Monday, July 06, 2009

Coraline: Novel Grafis yang Mengadaptasi Karya Neil Gaiman

Mengapa film horor Asia (Jepang, Thailand, bahkan Indonesia) sering menggambarkan hantu perempuan berambut panjang dengan gaun putih? Karena itu merupakan bagian dari stereotip kecantikan.

Dengan menggunakan stereotip kecantikan dalam pakem horor, penonton akan lebih terganggu. Kita jadi bingung saat batas antara menyenangkan dan menyeramkan terlanggar. Otak kita memaksa kita untuk menjauhkan diri dari apa pun yang kita lihat. Tapi setelah menghindar, kita malah merasa kehilangan; tertarik melihat lagi.

Itu juga sebabnya ketakutan-ketakutan masa kecil (atau besar) kita biasanya merupakan pelanggaran antara batas tersebut. Ketakutan masa kecil saya, misalnya, adalah menemukan Drakula boker di kamar mandi. Tidak terbang mengancam. Tidak lari mengejar. Tapi duduk santai sambil baca koran dan meminta saya menutup pintu.

Justru itu yang membuat saya ketakutan setengah mati. Karena batas antara kehidupan biasa dan tidak biasa menjadi kabur.


Kesederhanaan yang Merindingkan Bulu Kuduk

Coraline adalah karya seperti itu. Bukan karena memuat Drakula boker. Melainkan karena mengunyah batas antara menyenangkan dan menyeramkan, lantas meludahkannya sembarangan.

Tokoh utamanya adalah anak sebelas tahun, yang entah bagaimana, masih memiliki pikiran seterbuka bocah usia lima tahun.

Ya, bocah usia lima tahun--karena ia bisa menerima banyak keanehan tanpa panik. Sebagai contoh, saat ia menemukan sisi dunia lain di apartemennya, ia menemukan para "orangtua yang lain" yang mirip dengan orangtuanya. Bedanya, gigi ibunya tidak sepanjang itu. Jari dan kukunya tidak setajam itu... yang tentunya menyulitkan dalam melakukan beberapa hal tertentu.



Sori, bercanda. Itu nggak terjadi di novel grafisnya. Yang paling mencolok bagi Coraline: mata ibu yang ini terbuat dari kancing.

Kalau saya mendadak menemukan ibu yang lain seperti itu, bisa jadi saya pingsan berdiri. Sementara Coraline? Bukan hanya tenang. Ia ikut makan siang dengan mereka. Dan ia menikmatinya dengan lahap.

Ia bahkan tetap tenang saat disuruh bermain bersama barisan tikus bergigi tajam yang bisa bicara dan--dengan sangat horornya...



... menyanyikan lagu Kangen Band!

Maaf, saya nggak bisa menahan diri. Kembali serius, mereka menyanyikan lirik seperti, "Kami di sini sebelum engkau jatuh, dan kami akan di sini saat engkau bangun." Tidak ada lirik eksplisit yang mengancam akan membunuh atau mencincang kita. Justru karena itu, begitu mengganggu.


Harapan Neil Gaiman?

Anak sebelas tahun biasanya sudah terpolusi oleh dunia nyata. Atau lebih parah: oleh orangtua. Sehingga mereka tidak lagi berpikir kemungkinan. Hanya apa yang biasa. Semua yang tidak biasa tidak mungkin ada.

Mungkin Coraline merupakan harapan penulisnya sendiri, Neil Gaiman. Bahwa anak usia sebelas tahun sebaiknya tetap seperti itu: seorang perambah dan penjelajah. Tidak perlu harus punya cita-cita yang akan bagus kalau diceritakan di depan kelas. Tidak perlu sudah bisa hapal semua tabel perkalian hingga tiga digit. Dan tidak perlu bisa memberi kesimpulan yang penuh logika untuk bertindak. Sebagaimana jawaban Coraline saat dipertanyakan oleh sang Kucing mengapa ia berkeras mau menolong orangtuanya padahal ia takut: "Karena mereka orangtuaku."

Rambah. Jelajah. Tetaplah jadi anak-anak.


Penceritaan Visual yang Mengalir

Keuntungan sebuah novel grafis adalah visualisasi. Dan penggambaran Philip Craig Russell sangat mendukung nuansa ini. Paduan warna-warni cerah menemani perang antara cahaya dan ketiadaannya. Penggambaran dunia yang lain tanpa berlebihan; membuat seakan-akan wajar saja kalau anjing kelurahan sebelah bersayap dan suka nonton pertunjukan vaudeville. Coraline bukan kerja sama pertamanya dengan Gaiman, melainkan kelima. Ia sudah paham apa yang ingin disampaikan Neil. Bahkan begitu muncul ide adaptasi Coraline dalam bentuk novel grafis, Neil sendiri yang langsung meminta Russell untuk melakukannya.

Keakraban Neil Gaiman sendiri dengan format novel dan komik juga membantu kelancaran adaptasi ini. Gaya Narasi Neil memang visual, memudahkan kita untuk membayangkan. Ia paham bahwa kekuatan visualisasilah yang mampu membuat kita merinding tiada tara. Pertama-tama, Gaiman memunculkan citra kuat seorang ibu dalam benak kita; pelindung, penyayang, dan tegas. Lantas menghancurkannya dengan citra jari panjang berkuku tajam dan mata kancing; menunjukkan identitas aslinya...


...sebagai Mbah Surip.

Oke, serius, tadi itu bercanda terakhir. Sebagai makhluk yang justru kebalikannya dari seorang pelindung dan penyayang.


Kurangnya Ketelitian Penyunting

Yang saya sayangkan adalah kurangnya ketelitian penyunting. Dari sampul saja sudah terlihat bahwa penerjemah dan penyunting tidak sadar bahwa Harvey Award dan Eisner Award adalah dua penghargaan berbeda; bukan satu penghargaan dengan nama "Harvey and Eisner".

