Thursday, February 28, 2008

Ngobrol Soal Identitas Kepenulisan

(Dialog berikut saya kutip dari diskusi dalam milis Writer's Tavern, antara saya, Wicak, dan donna.)




Wicak:
Hmm... Isman, saya tertarik dengan urut-urutan itu. Mau nggak menjelaskan lebih lanjut soal 'identitas diri yang kuat' sebelum 'berkarya secara konsisten'. Apa yang dimaksud dengan identitas diri dan kapan seseorang tahu dia sudah memiliki identitas diri yang kuat?


donna:
Soal identitas diri, mungkin more or less begini ya. Seorang penulis itu idealnya punya idealisme atau setidaknya sesuatu yang ingin ia sampaikan via tulisannya. (setidaknya ini menurutku) Dia juga sebaiknya tahu, tujuannya menulis untuk apa, apa dia berencana mengembangkan kemampuan menulisnya atau tidak, apa dia hanya menjadikan menulis sebagai hobi atau memang berniat menulis pro, dll.


isman:

Kira-kira begitu. Dia tahu dan sadar bahwa dia menulis itu karena apa dan untuk apa. Jadi rutinitas berkaryanya konsisten dengan identitas ini. Kalau berkarya secara rutin tapi tidak ada identitas, jadinya sekadar hasil. Karena mau konsisten dengan apa?

Dan identitas ini tidak harus ideal. Saya kenal dengan seorang penulis yang terbuka menyatakan bahwa ia menulis untuk uang. Dan saya cukup menghormati dia karena ia konsisten dengan itu. Tidak mengumbar idealisme. Dan tetap rutin berkarya. Praktis saja. Toh banyak juga arsitek dan seniman yang berkarya untuk uang. Apa bedanya dengan penulis?

Nah, ia menyadari dan merangkul identitas kepenulisannya. Tapi bagaimana jika sebaliknya? Bisa jadi ketidakbahagiaan; karena ingin membuat karya yang laku, tapi takut dicap sekadar "mencari uang". Padahal persepsi orang lain itu kalah penting dibandingkan persepsi diri sendiri.


Wicak:
Apakah identitas diri yang kuat sama dengan seseorang telah mencapai tingkat selebritas tertentu atau kepakaran atau bagaimana?


isman:
Tingkat selebritas atau kepakaran itu lebih ke arah citra diri, Cak. Konteks "identitas"-nya bermain di ranah persepsi publik. Orang lain.

Sementara identitas yang kumaksud di sini berlaku dalam ranah persepsi diri. Kalau identitas diri secara umum mungkin bisa dicari dengan pertanyaan: "Untuk apa kita dilahirkan di dunia ini?"

Sementara identitas kepenulisan bisa dijelajahi dengan pertanyaan: "Kenapa kita menulis?" Jawabannya, tentu saja, perlu lebih dalam dari sekadar "Suka aja." Satu pertanyaan itu akan menghasilkan cabang-cabang seperti:
  • Apakah pesan yang ingin kau sampaikan? Kalau tidak ada, kenapa? Kalau ya, apa dan kenapa?

  • Apa yang membuatmu tetap menulis? Apa yang bisa membuatmu berhenti menulis?

  • Apa yang kau anggap sebagai keberhasilan dalam menulis? Apa yang kau anggap sebagai kegagalan dalam menulis?

Dan masih banyak lagi. Kita memiliki identitas yang kuat saat bisa menjawab pertanyaan apa pun yang muncul berkaitan itu.

Dari deskripsi milis ini juga bisa dilihat: perbedaan penulis pribadi dan profesional dibedakan dari karakteristik identitas. Bukan dari kompetensi. Karakteristik penulis pribadi yang utama, ya hanya menulis untuk diri sendiri. Yang ekstrem, orang lain tidak boleh baca. Kalaupun ada yang baca, komentar apa pun tidak pengaruh baginya.

Penulis profesional menulis untuk orang lain. Karena itu, label "profesional"--selain dari bagian dari identitas--menjadi tuntutan. Kalau sekadar ingin membuat semau kita tanpa memedulikan pembaca, itu belum sepenuhnya profesional. Masih menuju, lah. Asalkan memang dalam proses belajar.

Kekaburan antara karakteristik identitas ini bisa menghasilkan konflik. Contoh yang jamak: Mau menulis untuk orang lain, tapi takut untuk mencoba. Atau menulis untuk pribadi, tapi memendam keinginan untuk diakui (atau dipuji) oleh orang lain.

