Sunday, September 30, 2007

Laporan UWRF: Berbincang dengan Kiran Desai

Setelah menghilang beberapa tahun, Kiran Desai muncul kembali dengan novel keduanya, Inheritance of Loss, yang langsung memenangkan Man Booker Prize. Kiran menjadi wanita termuda yang memenangkan salah satu penghargaan sastra yang paling bergengsi di dunia ini.

Setelah memperkenalkan Kiran, sang moderator, Nury Vitacchi langsung menodong, "Ayo mengaku saja, ibumu (Anita Desai) yang menulisnya, kan?"

Setelah tawanya mereda, Kiran menjelaskan bahwa ia pun baru menyadari setelah besar bahwa saat di New Delhi, ia tinggal di dekat dua penulis India legendaris. Salah satu di antara mereka bahkan merupakan teman masa kecil ibunya.

"Apakah itu yang mendorong kamu bercita-cita jadi penulis dari kecil?" tanya Nury.

"Tidak. Saya ingin jadi ilmuwan," jawab Kiran. Tapi kemudian ia menyadari bahwa bukan itu yang ia inginkan. Apalagi setelah mempelajari hal-hal seperti kanibalisme jangkrik, walaupun itu adalah salah satu hal yang akhirnya ia gunakan dalam novelnya. Ia mulai menulis setelah mengikuti sebuah lokakarya penulisan. Naskah pertamanya berjudul Twilight and the Office Manuals. Nury langsung berkomentar bahwa pemilihan judulnya sudah jauh lebih membaik sekarang.

Dalam Inheritance of Loss, ada deskripsi memikat mengenai sebuah rumah di tengah hutan. "Bagaimana cara kamu menulis adegan itu?" tanya Nury. "Apakah kamu harus pergi ke satu tempat khusus untuk menulisnya?"

Kiran menggeleng dan berkata bahwa dia menulis di mana saja. "Tapi tidak (termasuk) New York," tambahnya sambil tersenyum. Menurutnya memang ironis bahwa dia harus meninggalkan kota tempat tinggalnya demi menulis.

Nury menanyakan keadaan finansial Kiran. "Apakah kamu ada mata pencaharian lain (di luar menulis)?"

"Tidak," ujar Kiran. Sumber dananya hanya dari royalti novel pertamanya, Hullabaloo in the Guava Orchard, yang sempat memenangkan penghargaan sastra. Dan itu pun terbatas. Sehingga walaupun ia masih bisa makan, ia mengalami kesulitan untuk membayar berbagai tagihan. Kiran bergurau bahwa ia sampai sempat merenungkan nasihat (orang-orang tua India) untuk menikahi seorang pria pebisnis kaya. Namun, ia menyadari bahwa ia sudah melewatkan kesempatan itu pada usianya sekarang (36 tahun pada tanggal 3 September lalu).

"Apakah itu sebabnya kamu menghilang setelah novel pertamamu pada tahun 1998?" tanya Nury. Kiran baru muncul kembali pada tahun 2006 dengan novel keduanya ini.

Kiran mulai menjelaskan, bahwa pertama-tama, draf pertama naskahnya mencapai 1500 halaman. Pada akhirnya, ia berhasil menyunting naskah tersebut menjadi 500 halaman. Tapi bahkan setelah itu selesai, semua penerbit di Inggris menolak menerbitkannya. Semua editor yang ia temui takut menyentuh naskah tersebut. "Jadi siapa lagi yang bisa menyuntingnya?" ujar Kiran. Ia kemudian terpaksa mencari editor lepas. Bahkan editor itu pun menyuarakan pendapat serupa, "[Cerita] ini tidak akan laku." Seorang editor dari The New Yorker bahkan berkata, "Ini adalah buku terburuk yang pernah kubaca."

Setelah memenangkan penghargaan Man Booker Prize, Kiran sempat bertemu dengan editor itu lagi. Dan sang editor berkomentar bahwa, "yang sekarang jauh berbeda dari yang kubaca dulu."

"Sama sekali tidak," ujar Kiran kepada para hadirin. "Ini buku yang sama."

Ayah Kiran juga memberikan komentar, walau hanya menyangkut judul, "Kenapa judulnya begitu? Kenapa kamu tidak menamainya The Loss of Inheritance saja?" Di tengah tawa, Kiran menambahkan, "Dan ia mengira bahwa semua orang akan lebih mudah menangkap [judul itu]."