Itu mungkin tampak seperti hal yang remeh. Namun bagi saya fatal. Konteksnya jadi keliru. Hal seperti ini terjadi beberapa kali dalam Coraline versi Indonesia terbitan M&C ini. Kabar baiknya: pembaca seperti saya jumlahnya sama seperti pengemudi motor yang tidak menyelip-nyelip di antara kepadatan mobil. Suara kami tidak akan terdengar; kalah jauh dibandingkan mayoritas.


Pertanyaan Penting: Karya Ini Untuk Dibaca Siapa?

Neil Gaiman menulis novel aslinya untuk pembaca anak-anak. Dalam situsnya, Neil berkata bahwa ia membacakan Coraline untuk anaknya, Maddy, pada saat usianya enam tahun.

Ini bukan berarti Coraline hanya untuk anak-anak. Seperti yang dikatakan Agung dalam resensinya, "...para orangtua yang berpendapat sebuah komik anak-anak nggak akan mungkin berhasil menakut-nakuti diri mereka yang gagah perkasa, jangan menyesal kalo belakangan harus bangunin anak untuk minta ditemenin pipis."

Pendapat ini diperkuat Holly, anak Neil Gaiman sendiri. Ia membaca Coraline saat berusia enam belas tahun. Khawatir, Neil berkata, "Semoga kamu nggak terlalu tua untuk [bacaan] itu." Holly menjawab, "Aku rasa tidak akan ada yang terlalu tua untuk membaca Coraline."

Bagi yang masih penasaran, situs HarperCollins menyediakan pratinjau empat puluh halaman awal Coraline (tentunya versi Inggris). Namun, kalau sudah terpikat tanpa itu, langsung saja cari versi Indonesianya di toko-toko buku. Dengan lima puluh lima ribu saja, Anda bisa punya alasan untuk mempererat hubungan kekeluargaan... dengan pergi pipis malam bareng-bareng.

Thursday, June 25, 2009

Parodi Tokusatsu (dalam Lima Menit)

Menanggapi tulisan Super Rangers dalam Lima Menit, sejumlah pembaca berkomentar, "Bukannya tayangan tokusatsu sendiri emang aslinya ancur, Man?"

Jawaban saya: betul. Tapi setidaknya mereka niat dalam membuat cerita yang ancur. Bahkan kostum yang ancur pun konsisten. Memang diniatkan. Bukan karena minim kepedulian.

Untuk menunjukkan betapa niatnya acara tokusatsu untuk bikin tayangan yang ancur, saya akan menulis ulang sebuah skenario parodi tokusatsu yang saya tulis sepuluh tahun lalu.

Bagi pembaca awam yang belum tercerahkan, Spaced-out Gyuvan adalah parodi dari Space Cop Gaban dan Arga 0815 adalah parodi dari Saras 008 yang disponsori oleh Indosat ketika para eksekutifnya entah sedang mabok apa.




SPACED-OUT GYUVAN VS ARGA 0815


EXT. DAERAH ANTAH BERANTAH YANG BANYAK TEBING DAN BATU - SIANG HARI

Seorang CEWEK tampak berlari-lari ketakutan, sesekali melihat ke belakang, ke arah pengejarnya.

CEWEK:
(berteriak)
Tasuketeeee!

Yang dalam bahasa Indonesia artinya: toloooong! Berhubung latarnya antah berantah, mendadak terasa wajar sekali jika para tokoh dalam cerita ini bisa bahasa Jepang campur Indonesia dan Inggris.

SPACED-OUT GYUVAN tampak duduk di atas batu, bersilang kaki, sudah dalam baju tempur. CEWEK lewat di depan GYUVAN, melintas kamera.

CEWEK (O.S.) (CONT'D):
(berteriak)
Tasuketeeee!

SPACED-OUT GYUVAN masih termenung. CEWEK kembali ke samping SPACED-OUT GYUVAN.

CEWEK (CONT'D):
Woi, tasukete, oi!
(menendang GYUVAN)

SPACED-OUT GYUVAN:
(baru nyadar)
Hah?

Mendadak muncullah MONSTER.

MONSTER:
(suara seram)
Aaaku mooonster!

SPACED-OUT GYUVAN:
(mengajak salaman)
Gyuvan.

MONSTER dan SPACED-OUT GYUVAN bersalaman.

SPACED-OUT GYUVAN (CONT'D):
Ada apa, ya?

MONSTER:
(berubah sopan)
Nggak, ini... aduh, permisi yah. Tapi aku kan lagi ngejar cewek nih, teru--HEY!
(baru nyadar)
Gua MONSTER, geblek!

SPACED-OUT GYUVAN:
Lho, yang bilang bukan, siapa?

Seakan menjawab, datanglah JENDERAL MUSUH bersama PARA PRAJURIT MUSUH figuran.

JENDERAL MUSUH:
HAHAHAHA! Jadi kamu ingin menghalangi kami, Spaced-Out Gyuvan?

PARA PRAJURIT MUSUH:
Ki! Ki! Ki! [terjemahan bebas: Ya! Ya! Ya!]

GYUVAN:
Euh, pilihannya apa aja?

JENDERAL MUSUH:
A) "Tentu saja, saya adalah pejuang keadilan!"
B) "Tapi hari ini sedang libur."
C) "TIADA LIBUR BAGI PERJUANGAN MENENTANG KEJAHATAN!"
D) "Kecuali kalau long weekend."

GYUVAN:
Oke, lelucon Who Wants to Be a Millionaire udah basi nih. Jadi kita perlu cara lain untuk mengalihkan situasi.

Mendadak terdengar suara angklung dari kejauhan memainkan satu lagu Beethoven. Semuanya langsung mencari-cari sumber suara, bukan karena kaget, melainkan karena ingin memberi tahu pemainnya, kalau di dunia nyata tidak mungkin bisa memainkan lagu Beethoven yang mana pun cuman dengan menggunakan satu angklung.

