27 Januari 2007), jam tiga sore, empat orang penulis Gramedia Pustaka Utama (GPU) berkumpul di Rumah Alebene Bandung untuk membahas satu pertanyaan utama: Apakah menulis bisa menjadi pilihan profesi?

Sebagai pembuka, Isman dan Donna membahas berbagai jalur karier yang bisa ditempuh seorang penulis. Misalnya: copywriter (penulis naskah komunikasi pemasaran/iklan), penulis skenario, penulis artikel/kolom, maupun penulis buku. Selain menerbitkan buku, Donna dan Isman sendiri adalah penulis lepas. Mereka berdua telah menjalankan berbagai proyek copywriting, penulisan artikel/kolom, maupun penulisan skenario (walau bukan untuk media televisi).

Berbagai jalur tersebut bisa ditempuh dalam dua bentuk keterikatan: penulis lepas (freelance) maupun penulis di bawah perusahaan. Atau dalam dua bentuk komitmen: penulis paro-waktu (part-time) maupun penuh-waktu (full-time).

Luna melanjutkan dengan mengapa ia memilih untuk menjadi penulis buku penuh-waktu. "Padahal, saya nggak pernah bercita-cita jadi penulis," ujar lelaki yang sering dikira perempuan karena nama penanya. Namun, semenjak naskahnya diterbitkan pada tahun 2005, ia berfokus ke penulisan buku. Dan kini, ia sudah menerbitkan delapan buku di tiga penerbit. Empat judul terakhir diterbitkan GPU.

Bacem, yang datang terlambat, juga tidak pernah bercita-cita jadi penulis. Namun, alasannya berbeda. "Niatnya sih mau jadi foto model," ujar penulis yang lebih senang dipanggil Acem. "Tapi kurang ganteng. Jadi we penulis."

"Terlepas dari alasan pribadi," lanjut Isman. "Sebelum memilih jadi penulis, kita perlu mencari tahu segala hal berkaitan dunia yang akan kita terjuni." Ia memasang sebuah klip video pendek tentang seekor anjing galak di balik pagar kayu yang menyalaki seorang lelaki. Merasa terlindungi pagar, si lelaki balik mengganggu si anjing sambil jalan. Tanpa ia sadari, tiga meter di depannya, ada celah besar di antara pagar.

Isman mengaitkan analogi itu ke dunia penerbitan buku. Jika ingin terjun sebagai penulis buku penuh-waktu, salah satu yang mutlak perlu adalah perencanaan finansial. Penerbit pada umumnya membayarkan royalti hanya dua atau tiga kali dalam setahun. Berarti dalam empat atau enam bulan sekali. Jika ini adalah satu-satunya sumber penghasilan, perlu perencanaan yang ketat akan pembelanjaan dan prakiraan pendapatannya. Terutama karena prakiraan itu akan sering meleset, tergantung berapa penjualan buku.

Donna berbagi tentang satu detail kehidupan penulis, "Orang-orang di sekitar kita nggak akan ngerti." Bersiap-siaplah akan teman atau keluarga yang mengira seorang penulis selalu memiliki waktu luang. Jangan kaget jika banyak orang yang mengira kehidupan penulis itu begitu glamor dan mudah. Padahal sama saja seperti profesi lain: perlu disiplin yang kuat, terutama melawan kemungkinan stres.

Luna menyumbangkan pendapat bahwa, "Kalau sudah milih mau jadi penulis, memang harus disiplin." Setelah berpikir lama, Acem langsung menambahkan, "Idem." Pada saat ini, Isman, Donna, dan Luna berusaha merebut mik dari tangan Acem.

Donna yang berhasil mendapatkan mik menegaskan bahwa seorang berprofesi penulis perlu menjadwalkan waktu khusus untuk menulis. Misalnya satu jam. Berapapun hasilnya, tidak masalah. Ada hari di mana dalam sejam bisa menghasilkan dua puluh halaman. Namun, bisa juga hanya dua puluh kata. Tapi satu jam itu harus ada tiap hari.

Diskusi berlanjut ke proses kreatif masing-masing penulis. Luna, Donna, dan Bacem memiliki pendekatan berbeda-beda terhadap menulis. "Dan itu wajar," ujar Donna. "Karena tidak ada standar baku untuk kreativitas." Sebagaimana pula metode tiap orang untuk disiplin maupun mengelola waktu berbeda-beda. Perbedaan metode tidak penting. Yang penting adalah pelaksanaan.


Bagi-bagi hadiah
Setiap penanya mendapatkan kalendar GPU. Di klimaks acara, Isman memimpin game Sambung Satu Kata. Para hadirin yang berminat ikut tinggal berdiri. Sekitar tiga perempat hadirin berdiri. Dimulai dari para penulis, tiap orang mengucapkan satu kata. Peserta berikutnya harus menyambung dengan kata lain sehingga membentuk kalimat yang logis. Jika seorang peserta merasa untaian kata-kata sebelumnya sudah membentuk satu kalimat utuh, ia boleh mengucapkan "Titik!" Ini akan membuat kalimat berakhir. Dan orang berikutnya mulai dari kalimat baru.

Menurut Isman, game ini sebenarnya adalah salah satu permainan kepenulisan untuk melawan kepenatan atau kemacetan dalam berkarya. "Tapi [game ini] juga asik untuk rame-ramean."

Game berjalan meriah. Persaingan pun semakin ketat saat mencapai tiga finalis. Di sini, peserta yang bisa mendapatkan "Titik" akan menjadi pemenang pertama dan berhak atas paket hosting gratis setahun dengan kapasitas 50MB dari Qwords. Dia juga berhak memilih judul buku yang jadi hadiah. Plus boneka tokoh anjing bernama Spot, berdasarkan seri buku anak populer karangan Eric Hill. Dua pemenang berikutnya mendapatkan paket hosting 25MB dan pilihan buku lain.(1)

Sebagai penutup, Donna membagikan tas GPU bertuliskan "Too Many Books Won't Kill You" yang cocok untuk para pencinta buku. Dan Isman merangkum obrolan selama dua jam, "Apakah penulis bisa menjadi pilihan profesi? Bisa. Namun, jangan jadikan penerbitan buku sebagai penunjang kebutuhan finansial utama. Kecuali kita telah memiliki perencanaan dan disiplin finansial yang kuat." Alternatifnya adalah menjadi penulis lepas selain penulis buku. Atau menjadikan penulisan buku sebagai profesi sampingan. Bisa juga menjadi penulis di bawah naungan perusahaan, misalnya copywriter agensi periklanan.

