Friday, April 27, 2007

IPDN Undercover: Sekacang Judulnya?

Judul: IPDN Undercover: Sebuah Kesaksian Bernurani
Penulis: Inu Kencana Syafiie
Penerbit: Progressio (Bandung)
Dimensi: 13,5 x 20,5 cm
Halaman: 282 + xxiv

Sebagai pedoman utama, buku Indonesia apa pun setelah tahun 2003 yang mendompleng istilah "Undercover" pasti kualitasnya buruk. Apalagi ini penggunaan istilah yang keliru. "Undercover" menyiratkan makna bahwa penulis buku ini, Inu Kencana Syafie, menyamar sebagai bagian dari IPDN (dulu STPDN) untuk mengungkap rahasia-rahasia di baliknya. Padahal penulis memang bagian dari institusi yang ia ungkap dan lawan kebobrokannya.

Buku ini sebenarnya autobiografi, yang tadinya mau diubah oleh penerbit karena takut dipertanyakan masyarakat (Pengantar Penerbit, hal. vii). Namun akhirnya dipertahankan karena kualitas tulisan yang bagus. Menurut saya itu pilihan yang bagus. Tapi bukan berarti penerbit jadi melalaikan kerja samanya dengan penulis untuk menghasilkan karya yang berkualitas.

Karena itulah yang saya lihat. Selain dari judul yang kacangan, suntingannya pun asal. Salah ketik masih bertebaran di mana-mana. Narasi panjang ambigu tidak dipotong dan dijadikan jelas. Kisah-kisah tidak disusun agar menyampaikan inti yang saling mendukung. Sporadis dan asal. Ini menunjukkan bahwa penyunting tidak teliti. Atau terlalu terburu-buru mengejar tenggat penerbitan.

Komposisi autobiografi ini pun tidak seimbang. Dari Pengantar Penerbit dan Prakata, saya menyimpulkan bahwa dua misi utama buku ini adalah:


  1. Menunjukkan filosofi hidup penulis sehingga pembaca memahami motivasi penulis mengungkap kebobrokan IPDN.

  2. Menjadi kesaksian kasus-kasus IPDN yang akan terus ada walaupun media dan para tokoh politik tidak lagi tertarik.

Dua ratus empat halaman adalah kisah kehidupan penulis. Sementara kasusnya sendiri hanya tujuh puluh halaman. Perbandingannya hampir 3:1, sehingga terlihat misi yang diemban hanyalah yang pertama. Banyak bagian yang sama sekali tidak perlu dan tidak relevan dengan misi kedua. Dengan begini, judul makin keliru. Lebih baik memang berfokus ke--menggunakan kalimat penerbit sendiri--"kisah membentang yang menggambarkan transformasi seorang anak kampung di Sumatera Barat menjadi seorang pendobrak yang mencatatkan diri di bagian sejarah".

Orang yang membaca buku ini dengan berharap mendapatkan kesaksian mendetail tentang IPDN akan kecewa. Memang ada kronologis yang lebih lengkap. Termasuk pengungkapan fakta dan kesimpulan penting seperti:
  • Kematian anak didik IPDN hanyalah sempalan dari kondisi di lapangan. Yang lebih mengerikan adalah kejahatan membudaya para pengasuh dan komisi disiplin yang menjadikan kasus anak didik sebagai ladang uang.

  • Film adegan pemukulan yang sering ditayangkan di TV-TV swasta sudah mengalami rekayasa citra. Dalam rekaman sebenarnya, setelah adegan itu para "aktor" sama-sama tertawa sambil minum dan makan roti. Karena adegan ini sendiri direkam untuk "gagah-gagahan", agar kelak mereka bisa ngomong ke para junior, "Kami aja sanggup, kenapa kamu nggak?" Namun, adegan tertawa tersebut dihapus. Lalu adegan pemukulan diberi musik latar yang seram. Jadilah tayangan yang membuat orang-orang berang.

    Intinya, pemukulan memang ada. Dan sebagian besar memang mengerikan. Tetap saja, yang ditayangkan TV adalah manipulasi.