Tampak SATU BAYANGAN JAUH DI ATAS TEBING bergerak seperti meneriakkan sesuatu. Tapi karena terlalu jauh, tidak terdengar jelas.

JENDERAL MUSUH:
Ee?
(menunjuk ke BAYANGAN)
Omae ha dare da? [terjemahan bebas: Siapa kamu?]

PRAJURIT MUSUH:
Ki! Ki! Ki! [terjemahan bebas: Dare da! Dare da! Dare da!]

SATU BAYANGAN JAUH DI ATAS TEBING kembali meneriakkan sesuatu. Masih tak jelas.

JENDERAL MUSUH:
(masih menunjuk)
OMAE HA DARE DA!?

PRAJURIT MUSUH:
KI! KI! KI! [terjemahan bebas: DARE DA! DARE DA! DARE DA!]

SATU BAYANGAN JAUH DI ATAS TEBING lagi-lagi meneriakkan sesuatu yang tak jelas.

JENDERAL MUSUH:
Ah, udah lah, lupakan. Nggak kedengeran sama sekali.
(membalik ke GYUVAN)
Hahaha, jadi kamu ingin menghalangi kami, Spac--

SATU BAYANGAN JAUH DI ATAS TEBING PAKAI MEGAPHONE:
Cek, cek, satu dua tiga. OIII! TUNGGU GUA TURUUN!

CUT TO:

Situasi di atas tebing, memperlihatkan seorang PEMUDA kurus dengan jaket merah, tas pinggang hijau, dan cambang panjang yang berkibar ditiup beberapa pemuda lain di luar pandangan kamera--mereka dibayar khusus untuk itu, karena kebetulan di sana tidak berangin dan biaya SDM di Indonesia jauh lebih murah daripada teknologi kipas angin.

BGM: suara angklung masih mengalun di latar belakang.

PEMUDA menoleh ke PEMAIN ANGKLUNG.

PEMUDA:
Udah. Udah cukup maennya. Nih.
(memberi uang)
Buat ongkos.

PEMAIN ANGKLUNG:
Kurang, Mas.

PEMUDA:
Alaaah, cuman bentar ajah.

PEMAIN ANGKLUNG:
Tarif angkot naik, Mas.

PEMUDA:
(menggaruk-garuk kepala)
Euh, hiks. Iya deh.
(menggunakan megaphone lagi untuk teriak ke bawah)
OIII! ADA YANG PUNYA RECEH NGGAAAAK!?

Para bayangan di bawah tampak gerak-gerak walau tidak jelas maksudnya apa.

PEMUDA:
Ah, pasti ada lah, Mas. Tunggu bentar yah? Paling lama juga satu episode cuman 23 menit lah.

PEMAIN ANGKLUNG:
Iya deh, mas.

Sang PEMUDA lari ke bawah, kecapekan, ngaso dulu, beli minum, lalu lanjut lari. Total sekitar lima belas menit, tambah iklan tiga menit, jadi tinggal beberapa menit lagi buat sisa episode minggu ini.

Saat sampai di bawah, tampak SPACED-OUT GYUVAN sudah kembali melamun. MONSTER dan CEWEK sudah kenalan dan ngobrol masalah zodiak serta kartu Tarot. Sementara JENDERAL dan PARA PRAJURIT sedang maen UNO.

Sang PEMUDA langsung mengambil pose berubah bentuk.

PEMUDA:
Ima da! Change Arga!

PEMUDA berubah bentuk menjadi ARGA 0815, dengan logo baju tempur yang menunjukkan jelas-jelas nomor sponsor.

GYUVAN:
(tepuk tangan kagum)
Wah, hebat!

ARGA 0815:
Kono youni aku no aru kagiri, seigi no ikari ga ore o yobu. Arga 0815! [Terjemahan bebas: Ini adalah kata-kata standar yang saya salin dari situs web Jepang mengenai tokusatsu!]
(berpose)
Koko ni sanjyou! [Terjemahan bebas: Ya, kalimat ini juga.]

JENDERAL MUSUH:
Eeeeii!
(menghancurkan menara UNO dengan kesal dan menunjuk pada ARGA 0815)
Yare! Yare!!

PRAJURIT MUSUH:
Ki! Kii! Ki! [terjemahan bebas: Kami harap mereka memberikan kami dialog yang lebih berkelas daripada sekadar "Ki! Ki! Ki!"]

NARATOR (O.S.):
(mendeham)
Proses perubahan Arga 0815 menggunakan sinyal satelit dan memakan waktu hanya 1/100 detik.

Diperlihatkan tayangan ulang adegan PEMUDA mengambil pose berubah dalam adegan lambat ala Gaban, terus mengambil ponsel dari tas pinggang, mencet nomor...

PONSEL:
Tuuuuurrrrrrt... Nomor yang anda tuju sedang sibuk.

Tekan '1' untuk mencoba lagi walaupun tidak akan berhasil. Tekan '2' untuk komplain ke Mentari yang juga tidak akan digubris. Tekan '3' untuk mendengarkan pilihan-pilihan lain sampai nomor '99' hanya untuk menghabiskan pulsa anda.

PEMUDA:
(menepuk kepala)
Doh!
(kembali menekan nomor)

PONSEL:
Tuuuurrrrrt...klik! Halo, Pizza Hot delivery, bisa saya bantu?

PEMUDA:
Aiyaaah!

Dengan panik, PEMUDA menekan tombol berkali-kali, menghasilkan nomor telepon gaul hotline, telepon rumah dan dimarahi Ibu karena lupa ngejemput adik, salah sambung dan sempat kenalan sama seorang cewek...

JENDERAL MUSUH & PASUKANNYA:
Zzzzzzz...

Di saat yang sama, MONSTER sedang curhat pada CEWEK kalau dia bosan diberi peran antagonis melulu hanya karena faktor tampang. CEWEK sendiri mendengarkan curhat MONSTER dengan serius, sambil sesekali memberi saran. SPACED-OUT GYUVAN sesekali menimpali pembicaraan, sebelum kembali melamun.