Akhir kata: apapun pilihan jalur karier kepenulisan Anda, teruslah berkarya!2
_____________

1: Salah seorang pemenang sepertinya tidak sadar kalau ia ikut mendapatkan paket hosting dan langsung pulang. Jika Anda adalah pemenang tersebut, segera hubungi rendy_m_aATyahooDOTcom.

2: Terima kasih kepada rekan-rekan GPU, Rumah Alebene, dan Qwords atas kerja samanya. Juga kepada para hadirin yang turut meramaikan dengan pertanyaan dan partisipasinya. Kalianlah yang membuat obrolan ini jadi seru.

Monday, January 22, 2007

Peta Menuju Rumah Alebene Bandung


Tahukah Anda?

  1. Saya membuat peta ini dengan Visio
  2. Memakai Visio untuk menggambar peta sama saja seperti memakai penggaris besi untuk memotong kayu

Saturday, January 20, 2007

Ngobrol Seru: Apakah Menulis Bisa Menjadi Sebuah Profesi?

Berminat jadi penulis? Masih penasaran apakah menulis bisa jadi profesi? Pengin tahu tips dan pengalaman penulis-penulis Gramedia?

Datang aja ke:

Rumah Alebene
Jalan Sukajadi 232 Bandung

(samping Hero)


Hari:
Sabtu, 27 Januari 2007
Jam 15.00 - 17.00


Yok, kita ngobrol bareng! Mau sambil santai bisa. Mau sambil seru-seruan ber-doorprize juga oke. Bersama:
  • Primadonna Angela (penulis "Quarter Life Fear", "Belanglicious", "Love at First Fall", "Jangan Berkedip!", "Quarter Life Dilemma")
  • Luna Torashyngu (penulis "Love Detective", "Victory", "Beauty and the Best", "Dua Rembulan")
  • Isman H. Suryaman (penulis "Bertanya atau Mati!" dan "Jangan Berkedip!")
  • Bacem Wong (penulis "Iiih" dan "Romantis")
Acaranya gratis!

Informasi lebih lanjut: +62 22 2038103

Sampai ketemu di sana!

Friday, January 19, 2007

Rating tak Berdaun

Membaca tulisan Nofie Iman tentang sinetron dan pembodohan, saya kembali teringat kepada satu esai dalam Bertanya atau Mati yang membahas jebakan rating. Saya akan tuliskan ulang sebagian di sini.

Bagaimana sebenarnya pengukuran rating ini?
Penentuan rating TV yang paling populer adalah berdasarkan hasil survei perusahaan rating multinasional yang independen. Banyak rumah produksi dan media Indonesia, sebagai contoh, berlangganan pada Nielsen Media Research Indonesia (NMRI).

Sistem surveinya sendiri telah otomatis, berbasiskan masukan dari kotak hitam bernama peoplemeter pada pesawat TV responden, lengkap dengan remote control khusus. Keluarga responden diambil secara acak dari lima hingga sembilan kota besar. Pemilihan sampel ini rahasia, walau menurut klaim NMRI sendiri (pada situs resminya) disesuaikan dengan jumlah populasi dan demografi ekonomi kota bersangkutan. Jadi, walau konon tujuan metoda ini adalah meminimasi toleransi kesalahan, sulit bagi orang luar untuk memastikan klaim tersebut.

Cara kerjanya sederhana. Jika seorang kepala keluarga responden menonton suatu acara sendirian di satu slot waktu, misalnya, 19:30 – 20:00, maka ia perlu menekan tombol tertentu pada remote. Jika menontonnya bersamaan, harus menekan tombol berbeda. Kotak hitam tersebut langsung mengirimkan informasi melalui satelit ke kantor pusat Jakarta. NMRI akan mengolah informasi ini lalu menjualnya dalam berbagai bentuk. Dua contohnya, adalah rating dan share (serupa dengan rating tapi hanya dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang sedang menyalakan TV. Share 50% berarti setengah dari rumah tangga yang menyalakan TV sedang menonton acara tersebut.)

Kerahasiaan tentunya menjadi sangat penting. Keluarga responden harus menandatangani perjanjian untuk tidak membocorkan hubungan kerja mereka. Karena kalau ketahuan, bisa saja ada yang memanfaatkan untuk manipulasi data. Seperti ditunjukkan pada film Danny Devito produksi tahun 1984, The Ratings Game.

Dalam film itu, Vic DeSalvo (diperankan oleh Danny Devito), adalah bos besar suatu perusahaan truk di New Jersey yang memiliki impian untuk menjadi produser acara komedi situasi, atau sitkom. Sayangnya, ia tidak memiliki kemampuan yang mendukung. Skripnya kasar. Leluconnya buruk. Dan aktingnya kaku. Sehingga saat acara sitkomnya diluncurkan, ratingnya mendekati nol.

Tidak mau menyerah, ia mencuri daftar keluarga yang terikat kontrak dengan Perusahaan Rating Terkemuka (diperankan oleh NMRI). Lantas ia memanipulasi agar sebagian besar keluarga bersangkutan pergi keluar kota. Para bawahannya (diperankan oleh para tokoh pendukung) kemudian menyusup ke rumah-rumah yang kosong, dan memasang TV pada saat penayangan acara sitkomnya. Hal ini berlangsung untuk beberapa lama. Dan dengan sendirinya, rating acara tersebut melonjak drastis.

Pemirsa TV mulai menyadari keberadaan acara tersebut. Vic menjadi terkenal dan mendapatkan banyak liputan media. Sebagai puncaknya, seri tersebut mendapatkan nominasi dalam penghargaan acara-acara TV (diperankan oleh Emmy).



PERINGATAN! SPOILER!
Jangan membaca paragraf berikut jika Anda tidak ingin mengetahui akhir ceritanya.




