Tuesday, October 30, 2007

Pembalap F1, Toilet, dan Kaleng Coca-Cola

X-Trans. Itu adalah perhentian pertama saya dan Yudi pada hari Sabtu, 27 Oktober 2007, jam enam pagi, sebelum menuju Pesta Blogger 2007. Kami memutuskan naik shuttle service karena jika kami mengemudi mobil sendiri, kemungkinan besar kami akan datang terlambat satu jam... di Ciamis. Bukan salah Yudi, tentunya. Sebagai navigator, dia cukup tahu jalur mana yang harus diambil. Walau kadang-kadang terlambat.

"Itu harusnya belok kiri, Man," tunjuk Yudi ke belakang.

"Terima kasih banyak, Yud," jawab saya. "Lain kali, tolong setengah menit lebih cepat, ya?"

Namun, seperti yang saya bilang, itu bukan salah dia. Kalaupun tepat waktu, saya yakin tidak akan beres juga. Karena saya sering kesulitan menentukan mana kanan dan kiri. Konon ini salah satu kutukan orang Sunda. Entah juga. Tapi yang jelas, saat saya kuliah, pernah kami berangkat dalam mobil seorang teman bernama Dindin. Navigatornya adalah Wiro. Dindin orang Sunda asli. Sementara Wiro sudah cukup lama di Bandung sampai tidak bisa dibedakan lagi aslinya apa.

Kami sedang mencari jalan Badak Singa. Pada satu perempatan, Wiro memberi isyarat, "Di sini belok kiri, Din."

Dindin pun belok ke kanan. Dan benar saja, di situ terpampang, "Jalan Badak Singa".

Saya tidak yakin Yudi dan saya punya hubungan batin sekuat itu. Jadi kami memutuskan menggunakan jasa X-Trans saja.

Mengapa X-Trans? Jelas bukan karena kenyamanan. Kursi mobil Preggio mereka sudah dirancang ulang oleh makhluk luar angkasa, yang sepertinya memiliki tinggi badan satu meter, berat tiga puluh kilogram, dan leher sepanjang setengah meter. Saya curiga lama-lama X-Trans akan bekerja sama dengan panti pijat.

Tidak. Kami memilihnya karena titik keberangkatannya dekat (di Cihampelas). Dan tujuannya juga dekat Grand Indonesia (di Blora).

Acara Pesta Blogger sendiri direncanakan akan mulai jam setengah sebelas. Dengan berangkat jam enam pagi, kami berharap tiba pukul setengah sepuluh. Cukuplah untuk santai terlebih dahulu.

Ternyata kami salah. Mobil mencapai ruas jalan Thamrin pada jam 7:37. Satu setengah jam! Jangan-jangan menyupir shuttle service ini hanya pekerjaan sampingan. Bisa jadi sang supir sebenarnya pembalap F1.

Akhirnya, saya dan Yudi memecahkan dua rekor pribadi sekaligus hari itu. Perjalanan tercepat, Bandung-Blora (140-an kilometer): 1,5 jam. Dan perjalanan terlambat, Blora-Grand Indonesia (1 kilometer): 1,2 jam. Kami pun tiba di Grand Indonesia sekitar jam 10 kurang dua puluh menit.

Dengan lega, kami langsung menuju tujuan kami: toilet. Yang ternyata tak bisa dibuka. "Toiletnya baru buka jam sepuluh, Mas," ujar seorang petugas kebersihan.

"Jadi, Mas sebelum ini buang air di mana?" tanya saya.

Dia hanya tersenyum, sambil menunduk ke arah ember berisi air yang ia pakai untuk mengepel.

Oke, lebih baik jangan tanya. Ya sudah, saya dan Yudi pun memutuskan naik ke tingkat delapan, dengan menaiki lift--yang tidak bisa dibuka juga.

Seorang petugas kebersihan berkata, "Liftnya--"

"Baru buka jam sepuluh?" potong saya.

Alisnya mengangkat, "Lho, kok tahu?"

"Mas juga..." saya melirik ke arah embernya.

Dia hanya tersenyum.

Kami pun naik escalator. Sambil menghindari bagian lantai yang basah. Akhirnya, kami sampai ke lokasi. Dan bertemu Ira Lathief yang dengan tenang berkata, "Iya, tadi aku naik lift."

"Lho, tadi belum jalan."

"Udah kok."

Saya hanya berpandangan sebal dengan Yudi. Untunglah toilet di Blitz Megaplex sudah buka, sehingga kami tidak perlu menghadap ke meja pendaftaran sambil menari-nari di tempat. Dan kami pun jadinya sempat berfoto-foto selagi sepi.



Pos Kota: Frustrasi tidak menemukan toilet, seorang blogger melompat dari tingkat 8 Grand Indonesia, dan menabrak papan dalam Blitz Megaplex. (Foto:Yudi)


Teringat bahwa tempat mungkin terbatas, kami pun mendaftar.

"Sudah ada entry code?" tanya panitia pendaftaran.

"Sudah," angguk saya dan Yudi, bersiap-siap mengetikkan kode tersebut... namun, kok nggak ada komputer, ya?

Lantas sang panitia hanya membuka lembaran kertas, "Namanya siapa?" Ia mencari-cari. "Isman?" Masih mencari-cari, "Oh, ini." Ia lantas menggarisnya dengan stabillo. "Oke, sudah terdaftar."