Poin-poin tersebut jadi kabur karena tertelan oleh lautan kisah tentang penulis. Kasus Cliff Muntu yang berdasarkan Pengantar Penerbit ditambahkan untuk melengkapi buku pun tidak terlihat. Kronologis masih berhenti pada tahun 2005. Penuturan kasus per kasus pun begitu.

Buku ini menjadi autobiografi yang salah kemas. Seharusnya justru dimulai dengan bagian paling akhir, yang menceritakan saat penulis diundang oleh pemilik Joger, Joseph Theodorus Wulianadi. Joseph mengajak para stafnya merenungkan kenapa mereka semua mengundang Pak Inu ke Bali, padahal banyak yang lebih terkenal.

Seseorang meneriakkan jawabannya, karena Pak Inu berani seorang diri membongkar skandal STPDN.

Joseph mengiyakan dan mengajak, "Sekarang, kita dengarkan ceramahnya. Mengapa keberanian itu muncul?"

Inilah inti buku itu. Mengapa keberanian itu muncul. Sama sekali meleset dari judul dan kemasan buku. Jangan baca karena tertarik kisah IPDN, bacalah kalau tertarik kisah seorang pemberani bernama Inu Kencana Syafiie.

Thursday, April 19, 2007

Tips Menjadi Orang yang Lucu?

Hardono sempat menitip, "Tolong tulis tips menjadi orang yang lucu dong." Titipan ini tidak bisa segera saya tuliskan karena saya sendiri bingung. Saya bukan orang yang lucu. Dalam banyak situasi, saya memang membuat orang lain tertawa. Tapi saya tidak menganggap diri saya orang yang lucu.

Contohnya, saya selalu bingung kalau ada yang tiba-tiba nodong, "Bikin aku ketawa, dong."

Berhubung tidak punya gas N20 , saya biasanya menyerah. Dalam hati sih saya merasa beruntung "hanya" jadi komedian. Coba kalau saya seorang penjinak bom. Saya akan panik setiap ada yang mendekat. Takut tiba-tiba ditodong, "Jinakkin granat ini dong."

Di luar panggung, bisa dibilang komedian adalah orang biasa. Para komedian yang piawai bisa menjadikan tempat apa pun sebagai panggung. Karena itu, setiap ditodong wawancara atau bincang-bincang, mereka bisa menyampaikan pendapat yang jelas sekaligus menghibur.

Saya sendiri belum sampai tahap itu. Untuk suatu penampilan, saya perlu menyiapkan skrip dan materi humor, kemudian melatihnya berkali-kali. Puncak peluncuran buku "Bertanya atau Mati!" yang heboh merupakan hasil latihan berulang-ulang dengan kru Comedy House. Konsep kami adalah "peluncuran buku dalam arti harfiah". Kami akan benar-benar meluncurkan sebuah buku dengan katapel, dengan sasarannya adalah kain di panggung. Pada percobaan pertama, peluncuran ini akan gagal. Buku akan terlontar sembarangan ke lantai. Semua kru tampak kaget. Ketika hadirin mulai merasa tidak enak, sang MC akan memotong dengan mengatakan bahwa adegan ini akan diulang. Dan agar tingkat kesulitan lebih tinggi, dilakukan dalam gerak lambat (slow motion).

Ketika saya harus memperagakan adegan gerak lambat bersama para kru, kami sudah siap bahwa ketika ketapel dilepaskan, seseorang akan muncul dari bawah dan membawa buku seakan-akan meluncur. Seiring musik aksi tempo lambat diputar, saya akan berlari ke samping, mengambil arah memutar. Kami sudah tahu, bahwa pada langkah kesepuluh, pembawa baki akan muncul. Saya akan pura-pura kaget, menghindarinya tipis, lantas berlari ke panggung. Di situ, saya harus berkoordinasi dengan dua orang pemegang kain, sehingga kaki saling membelit, tangan ke mana-mana, selagi buku yang terlempar semakin mendekat. Pada detik-detik terakhir, kami bisa berputar, meliuk, dan melepaskan diri sehingga dalam posisi yang benar dan menangkap buku dengan kain putih. Pas di saat itu, gerakan kembali normal dan musik berubah.

Materi kuat, akting meyakinkan, dan permainan waktu yang akurat. Tiga elemen itulah yang membuat suatu penampilan komedi bisa berhasil.

