Monday, February 23, 2009

Rumah Sakit, Sumber Tawa #6: Dari Motor

Dari dua minggu sebelum masa perawatan Donna di rumah sakit, ternyata banyak penderita patah tulang. Dari dokter hingga perawat mempertanyakan hal tersebut, "Kok banyak amat sih yang patah tulang? Lagi musim, ya?"

Dan rupanya, sebagian besar pasien ini memiliki tren penyebab yang sama: jatuh dari motor. Sehingga pertanyaannya lebih menjurus, "Patah kenapa? Jatuh dari motor?"

Biasanya saya yang menjawabkan karena Donna terlalu teler untuk berbicara. Saya sampai merasa seperti penyanyi yang hanya punya dua lagu. Lagu pertama berjudul: "Nggak, jatuh dari kursi."

Pasti langsung disambung dengan pertanyaan berikut, "Dari kursi? Lagi ngapain?"

Muncullah lagu kedua: "Lagi benerin booster antena TV."

Diakhiri dengan koor: "Oooooooooh."

Pada hari keempat, saya sudah eneg dan berusaha mempersingkat ritual itu. Seorang perawat bertanya, "Patah kenapa? Jatuh dari motor?"

"Nggak," jawab saya dan langsung menyambung dengan, "ini jatuh saat memperbaiki booster antena TV."

"Dari motor?" tanya sang perawat, keukeuh.

Kalau iya, itu pasti sudah jadi tulisan paling pertama dalam blog saya mengenai peristiwa ini. Saya sampai berpikir, jangan-jangan penyebab para pasien selama ini jatuh dari motornya memang aneh-aneh. Siapa tahu sebelumnya ada orang jalan menggunakan kruk, bersua dengan pasien lain yang tangannya digips.

"Jatuh dari motor? Sambil ngapain?" tanya pengguna kruk.

"Iya, lagi maen bola," jawab yang digips. "Lo jatuh dari motor kenape?"

"Lagi mandi."

"Ah, cemen!" sela seseorang yang menggunakan kursi dorong. "Gue dong, jatuh dari motor pas lagi maen tenis DAN mandi!"

Rumah Sakit, Sumber Tawa #5: Broker Saham

Ada tiga pasien di seberang ranjang Donna. Selain dari DJ Tak Kesampaian yang menempati ranjang tengah, ada juga Broker Saham di ranjang sebelah kanan.

Mengapa saya sebut Broker Saham?

Karena dia terkena demam berdarah dan terus-menerus melaporkan perkembangan trombositnya via ponsel, seakan menginformasikan nilai indeks saham.

Hari pertama: "Trombositku 141! Turun 11 ribu."

Hari kedua: "Sekarang 119 ribu. Nggak begitu drastis sih. Masih normal, lah. Kita lihat besok."

Hari ketiga: "Tuh, kan 111 ribu. Kalau turunnya mengecil gini, paling juga besok sudah mulai naik lagi."

Hari keempat: "Aduh, 89 ribu! Gimana ini!?"

Saya dan Donna sampai tergoda untuk teriak, "Jual semua! Jual semua!"

Thursday, February 19, 2009

Rumah Sakit, Sumber Tawa #4: Semua Berawal dari Ambulans

Sepertinya ini memang nasib Donna menjadi mitra hidup seorang penulis humor: mengalami kejadian aneh-aneh. Bahkan saat awal kecelakaan pun sudah terlihat.

Saya segera pulang ke rumah saat mendapat kabar jatuhnya Donna. Melihat Donna yang tergeletak pasrah, saya juga tidak berani memindahkannya dengan sembarangan. Langsung saya menelepon bagian UGD suatu rumah sakit.

"Tolong kirimkan ambulans ke rumah saya ya, Mbak," ujar saya pada operator.

"Oh, ada keadaan darurat, Pak?" tanya operator.

Saya sempat tergoda untuk jawab, "Nggak, saya suka aja jalan-jalan keliling kota pake sirene." Namun, berhubung diburu waktu, saya jawab apa adanya, "Istri saya jatuh dari kursi. Mungkin tangannya patah. Dan entah apa lagi. Karena itu saya nggak berani mindahin dia sembarangan."

"Baik, Pak." Ia kemudian menanyakan alamat dan nomor telepon. Beres. Atau saya kira begitu. Karena ia kemudian bertanya, "Bapak nggak perlu perawat, kan?"

