Monday, February 26, 2007

Panduan Menjadi Suami Pejuang Pendukung Persalinan (SP3)

Langkah pertama: siapkan obat penahan sakit. Untuk Anda, bukan untuk istri.

Pada Sabtu pagi, istri saya, Donna, mengatakan bahwa ia yakin hari itu akan melahirkan. Saya langsung percaya. Karena pertama: kami sudah berpengalaman dari proses kelahiran pertama. Kedua, hubungan batin kami pun sudah begitu dekat. Dan ketiga, karena saat terakhir kali kontraksi, ia mencengkram lengan kiri saya hingga mati rasa.

Jika di rumah sakit bersalin ada ruang tunggu khusus para suami, bisa jadi kami sudah saling pamer luka perang. ”Ini dari kelahiran anak kedua,” ujar seorang suami menunjukkan memar di bahu kanannya. Seorang pria lain tak mau kalah. ”Kalau ini, baru saja dari yang ketiga tadi siang,” tunjuknya pada bekas cakaran di punggung. ”Ini yang pertama,” ujar seorang pria lesu, menunjukkan gusinya yang ompong.

”Apa yang terjadi?” tanya semuanya.

Ia mendesah, ”Di ruang bersalin, aku bertanya kepada istriku, ’Sakit, ya?’”

"Uuuuuugghhh," semua suami langsung mengernyit bersamaan. Karena kami tahu bahwa itu adalah kesalahan besar. Menanyakan ”Sakit, ya?” kepada istri yang sedang bersalin itu sama cari masalahnya dengan bertanya ”Lapar nggak?” kepada segerombolan kanibal.

Langkah kedua: pilihlah tempat persalinan yang sesuai dengan Anda.

Jujur saja, kami adalah tipe pasangan yang pemalas. Karena itu, kami mencari rumah sakit bersalin (RSB) yang sebaliknya: penuh hidup dan energi. Rumah sakit bersalin yang kami pilih dipenuhi personil seperti itu. Salah seorangnya bahkan berteriak dalam memberikan arahan dan dukungan, ”Ya, terus. Terus! TERUS! Bisa, kok. Bisa! BISA! TERUS! TERUS! YA! Tahan! TAHAN!”

Dan ini baru penjaga parkirnya.

Belajar dari pengalaman persalinan anak pertama, kami juga memastikan dua hal penting: Pertama, saya diperbolehkan mendampingi Donna dari awal hingga akhir--menyaksikan proses berpercikan keringat, darah, dan ketuban. Kedua, jika terjatuh pingsan, seseorang bisa mengangkat dan menggerakkan tubuh saya seakan-akan saya masih sadar. (Kemampuan untuk bisa menirukan suara saya adalah nilai plus.)

Langkah ketiga: jika Anda masih sadar, temani istri Anda hingga bisa keluar tempat persalinan. Jika ternyata pingsan, bersyukurlah Anda menyiapkan langkah kesatu.

Kami sendiri memilih kamar yang boleh ditempati oleh suami selama 24 jam, tanpa harus sembunyi setiap kali perawat masuk. Kami beruntung mendapatkan kamar yang dilengkapi lemari pakaian, tempat cuci tangan, dan tempat tidur dengan alat pengendali sendiri. Saya tidak bercanda. Tombol-tombol alat pengendali ini mengubah tinggi dan kemiringan tempat tidur. Seperti kursi dokter gigi. Bedanya, kita sebagai orang dewasa mengubah-ubah posisi tempat tidur agar tidak terasa menyiksa. Sementara dokter gigi mengubah-ubah kursi agar kita—ketika masih kanak-kanak—tidak sadar bahwa sebentar lagi akan disiksa.

Namun ternyata di hari kedua, kami dipindahkan ke kamar lain. Tidak terlalu buruk. Hanya tidak ada lemari. Pengatur tempat tidur kini menggunakan engkol yang terakhir kali diminyaki tahun 1956. Setiap kali menurunkan atau menaikkan tempat tidur untuk istri saya, gantian saya yang perlu berbaring. Lantas, setiap kali menyalakan lampu kamar mandi, kipas penghisap debunya berbunyi seperti mesin truk. Saya sampai menunggu setengah jam dulu sebelum menggunakan toilet. Saya khawatir begitu duduk, toiletnya terbang.