Konflik ini bisa hilang dengan mengemban identitas yang jelas.


donna:
Seorang penulis yang menurutku identitas dirinya kuat, tahu di mana dia sebaiknya "bermain". Misalnya dia bagusnya nulis fantasy, tapi karena suka banget ama genre romance atau comedy maksain nulis, hasilnya belum tentu optimal.


isman:
Itu juga salah satu karakteristik identitas. Tapi jangan salah mengartikan identitas sebagai pembatasan. Bebas saja mengeksplorasi genre lain yang bukan kompetensi utama kita. Asalkan ingat kembali tuntutan "profesional". Kalau memang mau beralih genre, kita harus memastikan bahwa itu adalah karya yang dihasilkan dengan upaya terbaik kita--dengan memerhatikan pembaca.


donna:
Sebaiknya juga, dia tahu kelebihan dan kekurangannya apa, dan berusaha banget memoles kemampuannya terus-menerus supaya tidak stagnan.


isman:
Iya. Kalau sesuai identitasnya. Siapa tahu memang ia bahagia sebagai penulis yang stagnan. (Bisa saja terjadi. Walau belum pernah ketemu orangnya sih.)


Wicak:
Thanks atas pencerahannya.


isman:

Wehehe, semoga nggak malah jadi makin gelap. Ini cuman pendapat saya, lho. Bisa aja beda.

Intinya, aku rewel berkaitan identitas kepenulisan ini karena menyangkut kebahagiaan. Jujur saja, kehidupan seorang penulis akan sering sekali diancam ketidakbahagiaan. Yang utama adalah ancaman mental maupun sosial.

Tapi, asalkan identitas kepenulisan kita jelas dan kuat, kita akan bisa menghadapi ancaman apa pun (menyangkut kepenulisan, ya. Ditodong garong sih beda masalah.) Jangan salah, bahkan keberhasilan (contohnya kelarisan suatu buku) pun adalah suatu ancaman; apakah ia tetap bahagia jika buku berikutnya tidak laku? Apakah ia jadi tidak bahagia karena merasa "disetir" untuk menghasilkan karya yang memuaskan pembaca setianya? Pergelutan akan terus terjadi.

Bisa saja seorang penulis tidak sadar bahwa identitas kepenulisannya kuat. Yang ia tahu hanyalah: ia bahagia dengan menulis (baik saat melakukannya maupun tidak).

Itu sudah lebih dari cukup.

Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa penulis yang baik adalah penulis yang tidak bahagia. Saya menentang pendapat itu. Bagaimana dengan teman-teman?

Penulis Sebagai Pemasar: Hati-hati

Akhir-akhir ini, sering bergaung pendapat bahwa penulis perlu jadi pemasar yang baik. Ini adalah anjuran yang baik. Sayangnya, kurang lengkap.

Ada urutan yang perlu para penulis ketahui sebelum mulai memasarkan karya (ataupun diri). Seorang penulis sebaiknya:

  1. Memiliki identitas diri yang kuat

  2. Berkarya secara konsisten

  3. Baru bisa memahami dan mempraktikkan pemasaran dengan baik

Kalau urutannya terbalik bisa kacau. Nomor tiga sebelum dua: tidak efektif karena karyanya terbatas. Jujur saja, saya adalah penulis buku tipe nomor tiga sebelum dua. Kini saja sudah banyak orang yang lupa bahwa pernah ada buku yang berjudul Bertanya atau Mati! Lebih banyak orang yang tahu bahwa itu adalah nama blog.

Tentu saja, karya di sini bermakna luas. Tulisan blog pun bisa disebut karya. Serupa dengan contoh di atas, percuma kita promosi blog ke mana-mana kalau tulisan kita saja munculnya hanya sebulan sekali. Sementara blog seperti blogombal justru tanpa promosi bisa dikenal luas. Karena tulisannya muncul secara rutin. Dan konsisten dengan gaya Paman Tyo yang khas.

Nomor tiga atau dua sebelum satu: celaka. Ini sempat saya sampaikan di satu forum lain: akan gawat saat seorang penulis mulai menerbitkan karya bukan karena ingin menyampaikan sesuatu, melainkan karena sekadar ingin menghasilkan sesuatu. Bisa jadi karyalah yang akan lebih berkuasa dibandingkan penulisnya.

Sudah dua kali saya menyinggung identitas diri dalam kepenulisan. Seperti apakah itu? Bagaimana kita mengetahui identitas kepenulisan kita? Itu akan saya bahas di tulisan berikut.

Wednesday, February 27, 2008

Menulis Adalah Kung Fu

Dalam serial komik Kenji karya Ryuchi Matsuda & Yoshihide Fujiwara (di Indonesia diterbitkan oleh Elex Media Komputindo), sang tokoh utama mempelajari kungfu Delapan Mata Angin. Namun, dalam perjuangannya dalam mendalami ilmu ini, ia mempelajari kungfu gaya lain, dari Tai Chi hingga Kungfu Enam Kehendak.