Namun, saya ingat bahwa dulu juga saya mengagumi beberapa teman sekolah yang menurut saya lucu. Padahal mereka bukan komedian. Mereka hanya melakukan dua hal:

  1. Menikmati humor secara positif

  2. Membaginya kepada orang lain (tanpa pamrih)

Saat menimpali ucapan orang lain, teman sekolah saya ini tidak bermaksud melucu. Ia hanya menyampaikan apa yang ia anggap lucu. Dan tertawanya begitu renyah sehingga menular kepada orang-orang di sekitarnya. Kalau ia mendekati orang-orang yang berkumpul, seketika terbentuk lingkaran. Dia memang tidak berdiri di tengah. Sama-sama di pinggir seperti orang lain. Tapi kumpulan yang tadinya statik jadi hidup.

Yang tadinya membahas kekesalan karena ujian susah malah jadi menertawakan kebodohan diri masing-masing dalam menjawab soal. Yang tadinya mengumpat-umpat cewek jadi menertawakan cara-cara cowok mencari perhatian lawan jenis.

Kalau memang ini yang disebut dengan "orang yang lucu", lakukanlah seperti apa yang teman saya lakukan. Nikmatilah humor. Lihatlah dunia dengan pandangan humor positif. Lantas berbagilah kepada orang lain.

Menunjukkan Dua Kualitas Humor Pribadi yang Penting

Lantas, lelucon apa yang saya berikan ke kakak saya untuk menolong wawancaranya? Pertama-tama, jelas bahwa organisasi ini tidak mencari komedian. Mereka hanya ingin mengenali prinsip pribadi calon rekan kerja mereka.

Karena itu, saya cukup mengambil dua lelucon dari simpanan pribadi. Lantas memberi petunjuk pembawaan leluconnya yang akan menunjukkan dua hal penting:
a) Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri
b) Personalisasi lelucon

Lelucon pertama saya pesankan untuk disampaikan setelah jelas bahwa latar belakang kakak saya adalah akuntan. Lelucon itu sendiri adalah salah satu varian lelucon "tipe orang". Bunyinya antara lain:

Ada tiga tipe akuntan di dunia. Yang bisa menghitung, dan yang nggak.

Ini adalah salah satu jenis lelucon terkuno. Saya sendiri menggunakan satu variannya ketika menulis artikel tentang pengalaman latihan beban:
Ada dua tipe orang di pusat kebugaran. Orang yang pipis ketika mandi pancuran, dan orang yang berbohong.

Intinya, ini adalah lelucon sederhana yang mudah disampaikan. Dan yang paling penting: ini menunjukkan bahwa kita bisa menertawakan diri sendiri. Ini adalah kemampuan yang dicari. Orang yang bisa menertawakan diri sendiri berkemungkinan lebih kecil untuk menyalahkan orang lain saat terjadi kesalahan. Rata-rata tingkat stres pun lebih kecil. Ini juga menunjukkan humor yang baik.

Kita juga cenderung menyenangi orang-orang yang menertawakan diri sendiri. Dengarkan saja pujian sebagian besar penggemar acara Empat Mata. Umumnya, mereka (karena saya bukan penggemarnya) berkata bahwa, "[Yang unik], Tukul sering menertawakan diri sendiri." Almarhum Ronald Reagan juga mampu mempertahankan sebagian besar pendukungnya pada masa kepresidenan karena sering menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan lelucon positif.

Lelucon kedua saya pesankan agar disampaikan sebagai cerita pribadi. Saya menyarankan agar dia mulai dengan membuka diri sebagai ibu dari tiga anak. Tunjukkan ketegaran dalam membagi waktu dan disiplin. Lantas sambung dengan kelemahan; bilang bahwa kadang-kadang menjadi orangtua ada susahnya. Contohnya saat Aril, anaknya yang menjelang remaja, tiba-tiba bertanya, "Bu, sex itu apa?"

Berhentilah sebentar untuk menunjukkan keterkejutan. Lanjutkan dengan cerita bahwa ia percaya pada pendidikan anak modern yang terbuka. Karena itu ia lantas menjelaskan panjang lebar tentang seks. Setelah itu, Aril mengangguk mengerti, "Oke." Tapi ia kemudian menyeret kakak saya dan menunjukkan layar monitor. Ia sedang mendaftar ke satu situs luar negeri, dan harus mengisi form. "Kalau gitu," tanyanya. "Gimana ngisiin semua itu ke kotak kecil ini?" ia menunjuk pada kolom "Sex: ".