Namun, itu tidak menghalangi tekad saya untuk menemani istri hingga akhir. Kepercayaan Donna pada tekad tersebut pun terpancar pada kata-katanya, ”Kalau kau berani meninggalkanku tidur di kamar ini sendirian, pispot ini akan melayang.”

Saya pun mengangguk terharu. Karena pispot itu terbuat dari logam. Jika kita mengangkat maupun menaruhnya sembarangan, suara dentingnya bisa terdengar dari luar. Bentuknya juga seperti tuba yang digeleng stoomwals. Mungkin bekas para suami yang di ruang bersalin bertanya kepada istrinya, "Sakit, ya?"

Ingatlah untuk menyembunyikan pispot ini di tempat yang mudah terjangkau.

Rumah sakit bersalin sendiri memiliki kebijakan yang aneh tentang istirahat setelah melahirkan. Mereka menganjurkan sang ibu agar banyak beristirahat. Tapi begitu Donna akhirnya berhasil tidur, tiga puluh menit kemudian ada perawat yang masuk membawakan makanan. Setelah itu membawakan bayi untuk disusui. Lantas cek suhu dan tekanan jantung. Waktu kunjungan--para kerabat muncul dan memberi saran orisinal seperti, ”Banyak istirahat, ya?” Padahal, mereka sendiri yang asik mengajak ngobrol hingga empat jam.

Waktu makan lagi. Susui bayi. Pemeriksaan oleh dokter kandungan. Pegawai yang menyapu dan mengepel lantai. Dokter anak. Waktu kunjungan lagi, dan mereka kembali! ”Tuh, kan kelihatan capek. Kan udah dibilangin, harus banyak istirahat?”

Jawablah dengan senyum. Dan keluarkan pispot logam tadi.

Thursday, February 22, 2007

Mengapa Para Calon Ayah Sebaiknya tidak Bisa Berbicara Lewat Perut

Karena kami akan merusak semua momen penting.

Tadi siang, saya menemani Donna memeriksakan kehamilannya. Asisten dokter menempelkan ultrasound scanner ke perut Donna untuk mencari detak jantung bayi. Terdengarlah suara statik keresek keresek seperti sound system panggung. Dalam hati, saya langsung berharap saya adalah seorang ventriloquist, hingga bisa menirukan suara orang berbicara di mik, "Tes. Tes satu, dua, tiga. Tes." Dan terdengar seakan-akan keluar dari speaker-nya langsung.

Kalau itu gagal membuat asistennya melotot, lain kali saya akan mencoba menirukan:
a) Suara Bugs Bunny, "Ehhh... what's up, doc?"
b) Nyanyian Sound of Music, "...La--a note to follow So!"
c) Suara panggilan radio dari astronot, "Houston, we have a problem."

Bagaimana saat proses kelahiran? Tidak ada yang lebih mengharukan daripada saat kita menyaksikan dokter/bidan mengangkat bayi yang masih merah, lantas membuat sang bayi seakan-akan berteriak seperti Mel Gibson pada adegan klimaks Braveheart, "Freeeeedooooooooom!"

Saya tidak heran kalau besok-besoknya ada foto saya tertempel di seluruh rumah sakit bersalin Bandung, dengan tulisan "Enyah!"

Friday, February 02, 2007

Pojok Tanya Jawab: Bagaimana Menjadi Desainer Freelance Cover Buku

Tanya (T): Kalau desainer cover buku itu pegawai tetap penerbit atau tenaga lepas?
Jawab (J): Tergantung penerbitnya. Ada yang mempekerjakan desainer khusus untuk seluruh perwajahan muka. Ada yang menggunakan jasa desainer freelance. Ada yang mengombinasikan keduanya.

T: Wah, kalau gitu aku tertarik untuk jadi desainer freelance untuk buku. Gimana caranya ya merintis ke arah situ?
J: Sama seperti pekerjaan kreatif pada umumnya. Pertama, bikin portofolio. Kedua, sampaikan surat penawaran kerja sama ke penerbit yang kamu tuju.