Saat mengetahui kelemahannya dalam tinju, misalnya, ia mengikuti sasana tinju dan mempelajari kungfu yang berfokus pada pukulan. Namun, ia tidaklah berganti aliran. Ia menggunakan pengetahuan dan teknik baru yang bisa menguatkan kungfu Delapan Mata Anginnya. Sementara yang tidak, ia sisihkan.

Hal ini serupa dengan menulis. Pada satu saat, seorang penulis akan mendapatkan "aliran" menulisnya yang akan ia dalami. Namun, dalam proses pembelajaran, kita perlu mencoba dan mempraktikkan "gaya-gaya" menulis lainnya untuk mendapatkan suatu pencerahan, menambal kekurangan yang kita miliki.

Pada akhirnya, suatu gaya khas penulis akan muncul dari pengalaman seseorang bereksperimen dan berpraktik.

Mari berlatih menulis ala kung fu!

a. Ingin mempelajari cara membuat judul yang menarik?
Bisa dengan berlatih menjadi copywriter atau caption-writer. Ambillah foto secara acak, lantas berikan teks singkat yang membuat situasi fotonya menjadi jelas. Atau beri balon dialog sehingga menjadi lucu. Ini latihan berpikir multisituasi. Satu foto bisa menjadi bermacam-macam konteks adegan dengan pemberian teks yang berbeda. Dengan begitu, kita dapat mempelajari pencarian berjuta jalan menuju terbentuknya satu kalimat.

b. Ingin membuat kalimat yang efektif?
Bisa dengan berlatih menulis flash fiction atau berlatih menjadi editor. Kuasai pola pikir memanfaatkan suatu batasan ketat menjadi keunggulan dalam bercerita. Dan jalani disiplin untuk menyisihkan kata-kata yang berlebihan.



Editor siap memotong kata (atau menyabet mereka yang masih menulis "disamping" atau "di denda")


c. Ingin membuat dialog yang efektif dan menarik?
Cobalah membuat atau mempelajari skrip komedi situasi. Carilah pencerahan menuju dialog yang dapat menuntun pembaca/pendengar menyelami karakter yang berbeda. Temukan juga cara untuk membuat dialog menjadi sesuatu yang menarik dan penting bagi cerita, bukan sekadar penambah jumlah halaman.

d. Apakah tulisan anda terlalu "telling"?
Cobalah menulis skenario film aksi atau membuat (skrip) komik. Pelajari kunci bercerita secara visual, sehingga dapat menangkap inti dari pakem "Show, don't tell".

e. Bagaimana melatih kedisiplinan menulis?
Cobalah membuat blog (boleh untuk pribadi saja, tidak disebar ke umum) yang di keterangannya ditegaskan: "…akan diisi setiap hari". Atau cobalah membuat skrip/storyboard komik strip harian. Biasakan diri agar dapat secara alamiah menemukan waktu menulis setiap hari.

Ini hanyalah sebagian contoh. Temukan cara-cara kita sendiri untuk menguatkan kemampuan diri.

Jangan percaya dubbing film kungfu lawas. "Your kung fu is verrrry good. Teach me Master!"
adalah pola pikir yang salah.

Inti kung fu adalah pengenalan diri. Dan batas diri. Kemudian melampauinya.

Tidak ada yang bisa mengajarkan itu.

Jalanilah sendiri. Sama seperti naik sepeda. Kalau belum pernah naik ke sadel dan mengayuh, berhentilah mencari tahu teknik. Coba terus. Kalau sudah bersepeda ke mana-mana, baru ngobrollah dengan pengendara sepeda lain.

Sebelum itu, diam. Dan berkeringatlah.


Mengapa ini penting?
Jika hanya berkutat pada tempurung kita, bukannya itu kontradiksi dengan istilah "penulisan kreatif"? Dengan mencoba berbagai hal baru, kita memperluas zona kenyamanan kita. Secara ajaib, dengan banyak mempelajari hal baru dengan sungguh-sungguh, keahlian dasar kita malah makin kuat, bukannya makin kabur.


Perkecualian
Jika Anda belum mengetahui tipe penulis seperti apakah Anda, atau apa tujuan Anda dalam menulis, lebih baik jangan dulu lakukan ini. Karena bisa jadi Anda malah terjebak sekadar melakukannya karena iseng. Alih-alih mendapatkan pembelajaran, nanti malah jadi bingung.

Wednesday, February 06, 2008

Kiat Produktif Menulis Humor

Berdasarkan pengalaman spesifik menulis tiga puluh sketsa komedi per dua hari (karena sisa hari lain digunakan untuk revisi, pertemuan, dan rehat), saya dan donna juga belajar sejumlah kiat menulis produktif. Dan kiat-kiat ini bisa diterapkan untuk penulisan kreatif mana pun yang berfokus pada menangkap ide.


