Friday, November 30, 2007

Komunikasi Ayah-Anak: Prioritas

Seperti yang terlihat dalam cerita Donna, Aza mulai terbiasa menyambut kepulangan kami dengan todongan, "Oleh-olehnya mana?"

Kami tidak mau ini jadi kebiasaan. Karena itu, suatu saat setelah pulang dari kantor, saya menggendong Aza dan berkata, "Aza, Papih mau cerita tentang sesuatu yang namanya 'prioritas'."

Matanya membulat, "Apa itu ponitas?"

"Begini, kalau Papih atau Mamih pergi, Aza kangen nggak?"

"Kangen," senyumnya.

"Kalau gitu, waktu Papih sama Mamih pulang, Aza senang?"

Ia menyeringai hingga memperlihatkan kedua gigi serinya yang mirip taring. "Senang kok."

"Kalau senang, tunjukkin aja. Waktu Papih ama Mamih pulang, peluk dulu. Bilang kangen kalau emang kangen."

"Iyah!"

"Kalau udah kangen-kangenan, dan kebetulan ada oleh-oleh, baru nanti kita buka bersama, ya?"

Ia memeluk bahu saya, "He eh!"

Besoknya, kami kembali pulang malam. Begitu turun dari mobil, Aza langsung menghambur dan merangkul kaki saya.

"Aku kangen Papih--oleh-olehnya mana?"

Saya menggendong Aza dan berkata, "Aza, sekarang Papih mau cerita tentang sesuatu yang namanya 'jeda'."

Thursday, November 29, 2007

Hanya di Indonesia...

...seorang neurolog merasa harus menjelaskan bahwa ketika suatu gejala penyakit muncul pada anak, "Ditempeleng tidak menyelesaikan masalah."

Saya belum pernah mendengar tentang seorang ayah yang berkonsultasi pada dokter, "Anak saya demam, Dok. Sudah dikompres semalaman belum turun juga."

Sang dokter menulis suatu catatan sambil mengangguk-angguk, "Matanya berkedip-kedip nggak?"

Sang ayah mengingat-ingat, "Hanya setiap tiga detik sekali."

"Sudah coba ditempeleng?" aju sang dokter.

Sang ayah pun menepuk tangannya, "Oh, iya! Bener juga. Makasih, Dok. Saya pulang dulu buat coba. Anda memang penyelamat jiwa!" Ia menyalami sang dokter.

Sang dokter balas menyalami dengan sopan, sebelum berkata, "Biayanya seratus ribu." Ia buru-buru menambahkan. "Dan menempeleng (saya) juga nggak akan menyelesaikan masalah."

Kabar baik bagi pria dewasa: menurut sang neurolog anak RSCM yang dikutip detik.com, dr. Hardiono D. Pusponegoro SpA(K), penyakit Tic ini hanya menyerang anak-anak.

Kabar buruknya: kita tidak bisa menggunakan penyakit ini sebagai alasan untuk mengedipi wanita lewat. Padahal, menurut Hardiono, "Penyakit ini muncul jika terpaku pada suatu hal dan bengong."

Pas sekali.

Jika kita terpergok seorang wanita sedang menatapnya sambil bengong, kita tinggal menyapa "Hai!" sambil berkedip-kedip. "Anda membuat saya terkena penyakit Tic. Dan nggak boleh ditempeleng!"

Sang wanita akan mendekat, tersenyum, dan berkata, "Saya juga baca artikel di detik.com," sebelum menempeleng kita.

Thursday, November 22, 2007

Wednesday, November 21, 2007

Salah Satu Ujian Terberat Seorang Ayah...

...muncul ketika anaknya yang berusia tiga tahun memeluk dengan erat dan berkata, "Jangan pergi. Aku kangen."

Dan ia melepaskan pelukan itu dengan paksa, sebelum mengendarai mobil menuju tempat kerja, sambil tak bisa melupakan raut muka yang merasa terkhianati.

"Untuk apa kamu bekerja?" tanyanya pada rekan kerja.

"Agar nanti bisa hidup santai bersama keluarga," jawab sang rekan kerja mantap.

"Mengapa tidak melakukannya sekarang?" tanyanya lagi.