Klimaks film terjadi saat manipulasi Vic DeSalvo terungkap. Polisi menangkapnya tepat saat pengumuman penghargaan, yang ternyata jatuh ke tangan Vic.



AKHIR PERINGATAN
Di bawah ini sudah bebas untuk kembali membaca. (Oh ya, ngomong-ngomong, penghargaannya jatuh ke tangan Vic bersamaan saat ia diborgol polisi.)





Film itu dengan cantik mempertanyakan sistem rating sebagai salah satu kekuatan yang mempengaruhi opini masyarakat. Terutama kini, saat orang-orang lebih awas akan informasi dan tren terbaru. Apakah opini publik yang mempengaruhi rating, atau rating yang mempengaruhi opini publik?

Itu contoh pengaruh hype. Dan berlaku pada industri lain. Apakah buku seperti Supernova atau Jakarta Underground menjadi bestseller hingga populer? Atau karena populer sehingga menjadi bestseller? Apakah sinetron memang tayangan yang digemari penonton Indonesia? Atau sinetron banyak tertonton karena produser menggunakan rating sebagai dasar untuk membanjiri saluran TV dengan tayangan serupa (sehingga minim alternatif)?

Ini lebih dari sekedar debat telur atau ayam. Kita bisa saja tidak peduli mana yang lebih dahulu: telur atau ayam? Tidak akan ada pengaruh sama sekali ke kehidupan kita. Tapi keengganan untuk mempertanyakan hype, akan semakin menjerumuskan kita ke dalam jerat ”The Ratings Game.”

Thursday, January 18, 2007

Hati-hati: Terapi Minum 1,5 Liter Air Sekaligus

Anda mungkin pernah mendapat kiriman mail dari teman, kenalan, atau rekan kantor tentang terapi minum air. Satu setengah liter sekaligus! Atau kira-kira enam gelas. Mail tersebut akan menyarankan Anda untuk melakukannya dua kali: di pagi hari dan di malam hari.

Bahkan Kompas pun memuat artikel tentang terapi air ini;

Pagi hari ketika baru bangun tidur (bahkan tanpa gosok gigi terlebih dahulu) minumlah 1,5 liter air, yaitu lima sampai enam gelas. Lebih baik airnya ditakar dahulu sebanyak 1,5 liter. Ketahuilah bahwa nenek moyang orang India menamakan terapi ini sebagai usha paana chikitsa.
Namun ada satu hal yang luput diingatkan Kompas atau mail-mail tersebut: terlalu banyak minum air dapat membunuh kita, jika sampai terjadi keracunan air (water intoxication).

Pada bulan Maret 2005, empat orang mahasiswa tanpa sengaja membunuh seorang mahasiswa lainnya karena memaksanya minum air terlalu banyak. Mereka melakukannya untuk memelonco sang korban, tanpa sadar bahwa itu akan mengakibatkan kematian.

Pada tanggal 12 Januari 2007, seorang wanita meninggal dalam kontes minum air sebanyak-banyaknya demi memperebutkan konsol Wii.

Apakah yang sebenarnya terjadi? Asupan air mendadak yang terlalu banyak akan mengurangi kandungan sodium. Dan ini bisa mengakibatkan beberapa organ, terutama otak, membengkak. Yang ditekankan dalam berbagai artikel keracunan air: penyebabnya bukanlah semata-mata total air yang diminum, tapi seberapa cepat kita meminumnya. Dengan kata lain, minum air 1,5 liter sekaligus itu sangat berpeluang untuk menyebabkan keracunan air.

Artikel Kompas menulis:
Pada awal, mungkin terasa sulit minum 1,5 liter air sekaligus. Namun, lambat laun akan terbiasa.
Jika lambung Anda sudah terasa penuh, berhenti saja. Saya sendiri pernah melakukan terapi air ini. Saat pertama kali melakukannya, kepala saya pusing. Dan tubuh jadi enggan untuk digerakkan. Untungnya, saya tidak apa-apa. Dan selanjutnya memang jadi lebih terbiasa.

Karena menurut artikel ini, kepala pusing dan kemalasan mendadak adalah salah dua gejala menuju keracunan air. Kita perlu waspada, terutama saat berwisata ke daerah yang panas. Karena bisa jadi, kita minum terlalu banyak tanpa sadar.

Ini juga yang umum terjadi pada para pelari maraton. Karena terlalu banyak berkeringat, mereka bisa terkena keracunan air jika hanya minum air. Kandungan sodium di tubuh jadi larut dan berkurang drastis. Hal ini bisa dihindari dengan menenggak minuman isotonik atau sejenisnya yang mengandung elektrolit (terutama sodium).

Air memang menyehatkan. Namun, apa pun yang berlebihan akan berakibat buruk. Apalagi kalau kita salah memilih air minum. (Tapi ini pembicaraan berbeda untuk lain kali.)

Pemasaran Viral: Main Game Wii Sekaligus Menguruskan Badan

Seorang entrepreneur menuliskan rencana eksperimen kebugarannya di blog: selama enam minggu, ia akan beraktivitas dan makan seperti biasa, kecuali satu perbedaan: ia akan main game olahraga dengan konsol Wii selama 30 menit per hari. Tentu saja, game yang ia mainkan meliputi tinju, tenis, dan boling. Kalau mainnya poker, gaple atau scrabble sambil mengunyah keripik kentang sih itu bukan eksperimen. Itu namanya kebiasaan sehari-hari.

Hasilnya?

  1. Persentase lemak tubuh: berkurang 1,8%
  2. Indeks Massa Tubuh: berkurang 0,8
  3. Berat Badan: berkurang 3,5 kilogram
  4. Detak jantung: dulu 82 per menit, kini 68 per menit
Menurut The American Council on Exercise, sang blogger dulu masuk dalam kategori "cukup". Namun kini, ia masuk dalam kategori "bugar".

Dengan menumpangi isu ini, sang blogger berhasil menarik perhatian banyak orang di internet. Entah apakah kampanye ini pun sebenarnya diam-diam didukung oleh Nintendo atau tidak. Tapi yang jelas, dengan banyaknya traffic dan minat terhadap kampanye ini, kedua pihak (sang entrepreneur dan Nintendo) sama-sama untung.