Dengan cara begini, kakak saya tidak sekadar menceritakan lelucon. Ia sedang berbagi cerita diri dan keluarga. Kalau kebetulan lucu, bagus. Kalau tidak, setidaknya sebagian keraguan akan kemampuan profesional dia sudah terjawab. Karena umumnya, orang yang sudah berkeluarga akan dipertanyakan apakah dia bisa membagi waktu. Dengan cerita ini, dia terlihat kompeten, berpendidikan, dan humoris.

Apakah ini manipulasi? Sebagian ya. Tapi tenang saja. Humor bukan sesuatu yang bisa dipalsukan dengan mudah. Cara ini berfungsi bagi kakak saya karena dia memang kompeten, berpendidikan, dan humoris. Seseorang yang sekadar berusaha meniru akan kesulitan dalam menceritakan kedua lelucon di atas. Bisa jadi, ia malah tidak akan memahami keduanya.

Humor untuk Wawancara

Kemarin pagi saya dibangunkan oleh dering telepon. Ternyata kakak saya menelepon dari Jakarta, "Dek! Tolong kasih aku dua joke dong untuk wawancara."

Ternyata organisasi yang diarah kakak saya biasanya menanyakan lelucon favorit para peserta wawancara kerja. Ide yang bagus, sebenarnya. Karena ini akan menunjukkan humor dan selera humor calon rekan kerja mereka. Berdasarkan pengalaman saya selama ini, humor dan selera humor adalah dua hal yang menyatukan tim.

Kenapa saya membedakan humor dan selera humor? Karena definisi humor adalah kualitas atau kandungan yang bisa menghibur atau membuat orang tertawa. Sebagai kualitas, humor ada yang baik dan buruk. Humor dalam hal ini seperti akal sehat. Ada pemahaman universal tentang humor. Tapi ada juga kalangan yang menikmati humor yang berbeda. Sebagaimana mereka memiliki akal sehat yang berbeda.

Sebagai contoh, pembantai abad pertengahan yang tertawa karena memenggal kepala-kepala orang tak berdaya menganggap itu humor. Namun itu humor yang berbeda dengan sebagian besar di antara kita. Sebagaimana akal sehat dia mungkin berbeda.

Namun, selera humor adalah hal yang sangat subjektif. Tidak ada baik atau buruk. Saat seseorang berkata bahwa mencari pasangan yang memiliki "selera humor yang baik" (a good sense of humor), yang dia maksud adalah selera humor yang sama dengannya.

Persepsi orang mengenai humor menghasilkan selera humor. Bukan sebaliknya.

Karena humor memerlukan objek untuk ditertawakan, kita juga jadi tahu sebagian prinsip orang melaluinya. Seperti kata Stevie Ray, dalam bukunya Medium-sized Book of Comedy, seseorang membutuhkan "izin" internal untuk tertawa. Saat kita melihat teman terjatuh, misalnya. Ada orang yang langsung tertawa. Ada juga yang membantunya dulu dan memastikan bahwa teman tersebut tidak apa-apa, baru bisa ketawa. Ini menunjukkan bahwa orang yang kedua memiliki izin yang lebih ketat untuk tertawa: sasaran tertawanya tidak boleh benar-benar terluka.

Contoh lain, misalnya artikel Fred Hiers yang dikutip di multiply Tanti. Dalam artikel tersebut, banyak orang yang memprotes lelucon yang dipasang di plang perusahaan Hercules Fence Co. Pesannya berbunyi antara lain, "Benda apa yang beroda empat dan berlalat? Mayat seorang cacat di kursi roda." Ini adalah satu dari rangkaian lelucon yang dipasang pemilik toko tiap Jumat karena menurutnya lucu.

Dari sini, kita bisa tahu apakah orang seperti itu cocok dengan organisasi kita atau tidak. Dan ini berlaku pada taraf yang lebih kecil. Lihatlah teman-teman kita. Umumnya, kita hanya berteman dengan orang-orang yang memiliki persepsi serupa tentang humor. Lantas, teman-teman terdekat kita—-bahkan pasangan kita—-bisa jadi memiliki selera humor yang serupa.