"Karena... belum bisa," jawabnya, tidak lagi mantap.

Sang ayah mengangguk. "Aku izin pulang," ujarnya. Ia beranjak kembali ke mobil.

"Lho? Kenapa?" sang rekan kerja panik. "Nanti kan meeting ama klien?"

"Karena hari ini aku memilih untuk bisa!" ujarnya tegas. Ia membuka dan membuang kemejanya. Terlihatlah kostum Superman. Dan ia terbang ke rumah. Ke pelukan anaknya yang menyambut dengan girang.

Dan sang ayah dalam dunia nyata pun sampai ke kantor. Ekspresi kecewa anaknya masih terbayang-bayang.

_________________________


NB: Makasih topi Mickey Mouse-nya, Gin. Lucu sekali. (Sayang tidak muat di kepalaku.)

Sunday, November 18, 2007

Di Mana? Di Denda

Mengubah kebiasaan bertahun-tahun memang sulit. Dalam penyuntingan naskah, sebagian besar kesalahan penulisan yang saya temui berasal dari kebiasaan semenjak sekolah. Sebagai contoh adalah pembedaan "di-" sebagai awalan dan "di" sebagai kata depan.

Padahal aturannya sederhana.

  1. Sebagai awalan, penulisan "di" menyatu dengan kata kerja. Contoh: dikerjakan, ditulis, disayangi.

  2. Sebagai kata depan, penulisan "di" terpisah dengan keterangan tempat. Contoh: di sana, di rumah, di mana-mana.
Dengan kata lain: kalau terpisah, menunjukkan lokasi. Kalau tersambung, menunjukkan kata kerja pasif.

Sayangnya, kebiasaan lama memang sulit diubah. Perhatikan saja gerbang tol Padalarang menuju Bandung. Kedua contoh di atas malah terbalik.


Tiket harus "disini(kan)" untuk ditukar?

Berdasarkan papan ini: di gerbang exit Denda (di mana pun itu) tidak usah tukar tiket


Mengubah kebiasaan penulisan salah sama seperti mengubah kebiasaan buruk lain. Merokok, misalnya. Pertama-tama, munculkan dulu kesadaran bahwa ini salah. Kalau tidak, percuma saja. Kedua, memercayai manfaat atas kebiasaan yang benar. Kalau kita berprinsip, "Alah, nggak ngaruh lah. Orang lain juga ngerti (atau orang lain juga ngerokok--dalam kasus merokok)," dalam beberapa hari, gaya penulisan kita akan kembali ke yang salah.

Carilah manfaat bagi diri masing-masing. Dan ubahlah kebiasaan (penulisan) yang buruk.

____________________

NB: Banyak sekali kebiasaan buruk yang menyangkut penulisan tanda baca berkaitan dialog. Termasuk tanda seru dan tanya berlebihan.

Friday, November 16, 2007

Pilih Sendiri Petuahmu

Asumsikan Anda seorang pria muslim dan salat Jumat di Masjid Salman Bandung. Di sini, banyak anak menjajakan lembaran koran bekas untuk alas salat. Bahkan saat khatib (pendakwah) sudah mulai berbicara, mereka masih hilir mudik, menawarkan koran, dan bercanda dengan teman.

Anda hanya diam. Karena sebenarnya dilarang berbicara saat kotbah Jumat.

Seorang anak berkaos merah tampak bercanda dengan seorang teman yang lebih tinggi, berkaos bola warna biru. Anda memperkirakan usia si kecil sekitar tujuh tahun. Sementara yang lebih besar sudah lebih dari sepuluh tahun. Di sela bercanda, sang anak berkaos merah tiba-tiba berlari, mengincar seorang calon pembeli. Sekeping uang logam seratus rupiah jatuh dari sakunya tanpa berbunyi.

Tidak ada yang melihat ini, kecuali Anda. Oh, tidak juga. Teman sang anak melihatnya. Dia mendekati uang itu. Namun, alih-alih mengambil, ia malah menginjaknya. Ia lantas berdiri tenang. Menunggu. Setelah si kaos merah agak jauh, ia melihat sekeliling, mengambil uang tersebut dan mengantunginya.