"Nggak, istri saya perlunya _dirawat_," ketus saya. "Intinya, saya nggak tahu, Mbak, fungsi perawat itu apa," tambah saya, kalau-kalau operator ini nggak ngerti sarkasme. "Pokoknya tolong kirim ambulans bersama orang yang paham cara memindahkan korban kecelakaan tanpa bikin tambah celaka. Ini darurat!"

"Baik, Pak. Silakan tunggu, ya?"

Lima menit berlalu.

Sepuluh menit.

Lima belas menit.

Telepon kembali berdering. Saya mengangkatnya--ternyata operator tadi. "Halo, Pak. Saya ingin konfirmasi. Ambulansnya jadi nggak?"

"Astaga, Mbaaaak," sahut saya. "Emang sering ya, keadaan darurat yang nggak jadi? Kalau ada yang nelepon karena tabrakan mobil, pernah gitu orangnya nelepon balik terus ngomong, 'Aduh, maaf, ternyata tabrakannya nggak jadi. Ambulansnya gak usah, deh.'"

"Euh, berarti jadi ya, Pak?"

Saya mengerang.

Mungkin dalam bahasa operator erangan berarti "ya" karena ia kemudian berkata, "Baik, Pak. Silakan tunggu, ya?"

Selagi menunggu, datanglah dua teman kantor, Yudi dan Mas Naryo. Berkat itu, saya tidak terlalu senewen. Untung juga kali ini tidak ada konfirmasi lagi. Ambulansnya datang, parkir di depan pagar. Dan keluarlah tim lengkap gawat darurat: satu orang pengemudi. Sudah.

Saya setengah berharap orang ini adalah cyborg medik canggih serbabisa. Namun, komentar pertama orang tersebut langsung membuyarkan harapan saya. Ia melihat sekeliling--hanya ada saya, Yudi, dan Mas Naryo, yang sedang berdiri--dan bertanya, "Yang mana pasiennya?"

"Pak, kalau pasiennya bisa berdiri, saya nggak akan panggil ambulans," ucap saya lirih, sambil menahan lolongan putus asa. Saya lantas memandu sang pengemudi ambulans ke tingkat dua, tempat Donna jatuh. Yudi dan Mas Naryo sigap membantu.

Singkat cerita, Donna berhasil dinaikkan ke atas tandu dan kami bawa turun ke lantai dasar. Saat menuju pintu keluar, Donna mendadak teriak, "A! Jangan lupa!"

"Apaan?" jawab saya panik. Lupa apa nih? Bawa duit? Baju ganti? Nitipin anak?

"Bawa buku!" seru Donna. "Nanti di sana bosen. Ambil Black Rose di dalam kamar. Terus Red Lily di depan komputer!"

"Iya deh," angguk saya, sementara Yudi dan Mas Naryo ngakak.

Donna lantas dinaikkan ke dalam ambulans, ditemani saya. Yudi dan Mas Naryo siap mengikuti dengan kendaraan lain. Sang pengemudi menutup pintu belakang ambulans. Ia naik ke kursi pengemudi dan memasang sabuk pengaman. Lantas ia menoleh ke arah kami dan mengucapkan kata-kata yang tidak akan kami lupakan, "Ke mana?"

Pengemudi sebuah ambulans; dari rumah sakit yang saya telepon; karena mitra hidup saya butuh perawatan; menanyakan kami mau "ke mana?"

Saya bisa membayangkan empat jawaban:

  1. "Kita coba puter-puter aja dulu sekeliling komplek, Pak. Kalau argonya udah lima puluh ribu, turun, ya?"

  2. "Terserah Bapak aja, kira-kira tempat makan mana yang enak buat orang yang patah tangan?"

  3. "Oh, sori. Ini ambulans jurusan Stasiun Hall-Sadang Serang bukan?"

  4. "Kalau bisa sih ke masa lalu. Tepatnya satu jam sebelum ini. Saya mau menghalangi diri saya menelepon rumah sakit Bapak."

Rumah Sakit, Sumber Tawa #3

Setelah selesai operasi, saya dan Donna hanya bisa menunggu di kamar dengan bingung. Mengapa? Karena dokter bedah tulangnya sudah keburu mengurus operasi lain, tidak sempat ketemu.