"Itu saja?" tanya saya takjub. "Nggak harus memasukkan kode seperti yang ditulis di email?"

"Nggak," gelengnya.

Masih takjub, kami bertemu Enda yang langsung tersenyum. "Oh, yang di email? Itu hanya gertakan," candanya.

Tahu begitu, sebenarnya siapa pun bisa masuk. Tinggal mengaku ada entry code. Lantas saat ditanya, "Namanya siapa?" jawablah dengan bergumam, "vldfdlldfbbbldf".

"Siapa?" tanya sang panitia sambil menelusuri daftar.

"Nah, itu dia," tunjuk Anda ke satu nama yang belum digaris.

"Sang panitia mungkin akan menatap curiga, "Vina?"

Dan jika Anda seorang laki-laki, di sinilah kemampuan Anda diuji. Tetaplah tenang. "Ada masalah? Enda juga laki, kan?"

"Ya," ujar sang panitia, "tapi blog Enda tidak bernama 'rahasiawanita.blogspot.com'."

Oke, mungkin ini bukan cara yang bagus juga. Terutama jika kita tipe yang bermaksud berkenalan dengan para blogger maupun komunitas lain. Saya sendiri memang datang ke acara ini dengan tujuan itu. Saking seringnya ngobrol dan salaman, saya malah tidak sempat banyak memfoto. Padahal sudah berat-berat bawa kamera. Bahkan foto bareng Bang Wimar saja sebenarnya diambilkan oleh Rizka.


Wimar: "Apakah semua penulis humor seceria kamu?"
Isman: "Hanya jika mereka harus berfoto saat menduduki kaleng Coca Cola." (Foto: Rizka)



Saya senang menghadiri acara tersebut. Banyak bertemu orang-orang yang tadinya hanya saya bayangkan melalui ceritanya. Dan bisa jadi untung juga bagi mereka, karena bayangan saya ternyata selalu lebih cacat dari aslinya. Setelah bertemu, ternyata kelakuannya normal-normal saja. Jangan-jangan malah saya yang dianggap lebih cacat aslinya daripada bayangannya. Padahal jelas-jelas tidak; pendiam, tenang, dan serius.

Saking seriusnya, saat kamera menyorot saya dan menampilkan citra di layar lebar bioskop, saya dengan serius menanggapinya... dengan memainkan sandiwara tangan. Judulnya, "Seekor Anjing yang Tidak Bisa Nge-Blog Karena Tidak Bisa Mengetik".

(Catatan pribadi: acara tahun depan bawa boneka tangan.)

Saya sempat bertemu seorang teman yang mewakili blog-nya karena mendapatkan nominasi. Namun, ada satu hal: seharusnya ketiga kontributor blog itu anonim. "Lah, kalau muncul di sini, mau anonim gimana, dong?"

Dia hanya tertawa. "Ya mau gimana, ya, Man?"

Ironisnya, blog dia dan teman-temannya pun menang. Jadi entah masih anonim atau tidak. Selamat ya, F--euh, TemankuYangEntahMasihAnonimAtauTidak!

Tentang apa yang terjadi di acara sih sudah banyak yang meliput. Jadi saya tidak perlu membahasnya. Cukup cari saja tulisan dengan tag pb2007. Bejibun.

Selamat untuk para panitia penyelenggara! Untuk sebagian wakil pemerintah yang menunjukkan bahwa kita masih memiliki sesuatu yang bisa kita banggakan--dan tidak bisa dihakpatenkan negara lain. Dan untuk para blogger yang menunjukkan bahwa satu tetes air mungkin kecil, namun bersama kita bisa jadi air minum botolan yang dijual lebih mahal daripada BB--bukan, maksud saya, menjadi kekuatan yang bukan hanya sekadar menggagas ide, melainkan juga bertindak nyata.

Ajuan tindakan nyata pertama: dobrak pintu toilet!

Monday, October 29, 2007

Celoteh Anak (Yang Gawat Karena Suaranya Tidak Bisa Dikecilkan Dengan Remote)

Peringatan: tulisan di bawah meliputi penggunaan kata yang bisa mensukseskan diet rendah kalori Anda. Jika bukan itu yang Anda inginkan, silakan mundur dari layar komputer, dan tontonlah Wisata Kuliner.


__________________________


Pagi tadi saya bolak-balik WC karena diare. Begitu saya keluar, Aza langsung mengendus-endus. "Papih kok bau, sih?"

Sebagai penulis humor, kadang saya terbiasa menyeletuk sebelum selesai mikir, "Kalau kamu bisa propot harum, kasih tahu Papih, ya?" Propot adalah istilah kami untuk menyebut buang air besar. Satu hal yang saya pelajari dengan menjadi orangtua: bendahara kosa kata kami bertambah dengan istilah yang diciptakan berdasarkan efek suara.

Berhubung, serangan kembali datang, saya kembali masuk ke WC. Dan saat menutup pintu, saya baru mulai sadar. "Uh oh," pikir saya. Aza, sebagaimana halnya anak berusia tiga tahun lainnya, masih menanggapi semua sarkasme secara harfiah.

Dari balik pintu terdengar suara Aza bertanya kepada asisten kami, "Bi, Papih kok bau, sih?"

Sialan.

"Aza, mandi yuk?" terdengar suara Bi Nina, sang asisten, mengajak.

"Iya. Tapi kok Papih bau?" suara Aza malah makin mengeras. Jika Aza adalah TV, volumenya hanya bisa diset dalam dua modus: "Sunyi" dan "Vokalis Rock".