Kiran mengamati bahwa sebagian besar cerita fiksi sekarang terlihat begitu sempurna. Tertulis sempurna dan terbaca sempurna. Dia mencontohkan cerita-cerita di The New Yorker yang begitu sempurna sehingga "terasa seperti periklanan." Cerita-cerita tersebut bagaikan ditulis untuk orang-orang yang sempurna. "Padahal, kita sama sekali bukan."

Pada sesi tanya jawab, seseorang bertanya bagaimana Kiran menulis novelnya. Apakah ia membuat kerangka terlebih dahulu?

Kiran menggeleng, "Saya tidak memiliki disiplin sama sekali dalam menulis." Ia menjelaskan bahwa ia hanya menuliskan semuanya. Dan kemudian meng-"cut and paste" bagian-bagian hingga terasa benar. Ia menstrukturkan tulisannya berdasarkan emosi yang ingin ia curahkan.

"Apakah Anda menulis novel dengan mengira-ngira seperti apa emosi seseorang ketika membacanya?" tanya seorang lagi. "Tidak," jawab Kiran. "Saya tidak bisa mengukur apa yang akan seseorang rasakan saat membaca karya saya." Menurutnya, dua orang bisa saja mengalami perasaan yang berbeda ketika membaca novel yang sama.

Ketika ditanya apakah kesuksesan dramatis buku keduanya, setelah ditolak oleh begitu banyak penerbit, membuatnya menjadi lebih percaya diri dalam menulis, Kiran menjawab, "Penulisan [kreatif] timbul dari keraguan."

Kiran juga berkomentar bagaimana ia menikmati sambutan Indonesia yang jauh lebih ramah daripada negara-negara Eropa yang pernah ia kunjungi. Imigrasi di benua Eropa cenderung memandangnya dengan penuh curiga. Nury mengakhiri dengan cerita tentang seorang penulis India pernah dipersulit di bagian imigrasi sebuah negara Eropa.

Alasannya? Karena pihak imigrasi mengira penulis tersebut ingin menyelundup masuk untuk menjadi pencuci piring di restoran kari India.

Thursday, September 27, 2007

Cara Mengatasi Kebuntuan Menulis

Saat makan malam bersama di Ary’s Warung, Miles Merrill, seorang penyair dan pementas puisi, berkata bahwa sumber inspirasinya adalah kehidupan. Itulah yang ia tulis. Karena itu, saat mengalami kebuntuan dalam menulis, ia akan keluar dan merangkul hidup, alih-alih mendekap di kamar.

Namun, jika kita mengalami kebuntuan karena kesulitan memilih kata, ia memberikan tip berikut, "Putarlah sebuah lagu tanpa lirik, dan tulislah apa saja yang muncul dalam benak kita."

Jangan takut menodai kertas dengan coretan atau kata-kata yang tak akan terpakai. Justru diksi yang memikat itu baru bisa muncul di antara untaian kata yang tampak tak menarik. Seperti mencari biji emas di antara pasir. Kalau kita tidak menyerok pasir itu, kita tidak akan menemukan emasnya.

Wiratmadinata, seorang penulis dan penyair berlatar belakang jurnalistik, menyampaikan hal serupa dengan cara lain, "Saya akan menulis dan terus menulis. Hingga akhirnya terbiasa. Pada saat itu, [saya] akan sampai pada titik di mana saya tidak bisa berpikir tanpa menulis."

Intinya, yang menciptakan kebuntuan itu adalah keengganan kita sendiri untuk menulis. Karena itu, jalan keluarnya adalah mendobraknya. Dengan menulis.

Saturday, September 22, 2007

Saat Humoris Tidak Boleh Tersenyum

Hari Minggu kemarin (16 September 2007), saya menderita reaksi alergi hebat di sekitar wajah. Penyebabnya? Oxygenated Spray Mustika Ratu.

Berdasarkan label di botolnya, semprotan ini "Mengandung sari TEH HIJAU dan OKSIGEN KOMPLEKS. Memberikan kesegaran dan rasa sejuk pada kulit wajah. Menjadikan kulit lembab dan berseri." Saya coba semprot tiga kali, terus usap di muka.

Ternyata emang seger banget.