Selama sehari semalam, kami terus dihantui pertanyaan yang tak terjawab. Ini harus dirawat sampai kapan? Terus pengobatan selanjutnya bagaimana? Yang lebih penting lagi: hasil operasinya gimana sih? Beres? Atau jangan-jangan cuman buka tangan terus nengok, "Wah, bener-bener patah, nih. Kirain bercanda. Oke, teman-teman! Jahit lagi!"

Kami pun bertanya pada beberapa perawat, "Dokternya bakal berkunjung kapan, sih, Suster?"

Dengan menakjubkan, jawaban mereka seragam, "Oh, nggak tentu, Pak/Bu. Bisa pagi, siang, sore, atau larut malam. Tergantung yang membutuhkan sih."

Saya dan Donna hanya bisa bertanya dalam hati; ini dokter atau superhero, sih? Dan "larut malam"? Saya nggak yakin Donna mau tirai biliknya tiba-tiba disingkap pada jam dua dini hari oleh dokter yang berseru lantang, "Ada yang butuh bantuan?"

Dia pasti akan berseru balik, "Saya butuhnya ISTIRAHAAAT!"

Untunglah tirai tersebut tiba-tiba disingkap sang dokter pada sore hari Rabu (18 Februari) sehingga masih kami sambut dengan suka cita. "Oke," ujar sang dokter. "Kita lihat hasil foto dan tes pada hari Kamis. Kalau sudah bagus, Jumat bisa pulang."

Saya dan Donna saling memandang senang. Akhirnya, kepastian! Saya bertanya, "Kamis jam berap--?" Dan kami sadar dokternya sudah keluar ruangan. Untunglah masih ada perawat. "Suster, Kamis besok dokternya bakal periksa hasil tes jam berapa?"

Susternya menjawab tanpa ragu, "Bisa pagi, siang, sore, atau larut malam."

Deja vu.

Rumah Sakit, Sumber Tawa #2

Kamar inap Donna memuat maksimal lima pasien. Dan sering kali kehadiran mereka mendukung proses pemulihan dengan cara tersendiri. Pada hari pertama, perawat berkata, "Malem ini puasa, ya, Bu? Enam jam lagi operasi."

"Nggak masalah, Suster," jawab Donna. "Emang nggak nafsu makan kok."

"Kenapa?" tanya perawat khawatir.

Pas di bilik sebelah terdengar pasien muntah-muntah. Berkali-kali.

Sang perawat tidak menunggu jawaban. Hanya mengangguk mengerti.

Sementara itu, pasien di ranjang seberang tampak memiliki cita-cita terpendam sebagai DJ. Ia menyetel MP3 player keras-keras dengan pilihan lagu-lagu dari Kangen Band dan sejenisnya. Dampaknya sangat positif. Minimal Donna terdorong untuk kangen kesunyian. Ia semakin semangat untuk sembuh dan keluar dari ruang itu.

Pada hari Kamis (19 Februari), mendadak pilihan lagu Sang Pasien Seberang berubah; dari Coldplay hingga REM. Walau masih mengganggu, minimal tidak menggoda untuk melempar infus. Seorang perawat lantas masuk ke bilik Donna untuk menyuntikkan antibiotik ke dalam selang infus. Antibiotik ini memang jenis yang perih sehingga Donna sampai meringis kesakitan.

Bersamaan dengan itu, berkumandanglah satu lagu REM dari ranjang seberang, "Everybody hurts... sometimes..."

Rumah Sakit, Sumber Tawa #1

Mitra hidup saya, Donna, jatuh dari kursi saat berusaha membetulkan booster antena TV. Saya menelepon ambulans untuk membawanya ke UGD RS Borromeus. Hasil diagnosis dan foto X-ray menunjukkan tangan kanan Donna patah. Kami pun menunggu kehadiran dokter bedah tulang untuk penindakan lebih lanjut.

Saat menunggu, datang pasien gawat darurat lain di bilik sebelah kami. Dari percakapan antara dia dan dokter jaga, terdengar bahwa kasusnya serupa.

"Kenapa?" tanya dokter jaga.

"Ini, kaki saya kenapa-kenapa. Jadi nggak bisa berdiri. Kayaknya karena jatuh."

Dokternya terdiam sebentar. Mungkin dia berpikiran sama seperti kami; nggak bisa berdiri kok datang ke UGD-nya sendirian? "Oh... jatuhnya kapan?"

"Minggu lalu," jawab sang pasien kalem.

Kalau Donna nggak patah tangan, mungkin dia sudah menepok jidat.