Akhirnya hubungan telepon PEMUDA menyambung juga.

PEMUDA:
Akhirnya! Bersiaplah! Ima da! Change Arga!

PEMUDA berjalan ke sisi kamera dan tos dengan pemeran ARGA 0815. ARGA 0815 menempati posisi PEMUDA tadi.

NARATOR:
Ya! Tepat dalam waktu sepersera... er, ah, lupakan.

GYUVAN:
(tepuk tangan kagum)
Wah, hebat!

JENDERAL MUSUH:
Zzzz--eh? Oh...
(menunjuk)
Ee! Omae ha dare da!

PRAJURIT MUSUH #1:
Pak, tokoh utamanya sebelah sana, Pak.
(sambil menunjuk ke arah sebaliknya)

JENDERAL MUSUH:
Oh, ya.
(berbalik)
Omae ha dare da!
(menunjuk)

NARATOR:
Dan sekianlah episode minggu ini.

ARGA 0815 DAN PARA MUSUH:
Eh?

NARATOR:
Semoga adik-adik di rumah menikmati tayangan ini dan jangan lupa untuk mengerjakan pekerjaan rumah.

GYUVAN:
Ini bukannya buat ditayangin hari Sabtu?

Arga 0815:
Target penontonnya juga bukan cuman anak-anak, lagi.

NARATOR:
(mendeham) Jangan lupa untuk menonton episode berikutnya minggu depan, dalam waktu yang sama.

MONSTER:
Tapi aku menolak tampil untuk episode berikutnya kecuali kalau aku dikasih peran yang bisa menampilkan sisi intelektual dan romantis diriku pribadi.

PRAJURIT MUSUH:
Ya, kami adalah aktor-aktor watak! [terjemahan bebas: Ki! Ki! Ki!]

CEWEK:
Gua sih nggak apa-apa. Walau gua menentang diskriminasi pembagian peran untuk aktor dan aktris hanya karena berdasarkan stereotipe jenis kelamin, tapi kalau kerjaannya kaya gini sih masih asyik-asyik aja. Eh, ngomong-ngomong, gua cabs dulu ya? Daah!

SEMUANYA:
(balas melambai)
Daaah!

SPACED-OUT GYUVAN melamun lagi.

NARATOR mendeham lagi.


ARGA 0815:
(ke JENDERAL MUSUH)
Ngomong-ngomong, ada receh ribuan nggak? Tukang angklung pribadi gua nungguin di atas nih.

JENDERAL MUSUH:
(merogoh dompet)
Lima ribu cukup?

ARGA 0815:
Sepuluh ribu aja deh, sekalian buat minggu depan.

NARATOR:
(mendeham lebih keras)
Saya rasa ini saat yang tepat untuk penutup dan nama-nama.

ENDING CREDITS ROLL, sekitar 4 menit.

FADE TO BLACK.

SPACED-OUT GYUVAN (O.S.):
Lho, semuanya pada ke mana?

TAMAT.

Sunday, June 14, 2009

Super Rangers (dalam Lima Menit)

Super Rangers adalah serial anak-anak di TPI mulai 29 Mei 2009, tiap Sabtu dan Minggu malam. Sepertinya, sang produser dan kawan-kawan berniat untuk membuat tayangan tokusatsu untuk anak-anak.

Kualitas tayangan yang mereka hasilkan jelas mencerminkan persepsi mereka atas penonton serial ini. Tidak usah kita berbicara mengenai anggaran yang minim. Kostum dan peralatan seadanya bukanlah halangan, asalkan skenario dan penggarapannya serius.

Pertanyaannya: seberapa serius dua hal terakhir itu di Super Rangers? Berikut ringkasan episode generiknya. Dalam lima menit.

___________________

EXT. LOKASI OUTDOOR STANDAR NOMOR #1 - SIANG HARI

RINO, LUNA, CIMOT, ICA, dan YURIKEN, lima anak kecil yang tampak belum mampu menalikan sepatu sendiri, mendadak terkena EFEK GRAFIS KOMPUTER.

---REFF #1----

CLOSE UP pada RINO: ekspresi melongo.

CLOSE UP pada LUNA: melongo juga.

CLOSE UP pada CIMOT: tak kalah melongo.

CLOSE UP pada ICA: kalau ada Olimpiade Melongo, akan memborong medali emas.

CLOSE UP pada YURIKEN: melongo dengan begitu hebatnya sehingga aktor sinetron mana pun yang melihat akan menjura, insyaf, dan berhenti dari dunia "akting".

---Akhir REFF #1----

INT. LOKASI STUDIO MURAHAN GENERIK #1- SIANG HARI


ALPHA RANGER:
Kalian sekarang berada di luar angkasa, dalam pesawat saya yang tampaknya terbuat dari kardus.

RINO, LUNA, CIMOT, ICA, dan YURIKEN melongo. (Ulang bagian REFF #1.)

ALPHA RANGER:
Dunia kalian dalam bahaya dan hanya kalian yang bisa menyelamatkannya.

RINO, LUNA, CIMOT, ICA, dan YURIKEN kembali melongo. (Ulang bagian REFF #1.)

ALPHA RANGER:
Kalian adalah orang-orang yang terpilih karena kemampuan kalian.

PENONTON DEWASA #1:
Ya. Lahir sebagai sanak saudara produser itu kemampuan juga, lho.

ALPHA RANGER:
(mendeham)
Kalian akan kuberi kekuatan sebagai Super Rangers! Selamatkanlah Bumi!

RINO, LUNA, CIMOT, ICA, dan YURIKEN lagi-lagi melongo. (Ulang bagian REFF. Dua kali.)

PESAWAT ALPHA RANGER hancur. Anak-anak itu terlempar kembali ke Bumi. Dengan selamat dan nyaman, tentunya.

PENONTON DEWASA #1:
Hancur deh, Bumi.