Anda terkesiap. Apalagi setelah itu, si kaos bola warna biru kembali bercanda dengan si kaos merah. Seakan tidak ada apa-apa.

Memang tidak ada apa-apa. Kalau saja Anda tidak memergokinya. Apakah yang akan Anda lakukan?

(a) Langsung bangkit dan memarahi si kaos biru. Karena perbuatannya melanggar perintah agama. Tentu saja, dengan berbuat begitu, Anda juga sama bersalahnya. Karena tidak boleh berbicara selama kotbah. Tapi toh, yang penting Anda sudah menegakkan tiang agama. Caranya nggak masalah dong! Yang penting Anda merasa benar. Dan orang-orang melihat bahwa Anda memiliki posisi yang benar. Kalau nggak, Anda bisa menjelaskannya ke semua orang. Tentu saja! Pendapat orang lain juga penting. Yang salah kan dia. Berarti Anda tidak salah.

(b) Menunggu salat Jumat selesai baru memarahi anak tersebut. Tidak masalah waktunya sudah nggak pas. Toh anak itu nggak akan bisa berkelit. Siapa yang lebih kredibel? Seorang anak penjaja koran atau Anda? Jelas Anda! Masyarakat menilai dari usia dan kepintaran berbicara. Lihat saja sinetron. Oke, ini contoh yang salah. Tapi Anda tahu orang-orang lain pasti mengerti maksud Anda.

c) Menunggu salat Jumat selesai lantas mengajak anak itu untuk berbicara empat mata. Dengan penuh semangat, Anda menyampaikan bahwa dalam beberapa tahun mendatang, persahabatan akan jauh lebih penting daripada uang--apalagi hanya seratus rupiah. Tentu saja, dia akan menjawab, "Saya perlu makannya hari ini, Pak. Bukan bertahun-tahun lagi." Anda kembali menyampaikan bahwa kaos bola yang bersih dan sandal gunung yang ia pakai sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia kurang makan. Anda pun melangkah pergi dengan berbangga hati. Anda telah membuat seorang anak mendapatkan ajaran penting. Oke, mungkin dia pergi sambil menggerutu dan memaki-maki. Tapi dalam hati, pasti dia tahu Anda benar! Kenapa nggak? Benar, kan? Kan?

(d) Anda pura-pura tidak melihat saja. Bukan urusan Anda. Dengan begitu, Anda telah mengajarkan pada sang anak panduan kehidupan penting: dia bisa melakukan pelanggaran, asalkan tidak ketahuan. Ini panduan yang penting. Semua orang melakukannya kok. Iya, kan? Oh, nggak, Anda tidak menuduh siapa-siapa kok. Anda hanya maklum. Maklum adalah ciri kebijaksanaan. Atau ketidakpedulian. Tapi kebijaksanaan terdengar lebih enak. Ya, betul, merasa bijak itu menyenangkan. Bijaksana saja lah kalau begitu.

(e) Anda melihat semua pilihan yang ada dan jadi bingung sendiri. Waktu semakin berlalu. Dan semakin tidak relevanlah kalau anda menegur anak itu sekarang. Anda berhenti, menoleh pada si anak. Lalu jalan lagi. Berhenti. Jalan. Berhenti. Sudah terlalu jauh. Sudahlah. Mendingan menulis saja di blog. Dengan begitu, Anda akan berbagi kebingungan dengan orang lain. Dan dengan begitu, Anda jadi tidak merasa begitu kesepian. Ada teman. Walau itu tidak mengubah fakta bahwa Anda jadinya tidak melakukan apa pun, dan sama saja dengan pilihan (d). Anda hanya lebih pretensius dan konformis.

(f) Suatu tindakan yang begitu bagus sehingga Anda tidak tahan untuk tidak menuliskannya di bagian komentar untuk menunjukkan, "Kok gini aja nggak kepikiran sih?" Tentu saja Anda tahu bahwa pada kenyataannya, hal yang Anda tulis bisa jadi tidak akan sempat Anda pikirkan karena kondisi nyata berbeda dengan kondisi santai membaca di komputer tanpa merasa terlibat. Tapi toh, apa bedanya? Yang penting Anda bisa menulis apa yang Anda mau lakukan. Dan itu membuat Anda merasa benar. Dan merasa benar itu begituuuuu enak. Aaaaaah.