Sang blogger berhasil mempromosikan situsnya, wiinintendo.net sebagai sumber acuan utama berkaitan konsol tersebut. Sementara Nintendo mendapatkan promosi gratis yang menggoda.

Bagaimana nggak menggoda? Bermain game tiap hari dan menjadi bugar? Godaan besar tuh, bagi isman, eh, iman.

Wednesday, January 17, 2007

Dokter Kandungan, Pemandu Wisata, dan Mahasiswi Teknik Astronomi

Membaca berita bahagia Sonny, saya jadi teringat kagumnya saya akan kemampuan dokter kandungan menjelaskan foto USG kehamilan di bawah dua bulan.

Karena jujur saja, saya tidak tahu sama sekali apa yang dia bicarakan.

"Bapak bisa lihat kan, di sini kepalanya?" tunjuk sang dokter. "Ini badannya. Masih merangkul kaki. Tapi lihat deh, kepalanya miring ke sini. Kayak lagi noleh, ya Pak? Lucunyaaa."

Aku ikut-ikutan semangat menunjuk. "Yang ini? Iya kepalanya lucu sekali."

"Bukan, Pak," geleng sang dokter. "Itu kaki."

"Yang ini?"

"Itu perut."

"Ya, itu pun lucu," angguk saya.

Dokter-dokter kandungan ini akan cocok sekali menjadi pemandu wisata di museum geologi. "Bapak bisa lihat sendiri," ujarnya menunjuk sebuah fosil batu. "Ini kepalanya. Lehernya bergeser dari posisi normal. Bisa jadi ia tewas dalam perkelahian melawan pejantan lainnya."

"Hebat!" seru saya bersemangat. "Kalau yang ini ceritanya bagaimana?" tunjuk saya pada batu lain. "Apa spesies yang hidup di bawah laut? Atau tipe yang bisa menyamarkan warna kulit dengan sekitarnya? Atau bisa me--"

Sang pemandu akan mendehem, "Itu pecahan meteor, Pak."

"Oh," ujar saya. "Ya, itu juga lucu."

Saya curiga kedua tipe profesi ini adalah lulusan Teknik Astronomi. Karena saya pernah mengikuti sesi peneropongan bintang mereka. Saat mereka sudah berbicara akan rasi bintang, semangatnya melebihi seorang maniak mobil membahas aksesoris.

"Man, kau tahu kan, kalau kebanyakan bintang itu letaknya berjuta-juta tahun cahaya dari sini?" tanya seorang teman perempuan.

"Euh, ya?" angguk saya tak yakin. "Seperti pergi dari Kebon Jeruk ke Monas saat jam makan siang, ya?"

"Intinya," ia tak mengindahkan perbandingan saya, "cahaya yang sampai ke bumi adalah kiriman berjuta-juta tahun lalu. Ramalan bintang bukan berbicara tentang masa depan. Tapi masa lalu." Ia mendengus, "Bisa jadi, bintang yang kita lihat itu sebenarnya sudah nggak ada. Meledak. Cuman sinarnya saja yang masih sampai."

"Oh," jentik saya mengerti. "Kadang aku juga masih mencium wangi bakpau, padahal waktu nanya ke tukangnya, ternyata sudah habis. Seperti itu, ya?"

"Itu sih otakmu saja yang terlambat sadar," gerutunya.

"Lah," saya mengangkat bahu. "Sekarang saja aku belum sadar, kita sekarang di sini mau lihat apa, ya?"

Ia melirik ke rekannya yang masih mengutak-atik teropong. "Ya, sementara lihat pake mata telanjang dulu, lah."

Mendengar "telanjang", saya langsung semangat. "Mana? Mana?"

"Di atas, Einstein," tunjuknya tegak lurus dengan bumi.

"Hmm," saya mengamati sambil bersilang tangan. "Nggak ada yang telanjang," ujar saya kemudian.

"Biar kubantu, deh," katanya. Ia menunjuk beberapa titik di atas. "Lihat tiga titik itu, ditambah yang ini dan ini, menjadi seperti layang-layang. Lucu, kan? Dan kalau yang di sebelah sana kauhubungkan dengan ini, ini, ini, ini, ini, ini, ini, dan ini," ia berhenti sebentar untuk mengambil napas. "Jelas sekali seperti Sagittarius yang sedang memanah!"

"Oh, ya! Ya!" seru saya, berbohong. Karena saya hanya melihat angkasa hitam dan hamparan debu-debu berkilau. "Bagaimana dengan yang merah itu!" tunjuk saya kepada titik yang paling jelas bagi saya. "Apa itu rasi Rudolph dengan hidungnya?"

"Pertama, nggak ada rasi bintang Rudolph," ucapnya datar. "Dan itu lampu menara radio."

"Euh, ya, itu juga lucu."

Siapkan Enam Topi Berpikir Sebelum Menulis

Edward de Bono dalam bukunya, "Six Thinking Hats" menawarkan konsep yang praktis dalam bekerja sama secara tim, mengatasi masalah pribadi, maupun berinteraksi secara sosial.

Bagaimana kalau kita coba menerapkannya dalam menulis?

Enam topi berpikir merepresentasikan sudut pandang atau pola pikir berbeda yang sering kita gunakan sehari-hari. Sayangnya, kita seringkali menggunakan topi yang salah dalam situasi tertentu.

Sebagai contoh, seorang wanita mungkin mengeluhkan suatu masalah kepada pasangannya. Sang pasangan ini kemudian memberikan solusi yang logis kepada si wanita. Sayangnya, si wanita malah tersinggung.

Contoh lain, suatu tim kerja mengadakan sesi brainstorming untuk mencari ide kenapa produk mereka mandek di pasaran. Tetapi sesi yang seharusnya penuh dengan gagasan ini pun mentok di satu ide saja. Yang panjang adalah perdebatan dan saling menyalahkan.

Apa yang terjadi? Di contoh pertama, sang pria mengenakan topi biru, yang menganalisis masalah dengan tajam. Namun sang wanita mengenakan topi merah, yang berfokus kepada emosi. Wajar saja jika ia merasa tersinggung saat diberitahu bahwa masalahnya ada dalam dirinya.