Reaksinya memang tidak spontan. Awalnya hanya gatal-gatal dulu. Lantas perih. Besok paginya saat sahur, mata sudah bengkak. Ternyata di beberapa bagian tampak seperti terbakar. Salah satunya di kelopak mata. Kulit wajah juga terasa kaku. Dan karena itu, beberapa bagian, seperti pinggir bibir dan hidung jadi sobek. Setiap kali tersenyum (atau mengupil) perih sekali. Sorenya saya langsung mendaftar di dokter penyakit kulit dan kelamin.

"Oh, ya, ini sih alergi," komentar sang Dokter. Ia pun kemudian menyuruh susternya untuk menyuntik pantat saya. Entah kenapa saya menurut saja. Karena setelah berpikir-pikir aneh juga. Mengapa harus dari pantat, ya? Alerginya kan di wajah? Kenapa nggak di pangkal lengan saja yang lebih dekat ke wajah?

Atau jangan-jangan ada jalan tembus dari pantat ke wajah? Bagus juga kalau ada. Lain kali kalau ada wanita cantik yang mengeluh, "Ini bintik merah di pipi gue apa, ya? Alergi?" saya bisa segera membantu.

"Mau saya periksa dari jalan tembusnya, Mbak?" tawar saya tanpa pamrih.

Sebelum saya sempat menanyakan hal tersebut pada sang Dokter, saya keburu tertegun duluan. Karena sang Dokter ternyata sedang menyemprotkan Oxygenated Spray itu ke lengannya. "Oh," ujarnya sambil mengusap-usap lengannya yang basah. "Ada sabunnya juga toh." Ia menyemprot lagi dan mengusap-usapnya. Lantas menunjukkan sedikit busa yang terbentuk. "Lihat, ada busa, kan?"

"Wow, iya," ujar saya, seakan-akan melihat seekor lumba-lumba menari samba.

"Panas juga nih," tambah sang Dokter lagi. "Pantes aja alergi. Kulit saya juga alergian," ucapnya.

"Kalau gitu ngapain Dokter nyoba segala?" adalah kalimat yang ingin saya lontarkan. Tapi jadinya yang keluar hanya, "Oh, ya?" Dalam hati, saya bersyukur hanya kena reaksi alergi. Coba saya datang sambil sekarat, "Dok, kayaknya saya keracunan arsenik!"

"Mana botolnya!" Ia pun menenggak isinya. "Hmm... kayaknya ada sabunnya. Coba, Suster, tolong suntik pantat Bapak ini." Setelah itu, ia tergeletak tewas.

Namun, bisa jadi sang dokter hanya mempraktikkan prinsip kedokteran pertama di seluruh dunia: eksperimen diri. Ribuan tahun lalu, saat manusia masih sibuk mengejar-ngejar mammoth dan diinjak tyrannosaurus rex, metode kedokteran jelas belum secanggih sekarang.

Seorang manusia purba datang mengeluh, "Ugh. Semprot. Wajah. Sakit."

Dan dokternya akan langsung mendiagnosis keluhan itu. Dengan cara mengetikkan kata kunci "semprotan wajah sakit" pada Google. Dan tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban. Karena internet pada masa itu masih ditenagai pterodactyl pos. Sekali kirim pterodactyl, sampainya kira-kira seminggu. Ini jelas jauh lebih parah daripada Telkom Speedy. Tapi lebih mending daripada Telkomnet Instan.

Jadi, jelas mencari solusi di internet bukanlah solusi medis yang efektif. Dokter di masa prasejarah mungkin terpaksa bereksperimen pada diri sendiri. Dia akan mencoba menyemprotkan itu pada wajahnya. Lantas berusaha menyembuhkan diri. Karena berdasarkan peninggalan lukisan gua, orang-orang pada masa itu senang sekali melemparkan tombak. Jadi kalau ada yang berani-berani menyemprot wajah orang, bisa-bisa disate.

Kembali ke masa kini, saya memastikan apakah gejala yang saya alami masih normal. Jika kulit wajah kering, belah-belah, dan seperti terbakar di beberapa tempat itu bisa dibilang normal.

"Oh, ya memang begitu," jelas sang Dokter. "Kulitnya jadi keras dan kaku gitu, kan? Makanya nggak elastis lagi. Coba kalau karet gelang tiba-tiba jadi keras terus tetap ditarik, jadinya gimana?"

"Aww!" seru saya. Bukan bermaksud menjawab. Tapi karena tanpa sadar tersenyum.