Monday, November 12, 2007

Apa Pun...

Dari Iwok, saya mendapat kabar tentang kompetisi blogging Telkom. Namun, ada satu kalimat yang tampak aneh. Untuk memastikannya, saya mengunjungi blog Telkom.TV. Di situ, tercantum ketentuan kompetisi ini. Dan ternyata kalimat itu memang ada.


Tertulis: "Peserta boleh dari latar belakang suku, agama, usia, profesi, apa pun."


Perhatikan tanda koma setelah "profesi". Ini berarti peserta boleh dari latar belakang apa pun. Walaupun saya makhluk luar angkasa dari Planet Jupiter yang suka datang ke bumi untuk memangsa otak manusia[1], saya boleh ikutan kompetisi ini.

Lho? Tapi ternyata peserta harus "bermukim (memiliki KTP/Kartu Mahasiswa/Kartu Pelajar) di daerah operasi Telkom Divisi Regional III: Pandeglang, Rangkasbitung, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Subang, Indramayu, Majelengka, Kuningan, atau Cirebon."

Oke. Jadi yang penting punya KTP di daerah situ. Mangsa otak atau nggak sih bebas. Kalau gitu, mari kita coba daftar... Lah! Ternyata ada batasan juga.


Tahun kelahiran paling rendah hanya 1980.


Sekarang saya mengerti kenapa pake koma. Karena maksud mereka bukan "dari latar belakang usia apa pun." Tapi "dari latar belakang usia, latar belakang agama,... latar belakang apa pun."

Ngomong ngomong, "Apa pun" boleh juga tuh jadi tagline Telkom yang baru. Berdasarkan teori komunikasi pemasaran, tagline sebaiknya menyiratkan jiwa perusahaan atau produk. "Committed 2 U" jelas bukan. Google saja dengan kata kunci "telkom committed 2 u". Hasilnya kira-kira seperti ini.

Apa pun akan lebih cocok.
Telkom--Apa pun!

Tagline ini dengan hebat akan mencakup semua lahan bisnis.
Kritikus: "Flexy combo ini bukannya cuman cari-cari celah buat masuk lahan wireless CDMA?"

Telkom: "Apa pun!"

Atau menjadi standar jawaban semua layanan pelanggan.
Pelanggan: "Halo, kok Speedy saya mati terus, ya?"

Telkom: "Apa pun!"

Termasuk dalam komunikasi kerja.
Pegawai: "Pak, untuk situs web, apa nggak sebaiknya kita menyewa copywriter profesional agar tulisannya minimal konsisten dan tidak memberi kesan yang buruk?

Atasan
: "Apa pun!"

______________________

[1]: Nggak pernah dengar tentang makhluk seperti ini? Santai saja. Dia nggak akan mampir di tempat yang intelejensinya rendah. Jadi kita aman. Gitu gitu, dia juga punya selera.

Saturday, November 10, 2007

Arte of Defense: Anak Kecil Juga Bisa?


Sammy adalah teman saya dan Donna yang menarik dan murah hati. Ia ahli memainkan pedang jenis anggar. Ia juga mengoleksi sejumlah pedang asli. Sebagian kecil ia gunakan untuk berlatih.

Buku Arte of Defense ini juga pemberian darinya. Memuat dasar-dasar keahlian rapier, buku ini tadinya belum begitu bermanfaat karena satu-satunya yang menyerupai pedang di rumah hanya sapu ijuk. Setiap kali diayun, debu-debu pun beterbangan. Berhubung tidak ada bagian buku yang membahas, "Bagaimana Menusuk Orang Selagi Bersin", kami memutuskan untuk mencari alternatif lain.

Dan akhirnya, kami berhasil!


Tada! Oke, jelas ini bukan rapier, melainkan cutlass. Dan sebenarnya balon plastik. Tapi ahli pedang sejati tidak akan mengeluhkan hal-hal remeh.

Berikutnya, saya membutuhkan lawan. Tentu saja yang diperlukan adalah seseorang dengan kemampuan yang sepadan. Seseorang yang bisa menjadi mitra berlatih yang baik. Seseorang dengan energi meluap-luap tanpa batas.