Di contoh kedua, topi yang perlu dikenakan adalah topi kuning, yang mengeluarkan ide-ide secara kreatif. Namun, tampak ada yang mengenakan topi hitam, kemudian menyalahkan seseorang yang mengenakan topi merah.

Bagaimana dengan situasi penulisan? Kita ingin menulis flash fiction, tapi idenya tidak muncul-muncul. Kita malah melihat karya orang lain dan tergelitik untuk mengkritiknya. Sama saja. Di sini, kita mengenakan topi biru. Padahal seharusnya topi kuning.

Mengapa topi? Karena topi adalah sesuatu yang bisa kita ganti dengan mudah. Ini adalah visualisasi bagaimana kita dapat mengubah pola pikir kita dengan mudah pula. Tanpa sadar, kita sudah melakukannya. Namun, sering kali kita tidak sadar bahwa topi yang kita kenakan tidak cocok dengan situasi.


Kenali Topi-topi Berikut Ini



1) Topi hitam
Hitam melambangkan logika yang minim emosi. Di sini kita menganalisis dan memproses semua informasi apa adanya. Dan memberikan solusi apa adanya pula. Keunggulan topi hitam adalah dalam situasi yang membutuhkan pemikiran jernih tanpa campur tangan emosi. Namun, topi hitam membutuhkan semua informasi sudah ada untuk mengambil keputusan.

Anda ingin membuat outline novel atau buku nonfiksi? Kenakanlah topi hitam. Anda ingin membuat tabel karakter atau sinopsis plot? Topi hitam.


2) Topi putih
Topi putih melambangkan kertas yang kosong. Dan karena itu, membutuhkan isi. Ia menaruh kita dalam modus mencari informasi sebanyak-banyaknya. Dan informasi ini bersifat fakta, tanpa bumbu. Ini adalah topi yang perlu dikenakan pada masa di mana tidak cukup informasi untuk mengambil keputusan. Topi ini mengendalikan kita agar tidak melompat sembarangan dan mengambil kesimpulan tanpa pikir panjang.

Anda perlu riset? Jangan tunda-tunda lagi. Segera cari topi putih dan bergeraklah. Bingung bagaimana seorang karakter Sunda berinteraksi dengan keluarganya? Kenakan topi putih dan cari teman Anda yang bisa Anda wawancara.


3) Topi merah
Topi merah melambangkan semangat yang membara dan emosi yang menyala. Kenakan topi ini untuk merasakan apa yang diberitahu oleh emosi kita. Jangan terjun dalam situasi yang membutuhkan empati tanpa mengenakan topi ini. Topi merah pun dapat digunakan dalam sesi diskusi, karena insting dan naluri kadang dapat menyampaikan apa yang tidak terlihat di balik fakta.

Anda ingin menyelami kedalaman karakter Anda? Gunakan dulu topi merah. Rasakan apa yang tokoh Anda rasakan. Lempar ia di berbagai situasi penting. Saat sudah mulai mengenalnya, ganti kembali dengan topi hijau dan mulailah menulis.


4) Topi kuning
Topi kuning membuat kita dapat melontarkan ide-ide yang belum terpikirkan saat mengenakan topi lain. Karena topi kuning menolong kita melihat celah-celah solusi yang tidak umum. Bahkan kadang melanggar aturan itu sendiri. Topi kuning mendorong kita untuk sedikit nakal dan naif. Atau kembali menjadi anak-anak yang justru lebih sering menghasilkan solusi cerdas dalam sekejap sambil tertawa-tawa, dibandingkan orang dewasa yang terus mengerutkan kening sampai alis mata mereka bersatu.


5) Topi biru
Topi biru disukai para analis. Ia memudahkan mereka untuk melihat dan menemukan kesalahan dalam suatu hal. Jika ingin mencari tahu apa yang salah dan bagaimana seharusnya yang benar, segeralah kenakan topi ini. Berbeda dengan topi hitam, topi biru jelek dalam hal perencanaan. Ia hanya dapat melihat rencana yang ada, dan memberitahu apa yang salah.

Menulis ulang karya, menyunting kalimat efektif, mencari padanan kata yang lebih tepat--andalkanlah topi biru.


6) Topi hijau
Topi hijau mencerminkan produktivitas. Kenakan topi ini saat kita ingin berfokus kepada melakukan sesuatu, dan bukan membicarakannya. Keputusan apa pun yang dihasilkan saat mengenakan topi hitam tidak akan dijalankan kalau tidak segera menggantinya dengan topi hijau. Jika kita tahu apa yang salah setelah mengenakan topi biru, kita tidak akan melakukan apa pun berkaitan itu tanpa menggantinya dengan topi hijau. Begitu ada keputusan akan apa yang harus dilakukan, langsunglah cari topi hijau.

Saat Anda sudah memiliki bayangan akan apa yang ingin Anda tulis, segera kenakan topi hijau dan mulai menulis. Jangan berhenti dan bertanya, "Apa bagian ini sudah bagus? Apa paragraf ini sudah efektif?" Teruskan hingga selesai.


Bagaimana Aplikasinya dalam Penulisan?


Dalam penulisan kreatif, inilah yang perlu kita lakukan:
  1. Tentukan poin-poin penulisan yang akan Anda lakukan. Misalnya: mengembangkan outline, memunculkan ide, brainstorm, membuat sinopsis, membuat tabel karakter, riset, mulai menulis, lantas menyunting.

  2. Dalam tiap poin, kenali topi apa yang perlu.

  3. Kenakan topi yang sesuai dan mulailah beraksi.

  4. Jika ada kendala, berhenti dan lihat diri sendiri: apakah topi yang dikenakan tidak sesuai? Kalau tidak sesuai, segeralah ganti. Kalau masih sesuai, istirahatlah dulu. Kemudian lanjutkan.

Tuesday, January 16, 2007

Aktivitas Bersama Keluarga #1

Jika Anda adalah bagian dari sebuah keluarga besar, liburan sering kali menjadi perangkap kebosanan. Karena Anda harus mengikuti acara bersama. Dan dengan "bersama" berarti satu ruangan dengan keponakan yang hiperaktif/imajinatif, sepupu penggemar film perang/fantasi, maupun ipar yang maniak permen.