Tuesday, April 17, 2007

Narasi yang Memikat

Narasi deskriptif adalah bagian yang sama menantangnya seperti dialog. Narasi yang kuat akan dapat menghanyutkan pembaca dalam dunia ciptaan penulis. Sebaliknya, narasi yang lemah akan senantiasa mengingatkan pembaca bahwa ia sedang duduk dan membaca buku.

Sebagian besar pembaca Da Vinci Code mengaku bahwa narasi deskriptif Dan Brown memang menghanyutkan. Mereka merasa sedang mengendap-endap dalam kegelapan museum Louvre. Atau berlarian di kota Paris. Padahal narasi Dan Brown ini sangatlah panjang. Jika dikerjakan sembarangan, pembaca akan segera sadar sedang membaca buku dan mudah bosan. Salah satu kunci keberhasilan Dan Brown adalah membuat narasinya menarik untuk dibaca.

Jadi bagaimana agar kita dapat menulis narasi yang lebih menarik? Cukup gunakan dua prinsip ini: Pertama, libatkan sebanyak mungkin indra. Kedua, tunjukkan--jangan dijelaskan.

Banyak prosa yang hanya melibatkan dua indra: pendengaran dan penglihatan. Seperti contoh berikut.

Langit tampak cerah kala Dio melangkah dalam taman pamannya. Padahal malam sebelumnya hujan deras sekali. Taman itu penuh oleh berbagai rumpun dan bunga di satu sisi, dengan jalan tanah yang dihiasi rumput gajah. Ia menghampiri pojok kesukaannya, yang ditempati putri malu, soka, dan bunga trompet.

Namun, tiba-tiba seekor anjing menyeruak ke dalam taman sambil menyalak keras. Saking terperanjatnya, Dio tidak mampu bergerak.

Dengan prosa seperti ini, kita tidak membantu pembaca untuk membayangkan adegan. Kita pun hanya mendorong pembaca untuk melihat atau mendengar cerita.

Bantulah pembaca lebih jauh. Buat mereka melihat, mendengar, menyentuh, mengecap, berlari, hingga berteriak bersama tokoh-tokoh kita. Lalu tunjukkanlah melalui tokoh kita. Jangan sekadar menjelaskannya. Prosa di atas, misalnya, bisa kita ubah menjadi;
Telapak Dio memayungi matanya dari cahaya surya. Semburat biru langit memudar hingga putih di kejauhan. Bagai kanvas yang bebas dari gumpalan awan. Langkah Dio terasa lebih ringan menapaki kebun pamannya. Kakinya hanya bercawatkan sendal jepit, sehingga telapak rumput gajah langsung menggelitiki kulitnya. Ia berhenti dan berjongkok, ganti menjawil serumpun putri malu yang langsung menyelubungi diri. Wangi tanah basah menyusupi hidungnya. Beralih ke sebelah, Dio memetik lembut sekuntum bunga soka. Ia mengendusnya, seraya menggesekkan bunga putih kekuningan itu ke hidungnya. Lantas ia hisap cairan di pucuknya. Manis walau sesaat. Lidahnya mencari-cari, tapi rasa itu telah lenyap.

Dio berniat memetik sekuntum soka lagi sebelum dibatalkan kerikan jangkrik. Membungkuk, Dio mencari-cari. Semakin keras kerikan, semakin awas gerakannya. Perlahan, ia membelai dan menepis serumpun bunga terompet. Dan ia menemukannya! Menempel di batang terdalam, hijau jangkrik itu menyatu dengan tempatnya hinggap. Tak bersuara. Sang jangkrik mempertaruhkan keselamatannya pada sunyi. Tangan Dio maju, dua jari membentuk capit. Sedikit lagi sayap jangkrik akan terkunci dan...

FWOGH-WOGH-WOGH-WOGH! WOOGH! WOOGH!

Dio terlompat mundur. Kedua tangannya lepas kendali hingga membentur dahi. Erangan pendek terlepas dari mulutnya. Hanya itu, selagi ia melihat seekor anjing berlari ke arahnya sambil menyalak keras. Kaki Dio seperti terpaku ke tanah. Mulutnya tersumpal. Matanya melekat pada barisan taring anjing yang berselaput liur.