Tentu saja Aza, anak saya yang berusia tiga tahun. Siapa lagi?

Tantangan pertama: beberapa teknik dalam buku ini ternyata menuntut keseimbangan tinggi, kelenturan badan, dan kekuatan untuk menahan diri agar tidak tertawa.



Teknik di gambar atas ini, misalnya, sekilas lebih pantas dijuduli sebagai, "Menusuk Sambil Mengacaukan Konsentasi dengan Menggunakan Bau Badan". Padahal ini sebenarnya adalah teknik serius.

Ini ditunjukkan dengan ilustrasi lain yang menggambarkan orang yang berdarah-darah dengan tubuh melengkung dan tangan di jidat. Seakan-akan mereka sedang berpikir, "Tahu gini, aku pake pistol aja."

"Gaya" adalah kata kunci dalam buku ini. Seluruh ilustrasi seakan menyiratkan bahwa yang penting adalah gaya. Mulai dari berpakaian, memegang pedang, hingga saat terbunuh. Tidak ada pemain rapier yang mati memalukan. Mereka selalu berdarah-darah dalam keadaan gaya. (Atau berpikir.)

Saya akan mempraktikkan dua gerakan utama untuk menjiwai semangat buku ini.

Pertama: gaya.


Kedua, saya akan memutar pedang dan mengincar pergelangan tangan lawan untuk melepaskan pedangnya.


Oke, sedikit berbeda dengan rencana. Tapi yang penting ada pedang yang berhasil terlepas dari pegangan.


Kembali serius, buku ini membuka mata tentang salah kaprah mengenai permainan pedang, terutama yang menggunakan anggar, baik rapier maupun foil. Pertarungan rapier berfokus pada efektivitas gerakan dan jangkauan. Lengah sedikit saja, pedang lawan langsung menembus tubuh kita. Jauh sekali dari gambaran di film yang ctang-ctang-ctang-ctang dan sempat ngobrol pula.

Ahli Pedang #1: Sebentar lagi aku akan menusukmu seperti sate!

CTANG-CTANG!

Ahli Pedang #2
: Dengan bumbu kacang?

CTAAAANG!

Ahli Pedang #1
: Ya, tambah lontong dan kecap manis. Sedikit acar mentimun juga oke.

CTANGCTANGTANG!

Ahli Pedang #2
: Sate Ayam Blora?

CTIINNNNGGG!

Ahli Pedang #1
: Lho, iya! Kau juga suka?

TANG!

Ahli Pedang #2
: Yang di Pasir Kaliki Bandung? Jelas dong.

Ahli Pedang #1: Kalau gitu kenapa kita berkelahi? Mendingan kita makan-makan!

Ahli Pedang #2: Hayuk! Walau menurutku lebih enak sate kambing Pak Haji di Karang Tengah, Jakarta.

...

Ahli Pedang #1: Matilah kau!

CTANGCTANGTANG!

Sayangnya, kalau hanya berdasarkan buku ini, terlihat sejumlah kelemahan rapier. Pertama, fokus pertarungan rapier adalah satu lawan satu. Kedua, terlalu menekankan pada tusukan. Padahal dalam pertarungan nyata melawan banyak orang, kita akan mati konyol saat menusuk seseorang dan tidak dapat menarik belatinya keluar.

Tentu saja, buku ini hanya memuat dasar dari permainan anggar. Bisa jadi kelemahan tersebut justru menjadi kekuatan dengan penggunaan dasar teknik yang kuat. Saya tidak akan tahu tanpa melihat langsung ahlinya bertarung melawan pemegang senjata lain (pedang cina, golok silat, tombak, katana, dan lain-lain).

Penekanannya di kata "melihat". Jadi, jika Anda anggota Kelompok Pencinta Rapier, jangan hubungi saya untuk menjadi lawan tanding. Cukup penonton saja. Saya adalah orang yang akan senang jika kemampuan berpedang ditentukan dari siapa yang lebih jago mengejek (seperti digambarkan di game lawas, Monkey Island.)

Atau mengendalikan gamepad PS2.