T: Surat penawaran kerja sama? Maksudnya surat lamaran?
J: Surat lamaran kerja itu kalau kamu ingin jadi pegawai tetap di satu perusahaan. Tapi kan kamu maunya freelance. Jadi kamu hanya menawarkan kerja sama dalam pengerjaan desain grafis berkaitan buku.

T: Apakah saya perlu menuliskan fee saya untuk tiap proyek desain?
J: Terserah pendekatan kamu. Kalau kamu memang sudah memiliki standar sendiri, ya silakan saja cantumkan. Misalnya untuk satu desain cover, waktu pengerjaannya berapa dan biayanya berapa. Untuk ilustrasi buku anak, berapa. Dan seterusnya. Tapi ingat: penerbit besar biasanya sudah memiliki anggaran sendiri untuk pengerjaan cover. Jika ajuan biaya kamu terlalu besar dari anggaran mereka, kemungkinan besar mereka tidak akan tertarik. Dan kalau ajuan biaya kamu jauh lebih rendah dari anggaran, kamu juga yang rugi tentunya. Jika ingin mencantumkan biaya, ingatlah untuk menuliskan keterangan bahwa standar tersebut masih terbuka untuk negosiasi.

T: Portofolio seperti apa yang perlu aku susun?
J: Kalau kamu ingin bekerja sama dalam hal desain cover buku, susunlah portofolio yang menjual kemampuan dalam segi itu. Kalau ilustrasi, sesuaikan juga portofolionya.

T: Lah, aku kan baru mau terjun ke industrinya. Belum ada portofolio yang nyambung. Gimana dong?
J: Salah satu pendekatan yang bisa menarik perhatian adalah dengan mendesain ulang cover beberapa buku penerbit bersangkutan. Kalau ingin menawarkan ke Mizan, desain ulang buku-buku mereka. Ke Gramedia Pustaka Utama (GPU), ya cari judul-judul buku mereka. Lihat saja blog Kementerian Desain Republik Indonesia. Pemilik blognya, Wahyu Aditya, menarik perhatian banyak pengunjung dengan berani mendesain ulang berbagai logo.

Syarat yang seharusnya sudah jelas: desain alternatif kamu harus lebih menjual dari yang sudah ada. Untuk tiap desain, lampirkan juga satu halaman penjelasan kenapa kamu membuat desain seperti itu. Tunjukkan bahwa kamu kompeten dan mengerti industri perbukuan.


T: Oke, berarti kalau misalnya aku ingin kerja sama dengan GPU, aku coba ajukan desain alternatif buku Life Begins at Fatty?
J: Whoa, hati-hati. Life Begins at Fatty itu terbitan Grasindo. GPU, Grasindo, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), dan Bhuana Ilmu Populer (BIP) adalah penerbit yang berbeda. Walaupun berada di bawah satu payung, tetap saja manajemennya berbeda. Lihat baik-baik nama penerbitnya di ujung kiri bawah sampul belakang buku.

T: Oke, oke, kalau gitu untuk GPU, aku pilih novel grafis V for Vendetta, gimana?
J: V for Vendetta? Kalau kamu begitu percaya diri untuk merancang ulang cover buatan Alan Moore, silakan saja. Saranku sih cari judul lokal saja. Kalaupun mau mendesain ulang cover buku terjemahan, cari tahu seperti apa cover aslinya dengan Google Image. Kalau memang itu cover aslinya dari penerbit asli, jangan. Kalau berbeda, baru desain ulang.

T: Berapa banyak desain yang perlu kutampilkan dalam portofolioku?
J: Yang penting bukan totalnya. Tapi ragamnya. Penerbit perlu melihat ruang lingkup kompetensi kamu seperti apa. Dan mereka perlu yakin apakah desain kamu sesuai dengan lini buku mereka. Jadi, untuk penerbit yang ragam bukunya luas seperti GPU, ambil beberapa jenis buku berbeda: bisa satu buku anak, satu judul teenlit, satu judul chicklit (atau metropop kalau menawarkannya ke GPU), satu novel sastra atau kumpulan puisi, dan dua buku nonfiksi. Di sisi lain, untuk penerbit seperti Tiga Serangkai, cukup ambil beberapa judul buku Islam, buku populer, dan buku pendidikan.