Kalau begitu, apakah jadinya tulisan yang lebih panjanglah yang lebih menarik? Tidak juga. Karena kita tidak akan menggunakan pendekatan ini untuk semua adegan. Justru dengan membiasakan diri untuk menunjukkan, alih-alih menjelaskan, kita akan dapat membedakan antara adegan yang penting dan yang tidak.

Contoh di atas akan tepat kala inti yang ingin kita sampaikan adalah keterikatan tokoh Dio dengan kebun pamannya. Namun, akan salah jika inti cerita ternyata anjing baru paman Dio.

Buatlah adegan penting menjadi lebih memikat. Dan potong habis adegan yang tidak penting. Inilah yang membuat cerita menjadi memikat.


Latihan Pribadi

Pilihlah sebuah cerita lama. Ambil satu bagian penting narasi yang hanya melibatkan satu atau dua indra. Dalam waktu lima belas menit, cobalah tulis ulang. Libatkan sebanyak mungkin indra. Tunjukkan, jangan jelaskan. Setelah selesai, bandingkan dengan tulisan awalnya.

Sunday, April 15, 2007

Resensi Jangan Berkedip Oleh Dende

Tulisan lengkapnya di sini. Agar jelas, yang dimaksud Dende dengan "novel" dalam konteks ini adalah "karya fiksi". Karena Jangan Berkedip! sebenarnya bukan novel, melainkan antologi cerita sangat pendek. Sebagian kutipannya:

...67 flash fiction dari Isman dan Donna secara bergantian membawa saya pada paradigma menulis yang baru. Bahwa sebenarnya ada cerita, kisah, hal-hal yang bisa diceritakan secara singkat, dengan hanya 1-600 kata per cerita [Yeap, satu kata…]. Kebanyakan dari flash fiction ini memiliki twist ending. Hal inilah yang membuat suatu flash fiction meskipun singkat, tapi membekas.

Bahkan contoh cerita twist bahkan bisa Anda temukan pada covernya [yang sayangnya berilustrasi seperti cover novel-novel teenlit]. Pada cover depan terdapat gambar seorang wanita muda yang membawa handphone dan tas tangan ingin menyebrang jalan, ditarik tangannya dari belakang secara kasar oleh pemuda dengan penampilan berantakan. Perampokan? Tunggu sampai Anda membuka kuping (flap) sampul depan dan melihat gambarnya secara utuh. Kejadian sebenarnya yang terjadi adalah... Baca sendiri...

Monday, April 09, 2007

Ide Tidak Akan Berharga, Tanpa Diwujudkan

Dalam berbagai acara dan kesempatan, banyak sekali hadirin yang berkata, "Saya ingin menulis cerita, tapi idenya masih belum terlalu bagus. Jadi saya cari-cari dulu." Ini adalah pola pikir yang merugikan diri sendiri. Karena dalam penulisan kreatif, ide memang tampak sangat berharga. Tapi hanya kalau sudah diwujudkan.

Sebagai contoh, Donna mendapatkan banyak surat pembaca yang berkata bahwa mereka juga pernah memikirkan ide yang serupa dengan salah satu novel Donna. Terlepas dari benar atau tidak, ada satu perbedaan yang jelas: Donna benar-benar mewujudkan ide itu. Ide Donna menjadi jauh lebih bernilai daripada yang hanya tersimpan di benak.

Derek Sivers, presiden dan pemrogram CD Baby dan HostBaby berkata, "Menurut saya, ide tidak ada harganya kalau tidak direalisasikan. Ide itu sekadar pengali. Realisasilah yang bernilai jutaan."

Hal ini juga berlaku untuk penulisan kreatif. Dengan mengadaptasi contoh Derek mengenai bisnis, nilai suatu karya ditentukan dari pengalian antara dua hal:

1. Ide (cerita):

  • Ide superjelek = 0
  • Ide buruk = 1
  • Ide standar = 25
  • Ide bagus = 100
  • Ide luar biasa = 200

2. Penulisan (dan penceritaan):
  • Tidak dituliskan = Rp100
  • Penulisan buruk = Rp1.000
  • Penulisan standar = Rp100.000
  • Penulisan bagus = Rp1.000.000
  • Penulisan luar biasa = Rp10.000.000

Ide paling hebat, jika tidak dituliskan, hanya bernilai Rp20.000. Bahkan ide standar pun jika ditulis dengan bagus akan berharga Rp25 juta. Dan itu akan lebih bernilai daripada ide luar biasa yang ditulis secara standar (Rp20 juta).