Saya hanya bisa membenamkan wajah dalam telapak tangan, berharap tidak ada tamu. Saya sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi.

"Pagi, Aza," sapa seorang tetangga dari celah pintu. "Papahnya ada?"

"Papih ada, tapi lagi bau!"

Atau

"Pos," seru sang pengantar PT Pos.

"Papih nggak bisa keluar," teriak Aza dari balik jendela. "Lagi bau!"

Jangan-jangan yang menelepon rumah saya pun sudah mengetahui kode itu. "Halo," sapa sang penelepon. "Masih bau?"

"Masih!" teriak Aza.

Saya memutuskan untuk mandi sekalian. Dan untunglah tidak ada tamu. Jadi saya bisa melenggang keluar tanpa perlu menyamar jadi tumpukan cucian.

Saat itulah, Aza menyambut saya. "Papih masih bau?" Rambutnya tampak kelimis. Bajunya sudah berganti, dari kostum Spiderman menjadi Superman (walaupun Superman yang ini menggunakan celana panjang longgar dan popok--yang untungnya--di dalam).

"Nggak dong," senyum saya. "Papih udah mandi."

"Aza juga," ia medekat sambil menandak-nandak. "Tadi propot."

Uh oh.

Ia kemudian naik ke sofa, lantas menungging. "Coba Papih cium bokong Aza, harum nggak?"


____________

Tulisan Serupa:

Monday, October 22, 2007

Delapan Hal Tentang Isman...

...yang sebenarnya ingin ia tulis semenarik Tujuh Keajaiban Dunia, dengan kisah penuh darah, perjuangan, dan cinta kasih. Namun, tidak bisa karena:

  1. Isinya bakal berisi kebohongan semata, dan
  2. Bahkan orangtuanya pun tidak akan percaya
Kembali ke pembicaraan yang lebih serius, saya berbagi delapan hal berikut karena ditoel oleh Gina, seorang ilustrator yang sama-sama gemar animasi Totoro. Dan (di masa depan) oleh Rangga, seorang penulis yang cukup kredibel untuk jadi Superman (tidak takut ketinggian)--asalkan tidak sakit gigi.

Seorang teman saya pernah berkata, "Siapa pun yang gemar Totoro pasti orang baik." Mari kita lupakan sejenak bahwa ia sendiri adalah penggemar Totoro (dan ia mengatakan itu dalam rangka pedekate); apa yang ia katakan benar juga. Saya tidak pernah melihat tajuk berita yang berbunyi, "Penggemar Totoro menembaki teman-teman sekolahnya." Jadi Gina adalah orang baik... sampai ada tajuk berita yang menunjukkan sebaliknya.

Awalnya, saya berniat menunggu dulu hingga ada Delapan Hal yang Sungguh Sangat Menarik untuk Dibagi. Misalnya, saat ada pembajakan pesawat terbang dan saya menggagalkannya. Termasuk keberhasilan saya mendaratkan pesawat tersebut ketika pilotnya pingsan, walaupun:
  • Kemampuan saya mengemudi pesawat terbang setara dengan kompetensi seekor cicak mengendarai mobil.
  • Bahkan cicak itu masih memiliki kemungkinan bertahan hidup lebih tinggi.


  • Arahan dari menara pengendali malah membingungkan.

  • "Man," ujar menara pengendali, "kamu bakalan nabrak menara kalau nggak membelokkan pesawat ke kanan--"

    "Kanan?" tanyaku. "Kanan saya atau kanan kamu?"

    "Haduh. Ya sudah, putar saja sejauh tujuh puluh derajat."

    "Tujuh puluh derajat ke kanan atau ke kiri?"

    "Ampuuuun!" seru operator menara pengendali panik. "Gerakkan ke arah jam dua! JAM DUA! CEPAAAAAT!"

    "Yah," keluh saya, "saya pakenya jam digital nih."

    BLEDAAAARRRRRR!!!


  • Saya sulit bergerak; semua pramugari cantik dan seksi di sekitar akan berpegangan pada saya untuk mencari ketenangan.
  • Saya sendiri malah tidak akan tenang. Karena saya sadar--jika ini terjadi di dunia nyata--kalaupun saya selamat, mitra hidup sayalah yang akan membunuh saya.

Terus terang, kemungkinan itu terjadi sama besarnya seperti mengharapkan kilat menyambar seorang politikus tepat saat ia berkata, "Kalau saya bohong, biar kesambar gledek." Hanya akan ada di film yang kita bikin sendiri. Dan yang nonton hanyalah mereka yang kita janjikan tiket dan makan-makan gratis.

Karena itu, lebih baik saya bagi saja delapan hal yang ada:
  1. Jari saya masih bengkok

  2. Berdasarkan statistika asal yang saya pungut di internet, rata-rata lama cedera saya per pertandingan sudah melebihi rata-rata satu klub liga Inggris. Tapi kok ya nggak jera-jera main futsal? Sepertinya ada bagian otak primitif manusia yang selalu meremehkan bahaya. Saya yakin ini bagian otak yang sama yang membisiki manusia gua berjuta-juta tahun lalu, "Hajar aja! Dia gede badan doang. Namanya aja lucu, T-rex. Pasti aslinya cuman dinosaurus dongo pemakan tumbuha--" HAAP! KRAUK! GLUG!