Dave, dalam blog Miss(ed) Manners, memiliki solusinya: menyusun diorama pengepungan Helm's Deep dalam Lord of The Rings: Two Towers, dengan menggunakan permen.


Dengan begitu, Anda dapat menyatukan semua minat tersebut dalam satu aktivitas. Dan bersama-sama menciptakan medan pertempuran yang enak dilihat. (Atau bahkan dimakan.)

Bonus aktivitas: setelah selesai menyusun dan mengambil foto, lakukan hom pim pa. Yang menang berhak menjadi Godzilla dan menyerbu ke kancah peperangan. Ganyang para Uruk-Hai! Dan kunyah Legolas!

Tidak Termasuk Pendidikan Mengeja

Thursday, January 11, 2007

Saat Iklan Mulai Berhipnosis

Sebuah iklan di Kompas tanggal 7 Januari menuliskan berikut ini:

Jika Anda tenaga pengajar yang kami cari, Anda tentunya bersemangat, antusias, senang mengajar dan ingin penghasilan yang stabil dan karir ke depan... Anda akan mengajar siswa dari sekolah favorit dan memberikan unjuk kerja terbaik secara pribadi dan tim. Anda siap untuk menerima tantangan jangka panjang bagi kesuksesan diri Anda sendiri...
Saya sampai harus memeriksa ulang bahwa saya sedang membaca rubrik iklan baris. Bukan artikel pemberdayaan diri (self-help). Penulis iklan ini sepertinya baru membaca buku tentang tulisan yang berdaya hipnosis. Untunglah masih berfokus kepada semangat, yang memang dibutuhkan dalam bidang ajar-mengajar.

Bayangkan saja, bagaimana jika kita menggunakannya untuk iklan jual motor bekas, misalnya?
Jika Anda pembeli yang kami cari, Anda tentunya bersemangat, antusias, memiliki tujuh juta rupiah, dan ingin membeli motor yamaha bekas tahun gak jelas dari seseorang yang butuh uang... Anda akan melihat foto motor di bawah ini dan tidak akan memperhatikan bodinya yang ringsek, rodanya yang kurang satu, dan setangnya yang terpasang terbalik. Anda siap untuk menerima semua itu sebagai tantangan jangka panjang bagi kesuksesan diri Anda sendiri... Kini Anda akan segera pergi ke ATM terdekat dan mentransfernya ke nomor di bawah foto. Setelah itu Anda akan merasa mengantuk... mata Anda terasa berat ... dan saat nanti terbangun, Anda tidak akan ingat akan iklan ini.
Tapi tentu saja hal ini tidak mungkin. Teks tidak akan semudah itu menghipnosis pembacanya, kecuali--lho! Ini motor siapa? Kok ada di kamar saya? Rodanya cuman satu, lagi.

Wednesday, January 10, 2007

[Penulisan Kreatif] Pewaktuan

Salah satu kunci untuk mempelajari penulisan berbagai genre adalah pewaktuan (timing). Genre misteri, misalnya, akan berantakan jika belum juga ketegangan berjalin, pelakunya sudah ketahuan. Bisa jadi malah salah genre.

"Nyonya Tini tewas?" seru Farhan panik. Matanya membelalak. “Siapa yang membunuhnya?”

Menghadapi reaksi temannya, Budi hanya menggaruk-garuk kepala, "Bukannya kamu?"

Farhan tertegun. "Oh, iya, ya," ujarnya sambil menepukkan kepalan ke telapak tangan.
Drama komedi juga sangat mengandalkan kepada pewaktuan. Dalam buku skenario "Arisan", Nia diNATA menjelaskan bahwa ia selalu menaruh adegan menggelitik di saat emosi memuncak. Karena ia tidak ingin adegan menjadi terlalu larut pada kesedihan, yang justru malah kental digunakan dalam sinetron.

Alasan lainnya adalah faktor pewaktuan yang tepat. Di saat emosi sedang memuncak, penonton butuh penyaluran ketegangan (tension relief). Dan dengan menaruh adegan komedi, penonton memiliki cara untuk melepaskan sebagian ketegangan itu, yakni melalui tawa. Ini yang disebut dengan comedy relief.

Sebagai contoh, pada adegan di galeri seni, tokoh Meimei ditemani dua orang kenalan yang sok suci, mengejek kelakuan orang-orang yang menurut mereka "hedon". Ternyata salah satu orang yang diejek tersebut adalah Andien, sahabat lama Meimei. Meimei bertengkar dengan Andien dan kemudian menyeretnya ke dalam WC wanita. Di dalam, pertengkaran semakin menghebat hingga Meimei sangat terpukul oleh kata-kata pedas sahabatnya. Begitu Andien meninggalkan Meimei, ternyata kedua tokoh sok suci tersebut kepergok meninggalkan salah satu ruang toilet sambil membereskan baju.(1)

Jika Anda belum pernah menonton Arisan, bisa jadi bingung: lucunya di mana? Namun saya menyaksikan sendiri bagaimana para penonton bioskop tertawa lepas di adegan ini.

Adegan ini tidak akan mengundang tawa seandainya ditaruh sembarangan. Ditaruh di awal, misalnya, mereka kepergok dulu. Lantas selanjutnya berkomentar mengenai orang-orang hedon. Jadinya bukan komedi, hanya sekadar sinis. Keberhasilan adegan ini mengundang tawa sebagian besar karena faktor tadi: pewaktuan. Saat penonton butuh tertawa untuk melepaskan ketegangan, berilah adegan yang bisa mereka manfaatkan untuk tertawa.

Intinya: pewaktuan adalah pegangan kita untuk mengeksplorasi suatu genre fiksi yang belum kita kuasai. Sebelum kita coba menulis dalam genre tersebut, bacalah karya-karya sealiran. Setelah kita menemukan pewaktuan yang alamiah, barulah coba menulis. Kalau tidak begitu, reaksi yang umumnya muncul adalah, "Ternyata susah ya, nulis cerita komedi/drama/horor/aksi/lainnya."

Bisa jadi itu pertanda kita menganggap remeh genre tersebut.

_______

(1): Sebenarnya sedikit aneh bagaimana dua orang ini bisa masuk ke toilet duluan sebelum Meimei dan temannya. Namun, ini nggak dibahas karena topiknya bukan realitas dalam fiksi (believability).