PENONTON DEWASA #2:
Kalau emang niat nolong Bumi, mbok ya milih pahlawan yang minimal ngomong udah jelas, gitu.

PENONTON ANAK-ANAK:
KEREEEN!


EXT. LOKASI OUTDOOR STANDAR NOMOR #1, CUMAN BEDA BEBERAPA METER - SIANG HARI

MEGATOR:
HAHAHAHAHAHA! Saya tokoh jahat. Dan untuk menunjukkannya, saya akan tertawa keras-keras tanpa alasan setiap ngomong satu dialog. FWAGAHAHAHAHA!

BEJIBUN ANAK BUAH FIGURAN bergerak maju.

RINO, LUNA, CIMOT, ICA, dan YURIKEN:
Kami akan menghentikan kalian!


---REFF #2----

KAMERA CLOSE UP pada masing-masing anak. Satu demi satu. Adegan tiap anak akan memakan waktu kira-kira 30 detik.

MEGATOR:
(memberi isyarat sambil berbisik pada SEMUA ANAK BUAH FIGURAN)
Ssst! Kumpul semuanya! Bakal lama nih. Kita maen gaple aja dulu.

RINO:
(berpose dengan lemas dan lambat)
Ranger Rino! Kekuatan Dinosaurus!

MEGATOR:
(buang kartu balak enam)
Dengan gerakan seperti itu, pantas saja dinosaurus punah.

YURIKEN:
(berpose dengan semangat seakan-akan baru sembuh dari typhus)
Ranger Yuriken! Kekuatan Gajah Purba!

MEGATOR:
Harus spesifik gajah purba, ya? Nggak bisa gajah aja? Kenapa nggak sekalian "Kekuatan Gajah Lampung Pemain Bola yang Mencetak Gol Terbanyak"?

ICA:
(berpose seperti sedang tes senam dan curi-curi lihat gerakan anak di sebelah)
Ranger Ica! Kekuatan Panda!

MEGATOR:
Emang kekuatan panda apa, sih?

ANAK BUAH FIGURAN #1:
Mereka lambat, pemalas, dan cinta damai. Saking malasnya, tingkat perkawinan dan kelahiran mereka rendah, sehingga terancam punah.

MEGATOR:
Oh, cocok kalau gitu.

CIMOT:
(lebih parah lagi: curi-curi lihat gerakan ICA)
Ranger Cimot! Kekuatan Cheetah!

MEGATOR:
Cheetah yang kena beri-beri, kayaknya.

LUNA:
(bergerak sedemikian kakunya sampai boneka tali saja jadi terasa seanggun penari balet profesional)
Ranger Luna! Kekuatan Bulan Raksasa!

MEGATOR:
Bulan RAKSASA? Emang ada bulan mini?

ANAK BUAH FIGURAN #2:
Mungkin maksudnya yang di langit itu terlihat kecil, Pak. Kalau di layar TV kan diperlihatkannya yang besar. Sampai satu layar penuh tuh.

MEGATOR:
Bukannya itu karena faktor jarak? Aslinya kan emang sudah raksasa? Kenapa nggak sekalian aja, "Kekuatan Bulan Ukuran Sebenarnya--Jangan Tertipu oleh Jarak!" Minimal dengan itu, tayangan ini ada unsur edukasinya. Dikit.

ANAK BUAH FIGURAN #2:
Pak, kayaknya udah beres tuh.

MEGATOR:
Oke. Ayo semuanya!

---Akhir REFF #2----


RINO, LUNA, CIMOT, ICA, dan YURIKEN sudah berubah jadi Super Rangers, mengenakan helm motor yang dimodifikasi tapi tetap kelonggaran di kepala anak-anak, kostum warna-warni, dan logo RR besar di bagian dada.

MEGATOR:
Lah, Ruper Rangers dong.

ANAK BUAH FIGURAN #1:
Nggak usah dipikirin, Pak. Yang serius nonton serial ini cuman yang belum bisa baca kok.

MEGATOR:
Bukannya sutradara, produser, dan penulis skripnya juga nonton?

ANAK BUAH FIGURAN #1:
Kalau mereka bisa baca, masa skrip kayak gini bisa lolos produksi sih?

MEGATOR:
Betul juga.

ANAK BUAH FIGURAN #1:
Pak, sekarang udah masuk kamera. Ketawanya jangan lupa.

MEGATOR:
Oh, iya. HAHAHAHAHAH! Kalian akan mati!


---REFF #3---

EFEK KOMPUTER GRAFIS mengenai tim SUPER RANGERS.

Dilanjutkan dengan EFEK KOMPUTER GRAFIS mengenai PARA PENJAHAT.

Lantas EFEK KOMPUTER GRAFIS mengenai EFEK KOMPUTER GRAFIS lainnya.

Plus bonus EFEK KOMPUTER GRAFIS di saat tidak diperlukan adanya EFEK KOMPUTER GRAFIS, seakan-akan PRODUSER membayar TIM POST-PRODUCTION dengan sistem borongan dan dapat bonus: beli dua efek grafis komputer gratis satu.

---akhir REFF #3---


MEGATOR:
FWAHAHAHAHAH! WAHAHAHAHAHA! BWAHAAHAHABAHAH!

ANAK BUAH FIGURAN #2:
Nggak usah berlebihan, Pak.

MEGATOR:
Sori. Yang tadi bukan akting, cuman tertawa miris melihat masa depanku sebagai aktor hancur karena tampil di sini.

SEMUA ANAK BUAH FIGURAN BESERTA PARA PENONTON DEWASA:
....
....
.... BWAHAHAHAHAHAHAH! FAHAAWAHAHA!

PENONTON ANAK-ANAK:
KEREEEEEN!


TAMAT.

EPILOG

PENULIS SKRIP:
Sip. Lima kali pengulangan REFF #1, ditambah minimal dua kali REFF #2. Terus minimal tiga kali REFF #3 tiap episode. Itu udah empat puluh menit. Berarti untuk episode-episode berikutnya, kita cukup memasukkan cerita selama enam menit saja.