  1. Komputer adalah musuh inspirasi

  2. Jalan-jalan, bawa notes dan alat tulis. Lalu, begitu ada ide yang mampir, langsung tulis. Jangan buang waktu sama sekali.


  3. Tunda menulis ide = penyesalan tak berujung

  4. Sudah lebih dari sepuluh ide yang hinggap dan hilang karena tidak sempat ditulis.

    Bawa catatan dan alat tulis ke mana-mana. Siapkan di sebelah tempat tidur. Sebelum tidur, saat baru bangun, dan saat sedang boker adalah waktu-waktu di mana ide justru senang mampir.


  5. Hindari menulis skrip sebelum memiliki minimal dua puluh ide.

  6. Karena begitu kita mulai menulis skrip, ide baru yang muncul tidak akan lebih banyak dari lima. Dan umumnya merupakan pengembangan dari ide yang ada.

    Pikiran kita itu seperti mesin. Bisa di-tune up untuk prioritas pada kecepatan/kekuatan atau efisiensi. Namun, tidak bisa untuk dua-duanya sekaligus. Kalau cepat, berarti boros. Kalau efisien, berarti mengorbankan kecepatan.

    Dalam menulis juga begitu. Untuk mencari ide, kita mengejar efisiensi. Sebanyak mungkin menjaring ide yang mampir. Hindari komputer. Karena komputer membawa gangguan (distraction), dan bisa menggoda kita untuk berpindah modus. (Ini sekaligus penjelasan tambahan untuk poin 1.)

    Saat menulis skrip, kita fokus pada kecepatan atau kekuatan. Mesin kita begitu sibuk untuk menulis, sehingga kita tidak efisien lagi menjaring ide. Bisa jadi saat menulis ide-ide itu mampir, namun kita terlalu sibuk untuk sadar. Kita hanya sadar saat ide yang mampir mirip dengan yang sedang kita tulis.

    Lebih parah lagi kalau kita sedang menulis, sekaligus browsing internet atau chatting. Lupakan menangkap ide.

    Mari jujur saja: ide itu selalu mampir. Tapi kalau pikiran kita terlalu sibuk, kita tidak bisa menyadari bahwa ada ide yang mampir. Boro-boro mau menjaringnya.

    Jadi: kumpulkan ide sebanyak-banyaknya. Hindari komputer. Dan baru mulai menulis skrip setelah terkumpul banyak ide.

    Karena kami mencari tiga puluh sketsa, biasanya aku baru mulai menulis skrip saat sudah terkumpul tiga puluh ide. Sebelum itu, aku tetap fokus ke menangkap ide. Setelah lewat tiga puluh, baru... mulai menulis. Ubah setting pikiran menjadi kecepatan/kekuatan.

Selamat menulis. Break a pen!


____________________

Lebih lanjut mengenai mengubah pola pikir penulisan: Enam Topi Berpikir untuk Penulisan Kreatif.

Berbagi Pengalaman Penulisan Skenario Humor

Bagi sebagian yang belum tahu, saya dan donna sempat terlibat dalam penulisan skenario "Sketsa", acara komedi terbaru di TransTV. Walau pada akhirnya kami mengundurkan diri karena perbedaan prinsip, dari kerja sama ini kami mendapatkan banyak pembelajaran dan pengalaman.

Salah satunya karena kami sempat--dalam waktu dua hari--mengerjakan seratus sketsa komedi. Dalam segi banyaknya halaman, ini ekuivalen dengan empat episode untuk slot waktu 60 menit (termasuk iklan).

Pelajaran pertama: jangan lakukan itu lagi. Kecuali kalau memang sudah terbiasa.

Sayangnya, kami belum. Kecepatan rata-rata kami adalah 30 sketsa per dua hari. Jadi, itu seperti sprint gila-gilaan pada lima kilometer pertama maraton. Sisa perjalanan berikutnya, kami terpaksa terengah-engah dulu di tepi jalan.

Pelajaran berikutnya: jadwalkan penulisan.

Ini tampak aneh, karena penulisan kreatif adalah sesuatu yang tampak berlawanan dengan jadwal. Namun, percayalah, penjadwalan ini penting karena pada akhirnya, kita harus menepati tenggat waktu yang rutin. Salah satu dari poin penjadwalan adalah kapan kita tidak boleh "menulis", dalam arti duduk di depan komputer dan menulis skenario (corat-coret di kertas sih boleh.)

Dan kapan saat kita "rehat", dalam arti tidak berusaha keras menangkap ide. Namun, menjalani hari dengan santai sambil berbekalkan kertas dan pensil/pena. Kalau memang ada ide mampir, ya tangkap saja. Tapi kita tidak berkeliaran sambil jelalatan dan membawa jaring.

Dan terakhir: bersenang-senanglah. Karena itulah inti penulisan humor yang efektif.