  3. Saya menjadi semi-masochist dalam berhubungan dengan luka, akibat nonton Rambo

  4. Dalam Rambo II, ada adegan di mana ia mencongkel peluru dari dadanya, membubuhkan mesiu, dan dengan gagah membakar lukanya. (Setelah itu, dengan tak kalah gagahnya, ia pingsan.) Tayangan ini begitu membekas sehingga semasa kecil, saya dengan gagah berani membekap luka dengan alkohol, meneteskan Betadine, memberi salep, dan membalutnya seakan-akan di medan perang. (Untunglah saat itu saya gagal menemukan alasan yang cukup gagah untuk pura-pura pingsan.) Meskipun memudar seiring usia, jejaknya masih ada. Sehingga walaupun shin se yang mengurus cedera saya sangatlah efektif menjadi penyiksa tawanan perang, saya tetap datang ke tempatnya untuk mengurut cedera. Dia sendiri takjub, karena saya adalah pasien pertama yang datang dengan membawa handuk sendiri. Dan bukan untuk mengelap keringat. Melainkan untuk membekap mulut supaya tidak berteriak.


  5. Walaupun banyak melahap buku-buku teknik ingatan karangan Harry Lorayne maupun Tony Buzan, saya tetap pelupa

  6. Saya bahkan pernah ingat membawa pesanan makanan untuk seorang teman. Tapi lupa membawa sang teman.


  7. Saya adalah Pemburu Ketidakacuhan Semantik


  8. Dan Anggota Perkumpulan Pembaca dalam Toilet--termasuk sebagai ketua, sekretaris, dan koordinator pelaksana harian

  9. Buku-buku seperti Bartimaeus Trilogy, Anansi Boys, atau Kartun Genetika kutamatkan dalam toilet. Tip: sebisa mungkin, pilihlah cerita yang cukup menegangkan sehingga membantu kita mengejan tanpa sadar. Tip untuk membaca tip yang tadi: jangan baca dan bayangkan tip tersebut saat lagi makan.


  10. Dalam penulisan kreatif, saya cenderung menggunakan metode ilmiah yang terukur untuk menimbulkan inspirasi

  11. Sebagai contoh, saat bekerja sama dengan kantor Gina terdahulu, saya pernah datang dengan mengenakan pakaian kantor biasa; kemeja dan celana panjang. Hanya plus kaos kaki sepakbola merah dan sarung. Saking ilmiahnya, petugas satpam gedung sering bereaksi dengan cara yang dalam istilah teknis ilmiah disebut "menahan tawa".


  12. Saya sendiri adalah pribadi yang tenang, serius, dan pendiam.


  13. Tapi entah kenapa, ada saja yang tidak percaya pada poin tujuh.

Agar meme ini tidak menular ke mana-mana saya potong di sini. Mari berharap bulan depan tidak muncul meme baru yang berjudul "Sepuluh Hal Tentang Kita". Karena berdasarkan tren kemunculan, bisa jadi sepuluh tahun mendatang, kita harus mengisi "200 Hal Tentang Kita".

Mari jujur saja. Tulisan blog yang memuat dua ratus hal tentang apa pun, tidak akan menarik. Bukan masalah materi. Ini masalah rentang konsentrasi. Dan minat. Belum lagi waktu yang terpakai untuk mengisinya. Mari cukupkan pada delapan saja, dan habiskan waktu sisa kita untuk jalan-jalan keluar. Atau berolahraga.

Asal jangan bengkokkan kelingking Anda.

Tuesday, October 16, 2007

Poetry Slam!: Adu Berpuisi

Poetry slam atau adu puisi adalah sebutan untuk kompetisi pembacaan puisi. Siapa pun bebas mendaftar dan tampil di panggung untuk membacakan karya mereka. Penampilan tiap peserta kemudian akan dinilai. Umumnya peserta harus membaca karya sendiri. Namun ada juga yang tidak.

Adu puisi sangat populer di Amerika. Pertama kali dikenalkan oleh Marc Smith pada tahun 1984 di Chicago, kini bahkan ada kompetisi National Poetry Slam yang diikuti hingga 75 tim dan diselenggarakan berhari-hari. Populernya kontes berpuisi ini juga yang memicu kemunculan pementas syair (performance poet), para penyair yang memunculkan kekuatan kata melalui dengan mementaskannya. Termasuk di antaranya penyair hip-hop. Penyelenggaraan poetry slam sudah meluas hingga negara-negara Eropa. Di Asia-Pasifik, Singapura dan Australia termasuk yang sudah sering menyelenggarakan ajang serupa.

Di Indonesia, adu puisi masih jarang kita temui. Karena itu, "Better Read than Dead" Poetry Slam di Bebek Bengil adalah satu acara yang saya tunggu-tunggu.


Suasana Apresiatif
Hal Judge menjadi MC acara dan membawakannya sesantai DJ stasiun radio. Untuk mencairkan suasana penonton yang beragam (warga asing dan Indonesia), misalnya, ia menceritakan berbagai kecelakaan berbahasa yang ia catat selama di Indonesia. Sebagai contoh, di Ubud ia pernah disapa seorang warga lokal, "Hai, Haley. Mau ke mana?"

Berhubung Hal baru mempelajari idiom baru, ia lantas menggunakannya, "Makan angin." Sayang sekali, ia masih mengucapkannya dengan lidah bahasa ibunya, sehingga terdengar menjadi, "Makan anjin'."