Akhirnya saya pun diberi resep obat dan salep. Ketika menebus obat, petugas apotek menanyakan nomor telepon. Saya pun menyebutkan sederetan angka hingga, "...dua satu empat sembilan..."

Dan ia mengetikkan, "...1149".

"Dua satu empat sembilan, Pak," ujar saya lagi.

Ia memeriksa angkanya. "Iya," ujarnya sambil memegang gagang kacamata. Tapi tidak mengoreksinya. Ia benar-benar mengira bahwa maksud saya adalah dua buah angka satu.

Saya hanya bisa menyayangkan kesempatan yang hilang. Coba tadi bilangnya, "Sepuluh ribu satu empat sembilan." Bisa jadi sampai subuh petugas itu teruuuuus saja mengetikkan angka satu.

Awwww! Dan bibir saya pun sakit lagi.

Malamnya saya mampir di kantor untuk membereskan administrasi proyek. Dan saat mendengar saya tidak bisa tersenyum, Mbak Noey dari bagian administrasi langsung menyeringai lebar dan mengajak bercanda terus.

Aw! Aww! Awwwwawawawawawwwww!

Mungkin inilah definisi masochist bagi seorang humoris: terus tersenyum walau justru itu yang bikin tersiksa.

Kamar Kosan Baru: Blog Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint

Berhubung tulisan tentang presentasi semakin banyak, saya memutuskan untuk menyuruh mereka kos sendiri di ruang sebelah: Blog Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint.

Pembagiannya menjadi:


  1. Bertanya Atau Mati: ngalor-ngidul, dunia komedi, berbagi, dan penulisan kreatif.

  2. Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint: presentasi.

  3. The Fool Has Landed: ngalor-ngidul dalam bahasa Inggris, termasuk seri "five minutes" (parodi film dalam lima menit).



Semoga dengan begini, para pengunjung jadi lebih jelas--mau ke mana, cari siapa.

____________

PS: Perubahan ini tidak akan terasa di apartemen saya di multiply. Yang memang semuanya tumplek di situ.

Friday, September 14, 2007

Tips Mendayagunakan Kelingking Bengkok

Minggu kemarin, saya cedera saat bermain futsal. Lagi. Kalau dulu jempol kanan dan jari manis kiri yang bengkak karena terkilir. Kini giliran kelingking kiri.

Bengkok.


Jangan khawatir, tidak sesakit kelihatannya kok. (Walaupun ini biasanya adalah kalimat yang diucapkan hampir semua dokter gigi saat menyalakan bor.)


Dengan kebetulan yang hebat, salah satu teman futsal juga keseleo pergelangan kaki. Dan seorang lagi kecelakaan motor, sehingga tangan kiri digips. Ini jelas membuat rencana pertandingan persahabatan dengan tim Bank Jabar tertunda. Apalagi kalau mereka mendapatkan kesan yang keliru.

"Gimana rencana tanding? Jadi nggak?" tanya orang Bank Jabar.

"Tunda beberapa minggu deh. Pemain kami ada yang cedera setelah terakhir main minggu lalu."

"Oh, ya? Kenapa?"

"Kelingking kiper bengkok. Beknya cedera pergelangan kaki--sekarang bengkak segede betis. Penyerangnya patah tangan. Bulan depan aja setelah Lebaran, gimana?"

"Euh," dia menelan ludah. "Nggak usah buru-buru deh. Lagipula kayaknya kami juga bakal sibuk banget nih." Ia menjentikkan jari, "Bagaimana kalau kami carikan saja lawan buat kalian? "Kayaknya bank pesaing kami pegawainya sehat-sehat--eh, maksud kami suka futsal deh."

Lagipula, istilah "pertandingan persahabatan" itu sendiri aneh. Pertandingan, persahabatan? Bukannya itu kontradiksi? Saya tidak pernah membaca komentar di koran, misalnya dari Gubernur DKI Jaya, "Damainya Jakarta kalau ada pertandingan persahabatan dengan Persib. Seharusnya ini diadakan lebih sering." Atau judul berita, "Kriminalitas Menurun Akibat Pertandingan Persahabatan".

Kembali ke topik, sampai saat ini kelingking saya masih belum kembali ke jalan yang lurus. Sudah diurut dua kali. Tapi belum ada kepastian kapan akan sembuh. Karena itu, untuk sementara, saya mencari-cari manfaatnya sebelum kembali normal.