Friday, November 09, 2007

Horor Masa Kecil

Banyak hal menyangkut masa kecil yang setelah kita ingat-ingat ternyata aneh. Tak jarang, kita malah bertanya-tanya: kok bisa?

Horor masa kecil, misalnya. Didit, tetangga saya dulu, takut sekali dengan ular. Dan jadinya melebar ke mana-mana. Apa pun yang panjang dan melingkar seperti ular bisa membuatnya terperanjat. Ia bahkan menjauhi obat nyamuk bakar.

Rama, teman masa SD, takut pada kegelapan. Ia selalu berbekal korek api atau senter. Tapi, tidak pernah ia gunakan. Karena kalau gelap, keburu kabur duluan.

Namun, kedua contoh di atas itu masih relatif wajar. Ular memang berpotensi bahaya jika merasa terganggu. Dan kegelapan bisa membuat kita merasa tak berdaya karena kita tidak tahu apa yang tersembunyi di baliknya.

Setidaknya lebih wajar dibandingkan ketakutan saya masa kecil. Dari zaman TK hingga kelas lima SD, saya selalu gemetaran jika harus ke kamar mandi malam-malam. Bukan. Bukan karena gelap. Tapi karena saya merasa ngeri kalau-kalau bertemu Drakula sedang buang air besar.

Ya. Saya takut saat membuka pintu, saya akan memergoki seorang vampir berjas tuxedo dan berjubah di dalam kamar mandi. Duduk di atas toilet. Sambil mengejan. (Atau baca koran Transylvania Post).

Saya tidak mengada-ada. Memang ini terdengar sangat aneh. Bahkan Donna pun tertawa saat saya ceritakan hal ini. Tapi itulah yang saya rasakan dulu. Saya sendiri tidak mengerti kenapa itu dulu menjadi horor. Saat itu, saya hanya merasa takut.

Bagaimana kalau itu terjadi sekarang? Entahlah. Bisa jadi malah ngobrol.

Saya: ... Halo. Akhirnya kita bertemu juga.

Drakula
: (Sambil membaca koran.) Permisi, kek. Nyelonong masuk aja.

Saya
: Tapi ini kan kamar mandi di rumahku?

Drakula
: (Masih tidak menoleh dari koran.) Jelas aja di rumah elo. Pas gue boker di kamar mandi orang lain, mereka sama sekali nggak takut. Malah gue yang dimarah-marahin.

Saya
: ... Aku juga bisa marah-marah!

Drakula
: (Menengadah) ...

Saya: ... sedikit.

Drakula
: Sudah gue duga (kembali membaca koran.)
...
(hening.)
...
Saya: Hei.

Drakula: Apa?

Saya: Boleh kufoto nggak?

Drakula: Elo mau gue foto nggak, pas nggak pake celana?

Saya: Nggak, sih.
...
(kembali hening.)
...
Saya: Hei.

Drakula: Ya?

Saya: Kamu kok nggak seserem yang kubayangkan, ya?

Drakula: (Melipat koran). Bukan salah gue kalau ada anak kecil yang imajinasinya aneh sendiri.

Saya: Euh.

Drakula: Anak lain ngerasa serem bakal didatangi zombie; tubuh mereka dicincang, otak mereka dikunyah, dan diri mereka berubah menjadi zombie juga. Gue iri sama zombie-zombie itu. Lah, gue? Hanya bisa duduk dan ngejen.

Saya: Ya maaf. Rasa takut kan bukan sesuatu yang bisa kurancang dalam bentuk proposal.

Drakula: Ya, ya, ya. Alasan standar.
...
(lagi-lagi hening.)
...
Saya: Hei.

Drakula: Apa lagi! Apa vampir nggak bisa boker dengan tenang? Elo nggak puas, ya nyiksa gue seperti ini? Bertahun-tahun gue ngejen terus bisa turun bero, tahu?

Saya: Siapa tahu kamu sebenarnya menyembunyikan makna penting.

Drakula: Hah?

Saya: Gini, kalau kamu bukan imajinasi yang umum. Mungkin rasa takutku terhadap kamu sebenarnya menyimpan simbolisme penting. Lihatlah pakaianmu--tuxedo. Busana resmi. Bisa jadi menyimbolkan kekuasaan. Bisa jadi aku takut pada figur berkuasa.