Ia juga menyampaikan format dan aturan adu berpuisi malam itu:


  1. Puisi yang dibacakan harus karya sendiri

  2. Tim juri terdiri dari tiga orang yang ia tunjuk sebelumnya

  3. Tiga hal yang dinilai adalah: isi, penyampaian, dan penjalinan emosi dengan hadirin--yang akan dilihat dari riuhnya tepuk tangan.


Selagi menunggu peserta bertambah, ia mempersilakan dua orang penyair tamu untuk mulai.


Yang pertama adalah Miriam Barr dari Auckland. Seorang pementas syair berpengalaman, ia telah menjuarai berbagai ajang adu berpuisi, termasuk Poetry Idol. Pada penampilannya di Bebek Bengil, ia menunjukkan kekuatan visualnya dalam syair.


Berikutnya adalah Miles Merrill, yang disebut media massa sebagai "seorang pementas kata yang menakjubkan". Dan ia membuktikannya hanya dalam beberapa detik setelah memegang mikrofon. Melalui sketsa pembuka "I care for people", ia menunjukkan kisar dan bentuk vokal yang bervariasi. Plus humor yang menggelitik. Sebagai seorang kelahiran Chicago yang telah menjadi warga Australia semenjak sepuluh tahun lalu, ia mengajak hadirin menertawakan stereotipe dialek Australia yang sulit dimengerti.

Barulah kemudian ia masuk ke puisi sebenarnya. Ia membawakan dua karya. Salah satunya adalah puisi yang ia tulis ketika sedang berkemah di Australia. Angin topan meniup dan menggulingkan tenda, beserta dirinya yang masih di dalam. Miles mementaskan puisi tersebut seperti sebuah dongeng, menyeret hadirin ke dalam dunianya. Kadang ia menjadi angin. Menjadi tenda. Menjadi daun. Atau dirinya yang berteriak, "Stop pounding at my weak shelteeeeer!"

Tanpa sadar, kita menjadi telinga, hidung, dan mata Miles. Saat semuanya beralih sunyi. Dan ia menengadah, menyaksikan, "Half the sky is stars. Half the sky is stars."

Atap saung Bebek Bengil seperti mau roboh oleh tepukan tangan. Hal kemudian mengundang peserta pertama untuk maju. Dan inilah yang menakjubkan. Walaupun kesan penampilan Miles sangat dalam, ini tidak memengaruhi standar hadirin. Penonton tetap mengapresiasi dengan tulus pementasan tiap peserta.

Bahkan penampilan hancur seperti seorang peserta dari Rembang, yang mengaku bernama Gato Loco, tetap diberi applause. Seberapa hancur? Ia datang dengan menggunakan kacamuka hitam. Menyetel suara latar belakang ala militer. Merokok dengan sembarangan (karena sebenarnya dilarang). Lantas membaca puisi dengan gaya mabuk. Di tengah pembacaan, ia membuka kaos hingga memperlihatkan diri yang mengenakan kemben. Lantas setelah pentas berakhir, ia membagikan kertas berisi syair puisinya. Masih sambil merokok.


Bahkan Hagar Peeters yang tampil serampangan dengan gaya mabuk juga tetap diapresiasi. (Mungkin gaya mabuk sedang tren.)


Menikmati Beragam Suara
Yang menarik dalam sebuah slam adalah variasi "suara" para penyair. Ada yang membacakan puisi dalam nyanyian. Ada yang menampilkan emosi, cerita, atau karakter. Bisa berdasarkan pengalaman nyata maupun sama sekali rekaan.


Seorang peserta dari Malaysia yang membawakan puisi dengan nyanyian.


Abe Soares dari Timor Leste bahkan menggunakan gitar sebagai alat bantu.


Bisa tampil sendirian atau barengan. Debra Yatim, sebagai contoh membawakan puisi tentang Aceh yang dimuat dalam Asian Literary Review. Nelden dan Zulaika mendukung sebagai penyanyi latar. Saya dan Mas Wiratmadinata juga dimintai turut serta di sini sekadar untuk melafalkan dzikir.


Penilaian Tetap Tegas
Walaupun suasananya sangat apresiatif, ini tetaplah kompetisi. Sehingga juri tetap tegas. Kadek Krishna, sebagai jubir memberikan beberapa komentar tajam. Bukan hanya peserta, komentar ini juga menyangkut penyair tamu.

Penampilan Mas Wiratmadinata dan Angelo Suarez, misalnya. Keduanya memiliki kemiripan dalam pementasan pertama: sama-sama melibatkan penonton. Angelo mementaskan "puisi tererotik sedunia dalam satu menit" dengan cara meminta para hadirin menghitung dari satu hingga enam puluh keras-keras. Selama itu, ia berlarian sekeliling saung sambil terus-menerus berteriak, "This is an erotic poem for sixty seconds if I say so!"


Angelo berteriak, memekik, dan melengking di atas meja pada pembacaan puisi keduanya.


Sementara itu, Mas Wira membagi hadirin menjadi tiga bagian. Sisi kanannya diminta meneriakkan, "Ada anjing!" Sisi kirinya, "Ada serigala!" Sementara bagian tengah, "Dalam kepalaku!" Lantas ia memberi aba-aba bagian mana yang harus berteriak. Hingga makin lama makin cepat. Mas Wira sendiri ikut berteriak semakin keras, sehingga--hebatnya--mengalahkan suara hadirin. Rangkaian ini diakhiri dengan Mas Wira meneriakkan kalimat akhir, "Mencari kata-kata."