Jangan menghabiskan usaha terlalu banyak untuk mencari ide luar biasa. Cukup milikilah inti pesan yang kuat. Paling jelek, ide kita akan standar.

Apa salahnya? Novel seperti Harry Potter dan Stardust tidak benar-benar memunculkan ide yang baru. J.K. Rowling meramu berbagai mitologi dan hikayat ke dalam plotnya. Tidak perlu saya jelaskan lagi kesuksesan seri ini dalam memikat para pembaca setianya. Lalu, konsep perjalanan bersama dua tokoh asing sehingga menjalin ikatan batin yang kuat juga tidak baru. Tapi Neil Gaiman dapat mengolahnya menjadi novel fantasi yang khas.

Jadi, pusatkanlah usaha kita pada menghasilkan penulisan yang sebaik mungkin, khas kita sendiri. Dengan kata lain: otentik.

Pengarahan Opini dan Penularan Semangat

Membaca tulisan Agung tentang lagu As I Lay Me Down to Sleep-nya Sophie B. Hawkins, saya jadi teringat cerita Direktur Operasional kantor saya, Riza Satria Perdana.

Ia menyetel lagu ini kepada beberapa bawahannya. Sebelumnya, ia berkata, "Perhatiin deh, nanti background vokalnya akan ngomong 'Pulang kampung'." Setelah lagu selesai, ia bertanya, "Benar nggak?"

Semuanya mengangguk.

Lantas ia berkata bahwa lirik sebenarnya bukan itu. "Coba dengar lagi," ujarnya. Dan sambil tersenyum, ia memasang kembali lagu itu.

Semua pendengarnya memasang kuping sambil mengerutkan kening. Tetap saja di akhir lagu mereka berkata, "Bener ah, Pak. 'Pulang kampung' kok."

Padahal lirik sebenarnya adalah "Ooh La Kah Koh". Menurut Ricardo Damanik, Sophie adalah keturunan suku Ballentine, dan ini adalah bahasa asli suku tersebut yang berarti "cucilah kaki sebelum tidur".

Riza lantas menyimpulkan poinnya: inilah yang disebut pengarahan opini. Kalau kita menunjukkan sesuatu pada seseorang sambil menyodorkan opini kita, besar kemungkinan bahwa orang tersebut akan setuju. Ia mencontohkan seorang rekan yang memberikan foto cetak sendiri kepada klien. Rekan tersebut berkata, "Ini fotonya, Pak. Tapi mohon maaf, cetakannya kurang bagus."

Kira-kira apa pendapat sang klien terhadap foto tersebut?

Ini berlaku dua arah. Jika kita menunjukkan sesuatu dengan penuh antusias dan kebanggaan. Orang lain yang melihat pun cenderung akan memiliki opini yang positif.

Tapi jangan sembarangan juga menggunakan teknik ini. Cobalah objeknya yang kita tunjukkan adalah foto penuh gurat-goret dengan campuran warna yang lebih kumal daripada baju bekas pertandingan sepak bola kala hujan. Seberapa semangat pun kita bilang, "Ini, Pak! Bagus banget lho!" tetap saja jelek. Malah bisa mengesalkan orang. "Jelek kok dibilang bagus."

"[Hal ini] cuman berlaku dalam dua kondisi," ujar Riza. "Pertama, kita harus benar-benar percaya pada apa yang kita katakan. Kedua, yang kita katakan tidak jauh-jauh amat dari yang akan orang itu pikirkan tanpa pengaruh kita."

Intinya, apa pun yang kita rasakan tentang hasil kerja kita dapat menular kepada orang lain. Karena itu, kerjakanlah sesuatu yang membuat kita bersemangat, dan dapat kita banggakan. Ini berlaku untuk semua hal. Termasuk blog.