Drakula: Yang sedang boker?

Saya: Itu juga. Kapankah seseorang tampak paling rentan?

Drakula: Saat boker, emang.

Saya: Betul! Ini kontradiksi, kan? Seseorang yang berkuasa dalam posisi lemah.

Drakula: Mungkin elo takut kekuasaan elo runtuh?

Saya: Tapi ini kan khayalan masa kecil. Saat itu, aku sama sekali nggak berkuasa.

Drakula: Ya gampang. Berarti seseorang di dekat elo yang berkuasa.

Saya: Lah, aku kan sebal diperintah-perintah. Kalau ada orang berkuasa di sekitarku dan melemah, seharusnya senang-senang aja dong.

Drakula: Tapi gimana kalau elo sayang ama orang itu?

Saya: ... Orangtua?

Drakula: Ternyata elo nggak seblo'on keliatannya.

Saya: Setidaknya aku masih pake celana. Oke, apa maksudmu? Apakah aku takut melihat orangtuaku dalam keadaan lemah? Kenapa begitu? Apa mereka terancam sesuatu? Atau ini bukan tentang mereka? Apa ini tentang aku?

Drakula: Kenapa nanya gue? Gue bukan psikolog. Cuman bagian dari pikiran elo. (Siram toilet.) Sisanya pikirin sendiri.
... (Tubuhnya mulai menghilang)...
Tugas gue dah beres. Selamat tinggal, Man.

Saya: Terima kasih... Drakula Boker.

Drakula: Sialan! Nama gue bukan Bo--


Apakah ketakutan masa kecil Anda? Wow. Itu terdengar lebih keren daripada Drakula Boker. Tapi yang lebih penting: apakah Anda sudah mengajaknya bicara? Siapa tahu ada pesan tersembunyi yang selama ini ia simpan.

Friday, November 02, 2007

Slogan Gelagapan

Saya telat mengikuti berita. Dari blog Bizri, saya baru tahu, Agustus 2007 lalu, NASA sempat mengganti slogan mereka. Slogan yang baru adalah: “NASA explores for answers that power our future.”

Milyaran dolar untuk teknologi. Lima dolar untuk kampanye komunikasi pemasaran.

Wajar saja jika Loretta Hidalgo menantang para pembaca blog Wired: masa sih kita nggak bisa membuat slogan yang lebih bagus? Dalam artikel itu, kita bisa menyumbangkan ide atau menilai slogan yang ada (pilihanannya hanya dua: jempol ke atas atau ke bawah).

Ratusan orang menanggapi tantangan ini. Sebagian serius. Sebagian menumpang untuk mengkritik NASA. Sisanya ngasal. Dan justru dua terakhir yang menghibur.

Ada yang terkesan membela:

  • NASA: Because one does not simply walk into space.
  • NASA: Because the United Federation of Planets has to start *somewhere*
  • NASA: In 100 years, you'll wish you'd given us more funding.

Ada yang malah menertawakan:
  • Our space-toilet cost a million but crapping in it is priceless.
  • NASA: Because strapping men to tons of high explosive sends the right message.
  • NASA: Helping nerds have sex since 1958

Termasuk menertawakan hal lain:
  • NASA: Our Janitor Is Smarter Than The President
  • NASA: More leg room than any airline!
  • Because in space no one can hear Britney sing

Menertawakan diri:
  • NASA: Because Intelligent life is so hard to find these days.
  • The answer is up there in the galaxies. the question is where did I leave my beer?
  • NASA: Actually this *is* rocket science.
  • NASA: When I was your age, Pluto was a planet

Atau mengacu humor lain:
  • NASA: Tonight, We Dine, IN SPACE
  • NASA: Because millions of trekkies can't be wrong.
  • All your space are belong to U.S.
  • NASA: Billions Of Dollars Spent and Still No Death Star
  • NASA: Are we there yet?

Ada yang mau menambahkan? Atau lebih baik kita beralih pada slogan instansi pemerintah kita? Apalagi yang tidak sesuai kenyataan.