Walaupun sambutan untuk kedua penampilan ini luar biasa, Kadek Krishna berkomentar dengan nada bercanda, "Kalian semua sudah dimanipulasi. Sehingga standar kalian jadi rendah."

Ada peserta yang mengurungkan niat membaca puisi dan akhirnya malah bercerita pengalaman diri. Ada dua peserta yang membaca puisi dari SMS. Untuk kedua hal ini, jubir juri hanya menggeleng-geleng, "Not good."

Selanjutnya, juri pun mengumumkan para pemenangnya.


Daniella, pemenang pertama, yang membawakan puisi ala rap. Muncul menjelang akhir acara, sambutan penonton pada penampilannya bahkan mengalahkan riuh tepuk tangan untuk Miles.


Pemenang lainnya meliputi Kerry Pendergrast, penyanyi dan pementas teater yang sudah enam belas tahun tinggal di Bali, saat itu membawakan puisi berwawasan dalam dan humoris mengenai Ubud, Sekala-Niskala. Dan seorang peserta dari Jakarta yang melantunkan puisi dengan gaya vokal mirip Beyonce. Nilai kedua peserta ini seri, sehingga mereka harus mengulang kembali penampilan. Hasil akhir ditentukan dari tepuk tangan hadirin.

Dan acara ini pun berakhir. Ironisnya, Hal Judge, sang pengumpul insiden berbahasa, justru kecelakaan saat menutup acara. Ketika berterima kasih pada pihak restoran Bebek Bengil, ia mengucapkannya sebagai "Bebek Bangle". Setidaknya ia jadi punya bahan untuk adu puisi tahun depan.


Mempopulerkan Adu Puisi Di Indonesia
Berat rasanya meninggalkan acara tersebut. Suasana kreatif dan apresiatif di dalamnya begitu memabukkan. Hanya dengan menghadiri acara tersebut, saya jadi ingin menguntai kata dan mementaskan cerita. Padahal saya bukan penyair. Seperti yang saya tulis dalam prakata Bertanya atau Mati, usaha saya membuat puisi bisa membuat seekor tikus yang terjebak perangkap terdengar seperti Shakespeare.

Namun itulah intinya: acara ini membuat orang-orang jadi berani dan bersemangat untuk menulis maupun menikmati puisi. Dan ini jauh lebih penting daripada mendiskusikan teori-teori kesusasteraan.

Bayangkan acara-acara seperti ini marak dalam kegiatan sekolah seperti pensi, misalnya. Atau menjadi alternatif kegiatan di kampus, alih-alih pentas musik ingar-bingar yang selalu menyetel 40 lagu terpopuler saat itu.
Bayangkan puisi menjadi bagian dari kehidupan normal, sehingga seseorang dapat berkata kepada temannya, "Eh, pernah dengar puisi ini nggak?" Dan temannya benar-benar mendengarkan. Bukan malah menertawakan.

Mengapa tidak?

Terima Kasih: Author of the Week

Terima kasih atas apresiasi teman dan rekan semua dalam satu setengah bulan terakhir. Karena saya yakin berkat dukungan kalian semua jugalah saya jadi menerima tiga kabar baik terakhir:


  1. Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint masuk daftar Bestseller di BukaBuku.com

  2. Profil saya menjadi Author of the Week di Gramedia.com

  3. (Tampaknya definisi "Week" bagi mereka adalah "berminggu-minggu". Kalaupun iya, saya jelas tidak akan mengeluh.)

  4. Satu karya flash fiction saya berjudul "Do not disturb: Suicide in progress" juga masuk dalam The Asia Literary Review jilid 5, edisi musim gugur 2007.

  5. Bagi yang belum tahu flash fiction atau fiksi kilat itu apa, bentuk penceritaan ini juga dikenal sebagai cerpen pendek atau cermin (cerita mini). Lebih singkat daripada cerita pendek, sehingga dalam dasawarsa terakhir populer sebagai karya online--di mana orang memiliki ambang kenyamanan membaca yang lebih kecil dibandingkan buku fisik. Namun, kekuatan fiksi kilat sendiri dalam mengejutkan pembaca atau menampilkan bayangan visual menjadikan bentuk ini populer juga di dunia nyata. Terutama bagi para pembaca yang sibuk (selagi bertapa di kamar kecil, bisa menghabiskan hingga sepuluh cerita). Atau bagi penulis yang memiliki banyak gagasan untuk diwujudkan.

    Versi Indonesia "Do not disturb: Suicide in progress" sendiri dimuat dalam antologi Jangan Berkedip, yang ditulis saya bersama mitra hidup saya, Primadonna Angela.

Sekalian dalam masa pasca Lebaran, saya mengucapkan terima kasih lahir dan batin! Mari terus berkarya dalam bidang yang kita tekuni. Dan berikhtiar dalam apa yang kita bisa lakukan.

Friday, October 05, 2007

JL CPT BU UTK FSTVL?

Berkat Harper's Bazaar yang menulis Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2006 sebagai "satu dari enam festival sastra internasional terbaik", festival tahun ini berhasil menarik banyak sekali sponsor. Kalau sponsornya lebih banyak lagi, bisa jadi ketika panitia selesai mengucapkan terima kasih kepada para sponsor di acara pembukaan festival, acaranya sudah keburu selesai.