Saturday, January 06, 2007

Kata Terjahat dalam Dunia Kreativitas...

...adalah "garing". Variasinya antara lain: jayus, basi, kuno, kampungan, pasaran.

"Garing" adalah kata yang digunakan seseorang, saat malas berpikir, untuk merendahkan gagasan (lelucon, puisi, maupun cerita pun gagasan) orang lain dan meninggikan diri sendiri (karena dengan menghujat "garing", sekaligus mengklaim bahwa sang penghujat tidak garing). Alih-alih menjelaskan kenapa suatu ide tidak bekerja/lucu/autentik, kita menggunakan "garing".

Salah dua penyebab garing menjadi pilihan populer adalah waktu dan kebiasaan. Banyak orang Indonesia yang tidak siap jika diminta opini dadakan. Alhasil, yang keluar adalah opini satu kata. "Gimana acaranya?" "Keren!" "Si A gimana orangnya?" "Asik!"

Wajar saja kalau ada yang berusaha melucu dan gagal, komentar orang-orang seperti ini adalah, "Garing!" Biasa satu kata. Seperti kata pepatah, "Alah bisa[nya cuman gitu] karena biasa."

Waktu juga masalah pelik. Saat seseorang berusaha mengejek pria kurus, misalnya, dengan lelucon yang sudah diceritakan beribu-ribu kali, "Badan lu kok kayak papan cucian, sih?" Jawaban harus disampaikan sebelum lima detik. Kalau tidak, percuma. Berhubung tidak biasa, balik lagi ke "Basi!" atau "Garing ah, kreatif dikit kalau ngejek, dong."

Karena itu, sebaiknya kita membuat perjanjian baru. Dalam situasi seperti di atas, daripada menggunakan garing dan kawan-kawan, lebih baik kita bit dulu dan bertukaran nomor telepon. Nanti, saat kita sudah siap, tinggal hubungi nomor tersebut.

"Halo, bisa bicara dengan Johan?"

"Saya sendiri."

"Oke, sebentar." Terdengar suara lipatan kertas dibuka. "Kalau kau pergi ke hutan dan menebang pohon--bukan, bukan ini." Suara tangan menyibak kertas. "Nyonya, Anda terlihat cantik, tapi saya sedang mabuk--halah, bukan juga."

"Mau ngapain sih?"

"Lu kemaren menghina rambut gua?"

"Bukan. Tubuh lu yang kurus."

"Oh, salah kotret kalau gitu. Bisa gua telepon lagi nanti?"

"Silakan."

Kembali pada pembicaraan yang serius, penggunaan kata garing bertanggung jawab atas:
a) Menghalangi kita untuk berpikir dan menemukan jawaban yang lebih cerdas
Orang dalam budaya berbahasa Inggris, secara umum lebih lancar dalam menyusun dan mengucapkan opini. Ambillah contoh seperti para penyanyi rap dan atlet basketball. Mereka sering digeneralisir maupun direndahkan kemampuan intelijensinya. Namun, saat diwawancara, ucapan mereka terunut logis dan jelas. Dari ngalor ngidul sampai saling cerca (thrash talk) lancar.

Menurut saya, ini disebabkan bahasa Inggris tidak mengenal satu kata seperti "garing" yang menjadi guilotin sakti bagi lawan bicara. Kalau ucapan orang lain ngaco, kita perlu mendebat balik. Mengejek balik juga oke asalkan poin dan logikanya jelas. Dengan kata lain, semua orang dituntut untuk berpikir. Sementara dalam budaya berbahasa Indonesia, tidak usah. Cukup katakan, "Garing lu!" Beres.


b) Menghentikan proses diskusi lebih lanjut yang bisa mematangkan ide
Pernahkah Anda menyampaikan satu ide dengan berapi-api? Anda merasa yakin bahwa jika ide ini dilaksanakan seperti bayangan Anda, hasilnya pasti sukses besar. Namun, rekan Anda hanya mengerutkan kening dan berkomentar, "Garing ah. Jangan deh."

Apakah tiba-tiba Anda jadi mendapatkan pencerahan? "Oh astaga! Benar juga. Untung kamu ngomong gitu. Jadi saya tiba-tiba mendapat inspirasi baru. Kita sebaiknya melakukannya begini." Anda pun mengotret ide baru tersebut.

"Nah! Itu baru keren!" sambutnya. Dan kalian pun berjingkrak-jingkrak gembira.

Dalam dongeng saja tidak pernah terjadi.

Kenyataannya, begitu seseorang dalam kelompok memvonis garing, matilah semua energi positif. Keran-keran ide mampet. Tiap orang jadi makin takut untuk mengeluarkan pendapat. "Nanti dibilang garing lagi di depan umum. Malu dong."

Kalau Anda ingin membuat tim kreatif dalam perusahaan, coret kata garing dalam kamus bersama. Bikin SOP kalau perlu: jika ingin mengkritik ide (termasuk lelucon), harus ada alasan dan umpan balik. Kenapa ide itu buruk? Bagaimana agar bisa lebih baik? Dan barangsiapa yang mengucapkan garing harus mentraktir makan siang seluruh anggota tim. Dalam satu sesi saja, bisa jadi jatah sebulan makan siang gratis sudah tersedia.

Kunci utama: lawanlah efek sosial garing. Jika ada orang digaringi di depan publik, jangan diam saja. Dan jika Anda yang digaringi, lawan! Minta kejelasan. Minta contoh nyata kalau si penggaring (orang yang berteriak garing) itu bukan maling teriak maling. Kalau mereka masih ngotot juga, ya sudahlah.

Mereka garing sih. (Lho?)

Friday, January 05, 2007

[Penulisan Kreatif] Apakah Lebih Sedikit Berarti Lebih Banyak?

Pascal, sang filsuf Perancis, pernah menulis: Saya haturkan maaf karena surat ini begitu panjang; [seandainya] saya memiliki waktu lebih lama, [surat ini] akan lebih pendek.

Itu juga yang disampaikan Stephen King dalam "On Writing". Ia memberi kisaran umum bahwa setelah proses penyuntingan, naskah kita seharusnya berkurang sekitar 10%. Ia malah mengimplikasikan bahwa jika tidak, berarti penyuntingan kita buruk.