Manfaat pertama adalah sebagai penyelamat jiwa teman di bulan puasa. Misalkan teman kita sedang dikejar-kejar perampok dengan golok yang lebih besar daripada paha kita. Dia bersembunyi di balik tembok. Dan si rampok bertanya pada kita, "Lihat orang yang mau saya rampok nggak?"

Tidak baik berbohong, kan? Apalagi saat bulan puasa. Karena itu, kita tinggal tunjuk saja. Tapi dengan kelingking yang bengkok.


"Dia ke sana tuh!"


Dan perampok itu pun akan berlari mengejar ke arah yang salah. Kita jadi menyelamatkan nyawa teman. Plus tidak berbohong. Hebat! (Berharaplah perampok tersebut tidak membaca blog ini.)

Manfaat lainnya, adalah alat bantu kebersihan yang tak menarik perhatian. Terutama jika kita harus menunggu lama di satu tempat. Misalnya saat mengurus paspor.


Tampak menunggu dengan tenang. Bertopang dagu sendirian. Padahal...



...siap beraksi!


Dan tidak akan ada yang sadar. (Kecuali kalau tersangkut.)

Masih banyak manfaat yang lebih hebat: bermain boneka bayangan, mengajak cantelan, dan lain-lain. Silakan temukan dan raih manfaat sendiri! Dan jika ternyata kelingking kanan Anda yang bengkok, jangan ajak saya salaman. Cuci tangan dulu gih.

Tuesday, September 11, 2007

Mimpi Sepuluh Tahun

Beberapa hari terakhir ini, saya terlempar ke masa sepuluh tahun lalu. Saat saya lebih sering mencorat-coret buku sketsa, ketimbang menulis algoritma program. Salah satu mimpi saya saat itu adalah memiliki model rangka untuk menggambar. Seiring waktu, keinginan itu terlupakan.

Tidak sangka, akhirnya mimpi itu terjadi sepuluh tahun kemudian. Dan rasanya masih sama seperti dulu. Mungkin seperti pensiunan pemain liga basket Amerika yang kembali bermain bersama. Atau personil grup musik rock lawas yang mengadakan tur reuni.

Tangan tak terlatih selama bertahun-tahun yang tiba-tiba bergerak sendiri. Perasaan merinding yang merambati tulang belakang saat bayangan dalam benak saya mewujud di kertas kosong. Keterhubungan antara saya dan objek gambar yang melempar diri dalam jagad kosong. Peluh yang mengalir, seakan menantang udara dingin.

Berkat model rangka ini, saya kini bisa menggambarkan pose orang-orang yang khidmat dan sendu. Pose yang menunjukkan kesopanan dan hakiki manusia. Pose seperti ini.


Pria sigap penolong wanita terjerembab



Wanita yang saking terharunya, berniat menendang si pria


Pria: "Kalau kau bersihkan belekku, aku akan bersihkan, euh..."


_______________

Terima kasih, Ndi.

Tuesday, September 04, 2007

Necessity is the Mother of Action

Anda pernah ikut program outbound? Salah satu kegiatan yang biasanya masuk dalam program ini adalah flying fox. Intinya, kita akan menyeberangi jurang atau sungai dengan meluncuri tali dari ujung ke ujung. Tubuh kita diikat pada sebuah katrol beroda. Dan tangan kita memegang batang gantungan untuk menyeimbangkan tubuh saat meluncur. Titik pendaratan biasanya lebih rendah dari titik pemberangkatan. Jadi asalkan kita berani meloncat maju, gravitasi akan membantu kita sampai dalam beberapa detik saja.

Tetap saja, ini adalah pengalaman yang menegangkan bagi banyak orang. Ada saja yang akhirnya menolak atau batal meluncur.

Rasa takut itu wajar. Siapa yang bisa menjamin bahwa semua ini benar-benar aman? Bukankah risiko terjadi sesuatu di luar dugaan itu akan selalu ada? Dan juga, kenapa kita harus melakukan ini? Bukankah selama ini baik-baik saja?

Sekarang, mari kita beralih ribuan kilometer, ke Lembah Besar Nujiang. Di sini, anak-anak dari usia tujuh tahun berangkat ke sekolah dengan menggunakan "flying fox". Sebuah sungai lebar dan deras menghalangi jalan mereka. Dan satu-satunya cara adalah mengikat diri pada kerekan lantas meniti tali ke seberang. Gravitasi hanya menolong mereka hingga tengah sungai. Setelah itu, mereka harus menarik tubuh mereka sendiri sampai ujung. Satu-satunya pengaman hanyalah sabuk yang diikatkan di pinggang.