Namun, setelah berbincang-bincang dengan sejumlah relawan, saya mendapat kabar bahwa Festival Director, Janet De Neefe masih tetap menanggung kerugian. Karena fasilitas untuk para peserta semakin meningkat tiap tahun: transportasi, penginapan, hingga penyediaan sejumlah acara dan makanan/minuman gratis. Dan hal ini sudah menjadi rahasia umum di antara sebagian peserta.

Karena itu, kami tidak tahan untuk menahan geli setiap kali lewat di pertendaan sebelah Left Bank, melihat dua pengumuman yang bersanding secara kebetulan.



Yang kurang tinggal tulisan "JL CPT BU, UTK FESTIVAL"

Thursday, October 04, 2007

Ujicoba Aplikasi Dengan Naga dan Bola

Di kantor saya, pengujian aplikasi adalah masa yang menyenangkan.

Ada satu dalil dalam pengujian perangkat lunak: kejutkanlah para pemrogram! Ini juga sebabnya mengapa pemrogram sebaiknya tidak menguji aplikasinya sendiri. Karena tanpa sadar ia akan menguji sebatas hal yang ia ketahui. Padahal setelah pemasangan di lokasi, para pengguna akan mengoperasikan aplikasi tersebut semau mereka.

Dengan kata lain, pengujian juga perlu mencoba hal-hal yang tidak diperkirakan oleh para pemrogram. Dan itu adalah spesialisasi penguji seperti saya.

Sebagai contoh, sore ini kami menguji coba aplikasi konferensi multimedia. Dua penguji duduk di depan komputer yang memasang webcam, dan saling membacakan kalimat dari sebuah dokumen teknis. Pembacaan ini sudah cukup jelas. Walau kadang putus. Sayangnya, metode ini tidak mewakili kebutuhan calon pengguna: berkomunikasi dua arah, bukan hanya mendengar. Lebih parah lagi, metode ini membosankan.

Jadi, saat saya ikut menguji, pertama saya mengarang cerita. Apakah cerita ini bisa diterima dengan utuh? Dan untuk memastikan penguji di sisi lain memerhatikan, cerita ini saya sadur dari gaya Harlequin, "Ia melempar Joyce ke ranjang. Tubuh ringkih wanita tersebut terpental dan berguling di atas kasur. Jeritannya malah mengundang senyum..."

Lantas tiba-tiba berganti cerita. "...kemudian ia menendang bola jauh ke sayap depan, yang langsung mengoper pada Ramli. Digocek saaaajaaaa beknyaaa, dan kini ia berhadapan! Satu lawan satu! Dengan penjaga gawang! Apakah akan goooooOOOOOOOOOLLLL!!? Oh, sayang sekali, ternyata itu kiper sendiri..."

Kalau perubahan nuansa ini bisa ditangkap, berarti komunikasi verbal dengan perubahan intonasi sudah bisa sampai. Sehabis itu mulailah berbagai eksperimen. Ilmiah semua, tentunya.



Misalnya, pengujian berbicara dengan boneka tangan (peraga: JF).


Kalau sisi seberang bisa mengerti, aplikasi ini sudah bisa berguna minimal untuk percakapan.

Berikutnya, ujian yang lebih ilmiah dan menantang, seperti bola berubah warna! (efek suara Doraemon.)


Dari warna asal yang dominan merah muda.


Kita lempar...


...dan tangkap!


Berubah menjadi dominan biru muda.


Kalau perubahan yang halus ini berhasil dilihat dengan baik oleh penguji di sisi lain, aplikasi sudah--dalam bahasa teknisnya--jagoan neon!

Intinya, pengembangan aplikasi adalah aktivitas yang sangat teknis. Karena itu, manfaatkanlah pengujian sebagai kegiatan yang nonteknis dan menyenangkan. Walau tentu saja ada batasnya. Sebagai contoh, saya ingin menguji aplikasi ini dengan menyanyi. Namun, ada alasan kenapa orang-orang Jepang menciptakan karaoke: karena tidak ada hukum yang bisa melarang sejumlah orang bernyanyi--walaupun itu membahayakan kesehatan mental orang-orang di sekitarnya.

Sayangnya, di kantor saya, ada juga pendapat bahwa tidak ada hukum yang melarang orang-orang untuk merajam penyanyi lupa diri. (Dan bola berubah bentuk itu ternyata cukup menyakitkan kalau kena kepala.)

Tuesday, October 02, 2007

Prinsip Mengepak Barang Nomor Satu (bagi Pria Beristri)

Jangan menentang saran istri Anda.

Walaupun tidak setuju, jangan--dan saya ulangi--JANGAN sekali-kali menentangnya. Iyakan saja. Karena kita sendiri yang akan kena batunya.

Terakhir kali ke Bali, saya dibekali jel untuk memijat kaki yang pegal. Satu tube besar. Dan saya sama sekali tidak pernah memakainya. Saat itu hanya jalan kaki sedikit. Dan sama sekali tidak ada bahaya pegal. Karena itu, waktu mengemas keperluan untuk ke Ubud, saya menolak membawanya lagi. "Sudah, lah. Enggak akan kepake, kok. Yakin!"

Ternyata, saya harus beberapa kali berjalan ke tempat yang menurut warga setempat "dekat". Padahal sebenarnya rute biathlon. Belum termasuk kala saya tersesat dalam mencari penginapan. Dan seakan-akan itu belum cukup, saya juga meremehkan jarak bersepeda.