Thursday, February 01, 2007

Jangan Jadi Orisinal, Jadilah Otentik

Masih dalam acara Ngobrol Seru (tapi Santai), Luna menyampaikan bahwa ada dua macam penulis. Pertama, adalah yang hanya mau menulis ide-ide hebat. Sebelum ia merasa suatu ide itu benar-benar unik ia tidak akan mau menuliskannya. Begitu terbit, karyanya bisa jadi fenomenal dan menginspirasi banyak orang. Namun, butuh waktu lama sebelum ia kembali berkarya. Bisa jadi sampai sepuluh tahun sekali.

Yang kedua menulis begitu memiliki suatu ide yang cocok. Karena itu, begitu terbit, karyanya tidak sefenomenal tipe pertama. Namun, ia produktif. Dalam setahun, bisa empat buku yang ia hasilkan.

Tipe penulis seperti apakah Anda?

Donna mengajukan dirinya sebagai contoh tipe kedua. Baginya, yang penting adalah menyampaikan pesan kepada sasaran pembaca. Karena itu, ia tidak mencari ide yang fenomenal. Yang ia angkat adalah keseharian. Dan justru cerita keseharian itu yang bisa lebih mengena sasaran pembacanya (mayoritas pembaca remaja).

Isman menambahkan, bahwa kalaupun kita memilih sebagai tipe pertama, tetaplah berkarya. Minimal untuk diri sendiri. Atau kalangan terbatas. Karena dalam penulisan kreatif, ide bagus hanya muncul di antara ide-ide buruk. Dalam sepuluh ide, mungkin hanya satu yang benar-benar bagus. Tetapi, tanpa mewujudkan sembilan ide sebelumnya, ide kesepuluh yang bagus itu tidak akan muncul.

Luna menyetujui dengan mengingatkan pepatah Inggris, "There's nothing new under the sun." Ide sendiri tidak ada yang benar-benar orisinal sekarang. Jadi jangan terlalu ngotot untuk mencari ide yang orisinal.

Ada sisi lain dari pepatah itu, tambah Isman. Ide-ide hebat sekarang sebenarnya merupakan pengolahan dari ide-ide hebat sebelumnya. Bahkan konsep segar atau baru sendiri merupakan perbandingan dengan ide sebelumnya. Ide segar menggunakan pendekatan yang relatif berbeda dengan gagasan pada umumnya. "Itulah yang perlu kita arah," ucap Isman. "Pendekatan yang segar dan otentik. Jangan terlalu terpaku untuk mencari ide orisinal, tapi bikinlah ide itu menjadi khas kita. Otentik."

Donna mengajukan contoh, "Banyak cerita yang mengeksploitasi jeleknya hubungan keluarga. Karena itu, saya malah melakukan sebaliknya. Dalam Quarter Life Fear, Saya membuat hubungan antara tokoh utama dengan orangtuanya sangat dekat. Bahkan saking dekatnya, tak jarang sang tokoh utama merasa sesak sendiri saat butuh privasi. Dan di situlah muncul konflik." Banyak pembaca yang menyukai tokoh Mama Belinda ini, menurut Donna. "Sampai pada ngirim e-mail, bilang pengin punya ibu seperti itu," gelak Donna. "Dan ada juga yang berkomentar, 'Wah, ini kayak Mama gue banget!'"

Isman menyodorkan contoh lain dari buku nonfiksinya, Bertanya atau Mati, "Pernah memerhatikan kebiasaan orang untuk bilang, 'Kapan nyusul'?" tanyanya. Saat orang lain wisuda: Kapan nyusul? Saat ada yang menikah: Kapan nyusul? Saat ada teman yang melahirkan: Kapan nyusul? "Saya coba menawarkan pandangan yang berbeda: kenapa buru-buru sih?" ujar Isman. "Gimana kalau saya ngunjungin rumah duka? Apa nanti saya ditodong juga: Kapan nyusul? Dengan penggambaran itu, saya menyampaikan pendapat bahwa hidup itu bukan perlombaan. Nyante aja. Masing-masing ada waktunya sendiri."

Jadilah otentik. Cari pendekatan yang segar, bukan ide baru. Dan temukanlah pendekatan itu dengan terus berkarya.