Benarkah begitu? Setidaknya dunia penerbitan Indonesia belum mengadopsi paham ini. Penyuntingan masih diarahkan kepada konsistensi karakterisasi, situasi, semantik, dan sintaks. Asalkan sesuai, silakan saja mengumbar kata.

Dunia periklanan Indonesia malah terbalik. Slogan yang sering dikumandangkan adalah "Less is more! (More chances to play the ad three times, that is. And to hell with grammars)."

Dunia sinetron? Jawabannya bisa saya rangkum dalam dua kata: Sinetron Hidayah. Kalau memang bagi mereka less is more, sinetron hidayah akan berdurasi hanya sekitar tiga detik. Mereka cukup menayangkan judul, misalnya, "Istri Doyan Chatting Kena Azab." Dan sudah, tamat. Karena semua inti cerita terangkum di situ.

Bagaimana dengan kehidupan sehari-hari? Apakah kita lebih suka mendengar orang yang berbicara panjang lebar sebelum ke inti masalah? Atau orang yang langsung ke inti masalah?

Jawabannya: tergantung bagaimana ia berbicara. Kalau menarik, kita mau-mau saja. Kalau tidak? Selagi seseorang semangat berbicara, bisa jadi yang kita pikirkan adalah, "Lubang hidungnya gede juga, ya?"

Penulisan kreatif pun sama, khususnya masalah penyuntingan. Karena itu, menurut saya, pedoman dari Stephen King perlu dilengkapi:

  1. Bikinlah tulisan menjadi lebih singkat, atau
  2. Bikin jadi lebih menarik
Misalkan, kita ingin menyampaikan dialog superpanjang antara dua tokoh. Tanyakan tiga hal berikut:
  • Kalau dipotong, pengaruh ke cerita nggak?
  • Kalau tidak dipotong, menarik bagi pembaca nggak?
  • Selain dari "sayang kalau dipotong", apakah ada alasan lain kenapa bagian ini harus dipertahankan?
Kalau jawaban untuk ketiganya adalah "tidak", potonglah. Hargai pembaca kita.

Namun itu pendapat saya. Silakan saja berbeda.

Thursday, January 04, 2007

Solusi Buat Pemerintah Kita

Humas terpusat.

Ya, bayangkanlah sebagai satu orang, yang akan kita sebut sebagai Sang Humas. Orang ini seperti desainer fesyen, minus hiperaktivitas, kegemulaian, dan bahasa gaul. Dan satu-satunya yang ia betulkan adalah ucapan para pejabat kita sebelum mereka bicara ke media.

"Alhamdulillah, hanya dua yang meninggal," ujar Menteri Agama.

"Emmm, lebih baik ubah kata-katanya deh, Pak," tukas Sang Humas.

"Puji syukur hanya dua yang meninggal?" tanya Maftuh.

Sang Humas menggeleng tegas. "Lebih baik hilangkan sekaligus satu kalimat itu."

"Kenapa saya bilang Alhamdulillah? Sebab tadi saya pikir hal ini akan menyebabkan banyak korban," jelas Maftuh.

"Pak," Sang Humas menghela napas. "Gimana kalau diam aja? Pura-pura sakit tenggorok atau--nggak, nggak, jangan pake bahasa isyarat. Iya, percaya deh, jari tengah itu bukan isyarat berduka yang baik."

"Kalau 'Korbannya siapa? Siapa yang dirugikan'?" tanya Kabid Penum Mabes Polri Kombes Pol Bambang Kuncoko.

"Gimana dengan '...karena faktor letih dan banyaknya informasi yang diterima, jadi suka salah ngomong'?" tanya Menteri Perhubungan, Hatta Rajasa.

"Terserah, lah," tunduk Sang Humas. "Saya nyerah."

Wednesday, January 03, 2007

Saat Nyamuk Sakau dan Berencana Menguasai Dunia

Setelah bosan menjadi donor darah bagi PNI (Persatuan Nyamuk Indonesia), pagi ini saya memasang obat nyamuk listrik. Dalam waktu sepuluh detik, wanginya mulai menyengat.

Tadinya saya dikelilingi dua nyamuk yang terus-menerus berdengung. (Dalam bahasa nyamuk, mereka sebenarnya berkata, "Pak kasihan, Pak. Belum ngisep darah, Pak. Pak kasihan, Pak...") Namun begitu wangi antinyamuk sudah beraksi, jumlah ini langsung berubah drastis!

Jadi lima.

Dan kelakuan mereka malah mengganas. Terbang akrobatik di depan wajah saya. Hinggap di layar laptop. Dan puncaknya, empat di antara mereka mulai kawin. Apa obat nyamuk ini nggak berefek? Atau malah saking berefeknya, mereka jadi sakau dan menggila?

Bisa jadi memang nyamuk di kantor saya yang sudah berevolusi. Kadang saya merasa mereka lebih pintar dari yang terlihat. Sebagian besar dari mereka sudah bisa melayang tanpa dengung sekarang. Sehingga bisa saja ada rekan kantor yang makan siang di taman. Begitu balik, tiba-tiba dahinya memiliki dua jendol. (Dan ini bukan karena jidatnya nongnong.)

Mereka juga sudah memiliki taktik gerilya. Dua nyamuk akan terbang penuh dengung di dekat kuping kiri. Saat saya akhirnya sebal dan menghujani mereka dengan tepukan--tentunya meleset semua--tahu-tahu, pipi kanan saya gatal dan bentol.

Yang lebih mengerikan: mereka tahu tempat mana yang aman dari serangan. Mereka sudah belajar manuver terbang tipis di monitor. Sehingga kita tidak bisa menampar mereka. Seekor nyamuk bahkan pernah hinggap, dengan cueknya, di atas tombol power laptop. Saya terpecah oleh dua keinginan: membuat si tengil itu penyet atau mengabadikannya dengan kamera?

Jangan-jangan, suatu hari mereka pun akan mulai belajar membenturkan diri ke tuts keyboard secara terorganisir. Dan kita akan bisa menyaksikan blog nyamuk pertama di dun--HAHAHA! KAMI AKAN MENGUASAI DUNIA.