Ya, akhirnya saya menyewa sepeda. Lantas, mencobanya sekali untuk pergi ke restoran Bebek Bengil dari penginapan (sekitar satu kilometer menanjak dan menurun). Enteng.

Keesokan paginya, saya mengendarai sepeda itu untuk menghadiri konferensi di Indus. Berdasarkan gambar peta di buku panduan, jaraknya kira-kira sama. Ternyata, peta itu digambar oleh keturunan dari orang yang bilang pada Christopher Columbus bahwa India itu "dekat" dengan Eropa.

Waktu jalan menurun sih saya senang-senang saja. Tiba-tiba mulai menanjak. Dan saat kaki sudah mulai kesemutan, ujung jalan bahkan belum terlihat. Saya masih bertahan berkat mengingat kata-kata seorang teman, "Jangan khawatir, radius jalan-jalan di sekitar Ubud sih nggak nyampe tiga kilometer kok." Tiba-tiba di tengah tanjakan saya melihat papan lalu lintas bertuliskan: Ubud coret.

Saya langsung turun, ambil napas, dan menenteng sepeda sepanjang sisa jalan. Begitu sampai di Indus, kemeja saya basah kuyup oleh keringat. Saya terpaksa mengaso dulu di Media Room. Mbak Tina, ketua pelaksana harian, langsung menertawai saya dan meminjamkan kipas angin listrik. Ini sebenarnya masih tidak apa-apa, sampai saya ingat, bahwa saya harus mengendarai sepeda itu kembali ke penginapan.

Jelas, kaki saya pegal-pegal saat kembali ke penginapan. Dan tidak ada jel kaki.

Jadi, walaupun istri Anda menyarankan untuk membawa gajah sekali pun, menurut sajalah. Kalau Anda menolak atau bahkan menertawakan ide itu, bersiap-siap untuk menelan tawa sendiri. Jangan-jangan lokasi Anda mendadak diserbu macan. Dan saat orang-orang di sekitar Anda berseru panik, "Aaah! Coba ada gajah! Kita akan selamat!" jangan menelepon istri Anda untuk minta tolong.

Dia akan bilang, "Oh, nggak bawa gajah, ya? Kok bisa? Istri kamu nggak ngingetin?"

Melihat Karena Percaya

Gambar penari di sebelah ini menyebar luas di Internet dengan subjek: Apakah Anda dominan otak kiri atau kanan?

Gambar seutuhnya sendiri dapat dilihat di sini. (Silakan klik untuk melihat animasinya. Dan terima kasih kepada Santa untuk menyediakan tempat.) Konon, jika kita melihat penarinya berputar searah jarum jam, berarti otak kiri kita yang dominan. Dan sebaliknya, otak kanan yang dominan jika berputar berlawanan jarum jam.

Apa benar begitu?

Sepertinya tidak. Menurut rekan kerja saya, Wahyudi Pratama, seorang desainer grafis berpengalaman, gambar ini hanya menggunakan trik untuk menipu mata kita. Animasi gif ini sebenarnya terdiri dari dua bagian, bagian dengan sang penari mengangkat kaki kiri. Dan bagian yang mengangkat kaki kanan. Dengan kata lain, ini sebenarnya gambar yang dibalikkan dengan efek cermin (mirror). Lantas dianimasikan dengan gaya pendulum. Sehingga terasa seakan-akan berputar penuh.

Ini kuncinya: saat otak kita sudah memutuskan bahwa sang penari berputar berlawanan arah jarum jam seterusnya kita akan melihatnya begitu. Sebaliknya juga berlaku. Ini bukanlah masalah bagian otak yang dominan. Ini lebih ke arah ilusi mata.

Bagaimana cara melihat putaran sebaliknya? Cobalah lihat ke atas layar komputer. Tapi pertahankan gambar tetap terlihat di ujung bawah mata kita. Lantas, paksa otak kita untuk melihat agar gambar tersebut berputar ke arah sebaliknya. Saat berhasil, pelan-pelan turunkan pandangan kita hingga menatap langsung ke gambar. Begitu saja.

Jelas, ini bukan berarti bahwa dominasi otak kita berubah hanya dengan mengangkat pandangan. Ini hanya menunjukkan bahwa ilusi ini bisa kita lawan dengan trik penangkalnya.

Satu kunci lagi: jika kita menyangkal bahwa animasi ini bisa kita lihat berputar ke dua arah berbeda, kita tidak akan bisa melihatnya. Dalam kasus ini, kita tidak percaya dengan melihat. Seeing is not believing. Justru malah kita melihat karena percaya. Believing is seeing.

Dalam perbedaan pendapat, sering kali inilah yang terjadi. Kita dari awal sudah menyangkal kata-kata orang lain. Karena itu, kita otomatis menolak untuk mendengarkan. Kita tidak akan melihat bahwa ada sudut pandang lain.

Padahal, kita bisa melihat gambaran secara utuh saat kita mengerti minimal kedua sisi yang bertolak belakang. Seperti pada contoh penari ini. Kita bisa tahu ini adalah ilusi mata, hanya setelah kita bisa menerima persepsi bahwa putarannya bisa searah jarum jam, atau berlawanan arah. Tergantung cara kita memandang.

Saat ada pendapat yang sama sekali bertentangan dengan kita, cobalah telusuri dahulu. Jangan serta-merta menolaknya. Jangan-jangan ada gambaran utuh yang kita lewatkan, hanya karena kita menolak untuk melihatnya.