SUTRADARA:
Cerita? Buat apa?

Indonesia Bagian Nun Jauh Di Sana

Beberapa hari lalu, saluran TPI menayangkan iklan film India, Om Jai Jagadish. Setelah iklan selesai, langsung disambung dengan logo TPI dengan tagline, "Makin Indonesia, makin asyik aja."

Keteledoran? Tapi kok terasa benar juga, ya? Mungkin TPI hadir untuk mengingatkan kita untuk bertanya-tanya; saat ciri suatu bangsa diidentikkan dengan pola konsumsi produk kreativitas bangsa lain, akankah bangsa tersebut mengalami krisis identitas?

Friday, March 27, 2009

Ironis Karena Tidak Ada Yang Menganggapnya Ironis

Jumat ini (27 Maret 2009), daerah sekitar Gasibu Bandung mulai mengalami kemacetan. Penggalangan massa kampanye di area strategis ini memasuki periode puncak. Jumat adalah jadwal Partai Demokrat, Sabtu (28 Maret) PAN, dan Minggu (29 Maret) PKS.

Tidak ada hal baru. Massa masih berkumpul tanpa tujuan jelas disertai ingar-bingar. Yang penting mengenakan atau mengusung atribut partai (kaos, bendera, atau spanduk).

Entah mereka berkumpul murni karena mendukung atau ada tujuan lain. Yang jelas, kabar mengenai pembagian uang tetap ada walau masih simpang siur. Ada yang bilang Rp20 ribu per orang. Ada yang mengaku Rp50 ribu. Dan bukan hanya Partai Demokrat. PAN, Gerindra, dan Golkar pun disinyalir melakukan hal yang serupa. Daftar ini bisa memanjang.

Saat saya melewati kekisruhan sekitar Gasibu, saya sempat mengamati sebagian massa sudah bubar sebelum acara selesai. Sebagian di antaranya dengan khidmat melanggar peraturan lalu lintas (mengendarai motor tanpa menggunakan helm, melewati batas lajur jalan, atau duduk memenuhi atap bus). Sisanya masih nongkrong di Gasibu, mendengarkan satu grup musik yang menyanyikan lagu Iwan Fals dengan lantang, "Penguasa, penguasa... berilah hamba uang. Beri hamba uang!"

Dan tidak ada yang menganggapnya ironis.

Monday, February 23, 2009

Rumah Sakit, Sumber Tawa #6: Dari Motor

Dari dua minggu sebelum masa perawatan Donna di rumah sakit, ternyata banyak penderita patah tulang. Dari dokter hingga perawat mempertanyakan hal tersebut, "Kok banyak amat sih yang patah tulang? Lagi musim, ya?"

Dan rupanya, sebagian besar pasien ini memiliki tren penyebab yang sama: jatuh dari motor. Sehingga pertanyaannya lebih menjurus, "Patah kenapa? Jatuh dari motor?"

Biasanya saya yang menjawabkan karena Donna terlalu teler untuk berbicara. Saya sampai merasa seperti penyanyi yang hanya punya dua lagu. Lagu pertama berjudul: "Nggak, jatuh dari kursi."

Pasti langsung disambung dengan pertanyaan berikut, "Dari kursi? Lagi ngapain?"

Muncullah lagu kedua: "Lagi benerin booster antena TV."

Diakhiri dengan koor: "Oooooooooh."

Pada hari keempat, saya sudah eneg dan berusaha mempersingkat ritual itu. Seorang perawat bertanya, "Patah kenapa? Jatuh dari motor?"

"Nggak," jawab saya dan langsung menyambung dengan, "ini jatuh saat memperbaiki booster antena TV."

"Dari motor?" tanya sang perawat, keukeuh.

Kalau iya, itu pasti sudah jadi tulisan paling pertama dalam blog saya mengenai peristiwa ini. Saya sampai berpikir, jangan-jangan penyebab para pasien selama ini jatuh dari motornya memang aneh-aneh. Siapa tahu sebelumnya ada orang jalan menggunakan kruk, bersua dengan pasien lain yang tangannya digips.

"Jatuh dari motor? Sambil ngapain?" tanya pengguna kruk.

"Iya, lagi maen bola," jawab yang digips. "Lo jatuh dari motor kenape?"

"Lagi mandi."

"Ah, cemen!" sela seseorang yang menggunakan kursi dorong. "Gue dong, jatuh dari motor pas lagi maen tenis DAN mandi!"

Rumah Sakit, Sumber Tawa #5: Broker Saham

Ada tiga pasien di seberang ranjang Donna. Selain dari DJ Tak Kesampaian yang menempati ranjang tengah, ada juga Broker Saham di ranjang sebelah kanan.

Mengapa saya sebut Broker Saham?

Karena dia terkena demam berdarah dan terus-menerus melaporkan perkembangan trombositnya via ponsel, seakan menginformasikan nilai indeks saham.

Hari pertama: "Trombositku 141! Turun 11 ribu."

Hari kedua: "Sekarang 119 ribu. Nggak begitu drastis sih. Masih normal, lah. Kita lihat besok."

Hari ketiga: "Tuh, kan 111 ribu. Kalau turunnya mengecil gini, paling juga besok sudah mulai naik lagi."

Hari keempat: "Aduh, 89 ribu! Gimana ini!?"

Saya dan Donna sampai tergoda untuk teriak, "Jual semua! Jual semua!"

Thursday, February 19, 2009

Rumah Sakit, Sumber Tawa #4: Semua Berawal dari Ambulans

Sepertinya ini memang nasib Donna menjadi mitra hidup seorang penulis humor: mengalami kejadian aneh-aneh. Bahkan saat awal kecelakaan pun sudah terlihat.