Ini bukan contoh satu-satunya. Anak-anak di salah satu desa terpencil Kolombia juga melakukan hal serupa. Dan mereka melakukannya pada ketinggian 365 meter. Seorang perempuan bernama Daisy bahkan meniti tali sambil menggendong keranjang berisi anaknya yang berusia tujuh tahun. Sekitar enam puluh orang menggunakan metoda transportasi ini tiap hari. Dan untungnya, tidak pernah terjadi kecelakaan berat.

Apa yang membedakan kita dengan mereka? Tuntutan dan kebutuhan. Ketika ada berbagai jalur lain yang tampak lebih aman, kita cenderung memilih itu. Ini karakteristik dasar manusia. Mereka berani dan membiasakan diri meniti jurang atau sungai karena memang tak ada alternatif lain. Saya yakin bahwa pada dasarnya tiap manusia pun memiliki potensi semangat juang dan adaptasi yang sama. Kalau kita terlahir di situ, kita pun akan seperti mereka. Memacu diri untuk maju, walau harus mempertaruhkan nyawa.

Karena itu, pada situasi tertentu, cobalah sudutkan diri kita sendiri. Misalnya, dalam berbicara. Kita tahu bahwa kemampuan berbicara di depan umum itu baik. Dan semakin banyak praktik semakin baik. Namun, kita enggan memulai. Muncullah alasan, "Kan ada yang lebih jago." Atau, "Kesempatannya juga nggak ada tuh. Kalau ada yang tiba-tiba nelepon minta sih boleh-boleh aja."

Salah satu materi panggung Jerry Seinfeld yang paling terkenal adalah saat ia membahas survei nasional tentang apa yang paling ditakuti warga negara Amerika. Peringkat nomor dua adalah kematian. Dan yang pertama adalah bicara di depan umum. "Kalau begitu," simpulnya, "saat menghadiri pemakaman, kita lebih suka berada di dalam peti mati daripada membawakan eulogy (pidato tribut bagi yang meninggal)."

Pada saat seperti ini, berhentilah membuat alasan. Sudutkanlah diri kita sendiri. Katakan pada rekan kerja bahwa presentasi berikut kita yang akan membawakannya. Saat ada tawaran berbicara di depan umum, langsunglah bilang, "Ya!" sebelum otak kita menciptakan alasan. Jangan tunggu telepon. Kitalah yang menelepon duluan menawarkan suatu materi. Saat diterima, segera akhiri pembicaraan sebelum kita mulai ragu dan bertanya, "Lho, kok mau sih? Yakin nih?"

Dan dengan begitu, kita pun tersudutkan. Tanggal sudah ada. Topik sudah ditentukan. Hadirin akan datang dan menunggu kedatangan Anda. Jurang itu sudah di depan mata. Dan kita perlu menyeberanginya.

Susunlah materi kita seakan-akan nyawa kita taruhannya. Siapkan tali, pengaman, dan cek ulang semua. Pada hari-H, tariklah napas panjang. Pandangi langsung jurang tersebut. Dan meluncurlah.

Saturday, September 01, 2007

Cara Paling Ampuh Membunuh Minat Hadirin

Bukalah presentasi dengan slide penuh teks... dan bacalah kata per kata.

Dalam buku Laugh and Learn, Doni Tamblyn menyampaikan bahwa begitu mulai berbicara, kita hanya punya sepuluh detik untuk menangkap perhatian hadirin selama lima menit ke depan. Walaupun angka ini bisa berbeda-beda di berbagai budaya, pesannya tetap universal: kita perlu memiliki pembuka yang menggebrak.

Dalam putaran final Imagine Cup 2007, Tim Aksara (wakil Indonesia) memproduksi video khusus untuk menggugah emosi hadirin dari awal. Namun, pembuka yang menarik perhatian sebenarnya tidak harus serumit itu. Ini sekadar satu cara.

Wakil Austria, misalnya, mempraktikkan pembuka presentasi yang sederhana. Tapi menarik. Produk yang mereka presentasikan adalah flipchart elektronis. Bentuknya seperti flipchart biasa, namun sebenarnya layar proyeksi komputer. Dan kita bisa menulisi permukaannya dengan pena khusus.