Saya segera pulang ke rumah saat mendapat kabar jatuhnya Donna. Melihat Donna yang tergeletak pasrah, saya juga tidak berani memindahkannya dengan sembarangan. Langsung saya menelepon bagian UGD suatu rumah sakit.

"Tolong kirimkan ambulans ke rumah saya ya, Mbak," ujar saya pada operator.

"Oh, ada keadaan darurat, Pak?" tanya operator.

Saya sempat tergoda untuk jawab, "Nggak, saya suka aja jalan-jalan keliling kota pake sirene." Namun, berhubung diburu waktu, saya jawab apa adanya, "Istri saya jatuh dari kursi. Mungkin tangannya patah. Dan entah apa lagi. Karena itu saya nggak berani mindahin dia sembarangan."

"Baik, Pak." Ia kemudian menanyakan alamat dan nomor telepon. Beres. Atau saya kira begitu. Karena ia kemudian bertanya, "Bapak nggak perlu perawat, kan?"

"Nggak, istri saya perlunya _dirawat_," ketus saya. "Intinya, saya nggak tahu, Mbak, fungsi perawat itu apa," tambah saya, kalau-kalau operator ini nggak ngerti sarkasme. "Pokoknya tolong kirim ambulans bersama orang yang paham cara memindahkan korban kecelakaan tanpa bikin tambah celaka. Ini darurat!"

"Baik, Pak. Silakan tunggu, ya?"

Lima menit berlalu.

Sepuluh menit.

Lima belas menit.

Telepon kembali berdering. Saya mengangkatnya--ternyata operator tadi. "Halo, Pak. Saya ingin konfirmasi. Ambulansnya jadi nggak?"

"Astaga, Mbaaaak," sahut saya. "Emang sering ya, keadaan darurat yang nggak jadi? Kalau ada yang nelepon karena tabrakan mobil, pernah gitu orangnya nelepon balik terus ngomong, 'Aduh, maaf, ternyata tabrakannya nggak jadi. Ambulansnya gak usah, deh.'"

"Euh, berarti jadi ya, Pak?"

Saya mengerang.

Mungkin dalam bahasa operator erangan berarti "ya" karena ia kemudian berkata, "Baik, Pak. Silakan tunggu, ya?"

Selagi menunggu, datanglah dua teman kantor, Yudi dan Mas Naryo. Berkat itu, saya tidak terlalu senewen. Untung juga kali ini tidak ada konfirmasi lagi. Ambulansnya datang, parkir di depan pagar. Dan keluarlah tim lengkap gawat darurat: satu orang pengemudi. Sudah.

Saya setengah berharap orang ini adalah cyborg medik canggih serbabisa. Namun, komentar pertama orang tersebut langsung membuyarkan harapan saya. Ia melihat sekeliling--hanya ada saya, Yudi, dan Mas Naryo, yang sedang berdiri--dan bertanya, "Yang mana pasiennya?"

"Pak, kalau pasiennya bisa berdiri, saya nggak akan panggil ambulans," ucap saya lirih, sambil menahan lolongan putus asa. Saya lantas memandu sang pengemudi ambulans ke tingkat dua, tempat Donna jatuh. Yudi dan Mas Naryo sigap membantu.

Singkat cerita, Donna berhasil dinaikkan ke atas tandu dan kami bawa turun ke lantai dasar. Saat menuju pintu keluar, Donna mendadak teriak, "A! Jangan lupa!"

"Apaan?" jawab saya panik. Lupa apa nih? Bawa duit? Baju ganti? Nitipin anak?

"Bawa buku!" seru Donna. "Nanti di sana bosen. Ambil Black Rose di dalam kamar. Terus Red Lily di depan komputer!"

"Iya deh," angguk saya, sementara Yudi dan Mas Naryo ngakak.

Donna lantas dinaikkan ke dalam ambulans, ditemani saya. Yudi dan Mas Naryo siap mengikuti dengan kendaraan lain. Sang pengemudi menutup pintu belakang ambulans. Ia naik ke kursi pengemudi dan memasang sabuk pengaman. Lantas ia menoleh ke arah kami dan mengucapkan kata-kata yang tidak akan kami lupakan, "Ke mana?"

Pengemudi sebuah ambulans; dari rumah sakit yang saya telepon; karena mitra hidup saya butuh perawatan; menanyakan kami mau "ke mana?"

Saya bisa membayangkan empat jawaban:

  1. "Kita coba puter-puter aja dulu sekeliling komplek, Pak. Kalau argonya udah lima puluh ribu, turun, ya?"

  2. "Terserah Bapak aja, kira-kira tempat makan mana yang enak buat orang yang patah tangan?"

  3. "Oh, sori. Ini ambulans jurusan Stasiun Hall-Sadang Serang bukan?"

  4. "Kalau bisa sih ke masa lalu. Tepatnya satu jam sebelum ini. Saya mau menghalangi diri saya menelepon rumah sakit Bapak."

Rumah Sakit, Sumber Tawa #3

Setelah selesai operasi, saya dan Donna hanya bisa menunggu di kamar dengan bingung. Mengapa? Karena dokter bedah tulangnya sudah keburu mengurus operasi lain, tidak sempat ketemu.

Selama sehari semalam, kami terus dihantui pertanyaan yang tak terjawab. Ini harus dirawat sampai kapan? Terus pengobatan selanjutnya bagaimana? Yang lebih penting lagi: hasil operasinya gimana sih? Beres? Atau jangan-jangan cuman buka tangan terus nengok, "Wah, bener-bener patah, nih. Kirain bercanda. Oke, teman-teman! Jahit lagi!"

Kami pun bertanya pada beberapa perawat, "Dokternya bakal berkunjung kapan, sih, Suster?"

Dengan menakjubkan, jawaban mereka seragam, "Oh, nggak tentu, Pak/Bu. Bisa pagi, siang, sore, atau larut malam. Tergantung yang membutuhkan sih."

Saya dan Donna hanya bisa bertanya dalam hati; ini dokter atau superhero, sih? Dan "larut malam"? Saya nggak yakin Donna mau tirai biliknya tiba-tiba disingkap pada jam dua dini hari oleh dokter yang berseru lantang, "Ada yang butuh bantuan?"

Dia pasti akan berseru balik, "Saya butuhnya ISTIRAHAAAT!"

Untunglah tirai tersebut tiba-tiba disingkap sang dokter pada sore hari Rabu (18 Februari) sehingga masih kami sambut dengan suka cita. "Oke," ujar sang dokter. "Kita lihat hasil foto dan tes pada hari Kamis. Kalau sudah bagus, Jumat bisa pulang."

Saya dan Donna saling memandang senang. Akhirnya, kepastian! Saya bertanya, "Kamis jam berap--?" Dan kami sadar dokternya sudah keluar ruangan. Untunglah masih ada perawat. "Suster, Kamis besok dokternya bakal periksa hasil tes jam berapa?"

Susternya menjawab tanpa ragu, "Bisa pagi, siang, sore, atau larut malam."

Deja vu.

Rumah Sakit, Sumber Tawa #2

Kamar inap Donna memuat maksimal lima pasien. Dan sering kali kehadiran mereka mendukung proses pemulihan dengan cara tersendiri. Pada hari pertama, perawat berkata, "Malem ini puasa, ya, Bu? Enam jam lagi operasi."

"Nggak masalah, Suster," jawab Donna. "Emang nggak nafsu makan kok."

"Kenapa?" tanya perawat khawatir.

Pas di bilik sebelah terdengar pasien muntah-muntah. Berkali-kali.

Sang perawat tidak menunggu jawaban. Hanya mengangguk mengerti.

Sementara itu, pasien di ranjang seberang tampak memiliki cita-cita terpendam sebagai DJ. Ia menyetel MP3 player keras-keras dengan pilihan lagu-lagu dari Kangen Band dan sejenisnya. Dampaknya sangat positif. Minimal Donna terdorong untuk kangen kesunyian. Ia semakin semangat untuk sembuh dan keluar dari ruang itu.

Pada hari Kamis (19 Februari), mendadak pilihan lagu Sang Pasien Seberang berubah; dari Coldplay hingga REM. Walau masih mengganggu, minimal tidak menggoda untuk melempar infus. Seorang perawat lantas masuk ke bilik Donna untuk menyuntikkan antibiotik ke dalam selang infus. Antibiotik ini memang jenis yang perih sehingga Donna sampai meringis kesakitan.

Bersamaan dengan itu, berkumandanglah satu lagu REM dari ranjang seberang, "Everybody hurts... sometimes..."

Rumah Sakit, Sumber Tawa #1

Mitra hidup saya, Donna, jatuh dari kursi saat berusaha membetulkan booster antena TV. Saya menelepon ambulans untuk membawanya ke UGD RS Borromeus. Hasil diagnosis dan foto X-ray menunjukkan tangan kanan Donna patah. Kami pun menunggu kehadiran dokter bedah tulang untuk penindakan lebih lanjut.

Saat menunggu, datang pasien gawat darurat lain di bilik sebelah kami. Dari percakapan antara dia dan dokter jaga, terdengar bahwa kasusnya serupa.

"Kenapa?" tanya dokter jaga.

"Ini, kaki saya kenapa-kenapa. Jadi nggak bisa berdiri. Kayaknya karena jatuh."

Dokternya terdiam sebentar. Mungkin dia berpikiran sama seperti kami; nggak bisa berdiri kok datang ke UGD-nya sendirian? "Oh... jatuhnya kapan?"

"Minggu lalu," jawab sang pasien kalem.

Kalau Donna nggak patah tangan, mungkin dia sudah menepok jidat.

Wednesday, January 21, 2009

Bukit Kikis Dan Penikmat Matahari

Hotel yang saya inapi di Bukittinggi bulan November lalu memiliki menara pantau. Dari puncaknya, kita bisa melihat pemandangan elok kota Bukittinggi. Satu hal yang menarik perhatian saya adalah sebuah bukit mungil yang berbentuk seperti croissant setengah dikunyah.


Pertanyaan di benak saya: karena longsor atau memang dikeruk?

Keesokan paginya, rekan saya Adhi Rachdian, seorang penggemar fotografi, mendapatkan jawabannya. Penggemar fotografi di Bukittinggi itu seperti Indiana Jones ditaruh di makam kuno; nggak mungkin bisa berdiam diri. Saat yang lain masih sulit bangun (termasuk saya--bahkan ayam jago pun berkokoknya siang), ia sudah berkeliaran, mencari objek foto.

Selain dari berpapasan dengan banyak anjing pemburu, ia juga menemukan dua orang pria yang sedang mengeruki tanah bukit tersebut.



Kedua pria tersebut rupanya sadar sedang difoto. Mereka mendadak berhenti mengeruk. Dan coba tebak apa yang kemudian mereka lakukan?

a. Memarahi rekan saya.
b. Kabur.

Ya. Jawaban yang benar adalah...



c. Pura-pura tidak melakukan apa-apa.

Seakan-akan mereka berkata, "Pengeruk? Mana? Kami hanya sedang menikmati matahari terbit sambil bersandar pada, euh, tongkat yang terlihat seperti sekop ini."

Kalau saya ikut dan bisa mengobrol dengan mereka, bisa jadi berlanjut dengan komentar, "Uda, matahari kan terbit di sisi yang lain."

"Justru itu," potong pria berbaju putih. "Kalau dilihat langsung kan silau. Paling enak melihat matahari terbit itu dengan membelakanginya!"

"Sambil bersandar ke tongkat yang terlihat seperti sekop, tentunya!" tambah pria satu lagi, sambil mengangguk-angguk.

Khayalan seperti ini yang membuat saya rindu Bukittinggi.


__________________

Foto kedua dan ketiga ditampilkan seizin Adhi Rachdian.