Para tim sebelum Austria membuka dengan pola serupa: perkenalan diri, lantas perkenalan produk. Dan ini mulai menjadi pola yang membosankan. Perhatian penonton tampak ke mana-mana. Ada yang mengobrol atau mengambil foto. Dalam Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint, saya mengingatkan akan bahayanya dosa besar ketiga: membosankan. Ini sama fatalnya dengan menyulitkan pembacaan.

Dan Tim Austria tampaknya sadar akan hal itu. Sayangnya, mereka tidak menyiapkan materi khusus untuk pembuka. Mereka tidak menyiapkan video pembuka khusus, misalnya, seperti yang dilakukan Tim Aksara. Hanya berbekalkan produk dan rekaman mereka saat menggunakan produk. Bagaimana mereka bisa mengawali dengan gebrakan?

Tanpa berlama-lama, juru bicara mereka melangkah ke arah flipchart dan menuliskan besar-besar, "AUSTRALIA". Ia kemudian menghadap para juri. "Ini," ujarnya, "adalah kebiasaan mayoritas orang mengeja nama negara kami."

Hadirin tergelak.

Sang juru bicara lantas menghapus huruf "A" dan "L" secara elektronis. "Seharusnya begini. Di negara kami tidak ada kangguru!" protesnya.

Gelak tawa pun menyebar.

Dalam beberapa detik pertama, ia berhasil memikat hadirin, sekaligus mengenalkan kelompok dan produk secara sekilas. Berikutnya, saat ia menjelaskan lebih detail, perhatian penonton pun sudah terarah sepenuhnya pada presentasi ini.

Banyak cara sederhana yang bisa kita lakukan untuk memikat hadirin dari awal.

Seorang teman[1] yang menjadi guru bimbel pernah memasuki kelas yang gaduh. Ia dengan tenang mengambil spidol dan menggambar jalinan jaring di papan putih. Terusik rasa ingin tahu, kegaduhan pun mereda. Hingga akhirnya hening. Hanya terdengar suara goresan spidol. Teman saya lantas berbalik dan bertanya, "Ada yang tahu apa yang baru saja dijerat oleh jaring ini?"

Sejumlah kepala menggeleng.

"Perhatian kalian," ujar teman saya sambil tersenyum.

Temukanlah cara-cara untuk memikat hadirin kita dari awal. Hasil penerapannya bisa jadi akan mengejutkan kita sendiri.

_____________________

[1]: Yang entah kenapa tidak mau saya sebut namanya. Mungkin karena mengira saya akan menulis kisah-kisah memalukan seperti di buku Bertanya atau Mati!

KSK #14 (Terakhir): Sampai Jumpa



Dan akhirnya seri ini berakhir juga. Saya (ya, dan kamu juga, Aza) memulai strip komik keluarga (KSK) ini karena ingin mempraktikkan apa yang saya omongkan: membuat jalur bebas hambatan ide dengan menulis dalam berbagai bentuk lain. Saya menetapkan diri untuk menghasilkan satu komik strip per hari. Selama dua minggu (awalnya ingin sebulan, tapi ternyata bentrok dengan persiapan Festival Penulis dan Pembaca di Ubud).

Saya memilih komik strip karena dua alasan. Pertama, karena saat menganjurkan untuk mencoba menulis komik strip, saya terlalu sering mendengar jawaban, "Ah, aku kan nggak bisa gambar." Gunakan saja foto seperti KSK ini. Atau manfaatkan strip generator seperti Richoz. Saat kita membatasi diri oleh alasan, satu-satunya yang rugi adalah diri sendiri. Dalam dunia kreatif, lebih baik mencoba. Hal paling buruk yang mungkin terjadi hanyalah: kita jadi tahu ide mana yang bekerja dan mana yang tidak. Dalam kamus saya, itu malah bagus.

Kedua, karena saya sempat mengkritik bahwa komikus Indonesia jarang menelurkan komik strip berdialog. Karena ini juga, keberadaan komik seperti Kapten Kilat Khusus bagaikan mampir ke kantor pada Minggu siang yang panas, dan menyalakan AC. Sejuk, plus tidak perlu kerja.

Terakhir, saya ingin mengutip Douglas Adams, "So long, and thanks for all the fish!"




Komik Strip Keluarga sebelumnya: Derita Mainan 2.