Friday, May 25, 2007

Milikilah Pesan dan Bersenang-senanglah

"Menulis memang mudah," ujar Donna pada anak-anak SMP Madania, Bogor. Puluhan pasang mata memerhatikan saat Donna melanjutkan, "Hanya kalau kamu serius melakukannya."

Kumpulan anak-anak ini baru saja menyelesaikan tugas mereka, membuat novel dalam satu bulan! Acara Writing Open Day ini adalah akhir dari rangkaian pembelajaran mereka. Pada hari ini, karya sejumlah penulis belia ini akan mendapatkan penghargaan. Para praktisi industri perbukuan pun akan ikut berbagi pengalaman. Benny Rhamdani dari Mizan mewakili penyunting. Sementara Donna dan saya mewakili penulis.

Beberapa anak tampak mengangguk. Namun ada juga yang mengeryitkan kening. "Serius nggak selalu menyeramkan, kok," lanjut saya. "Main basket juga bisa serius. Dan kita tetap senang saja melakukannya."

Kami pun mulai dari mengajak para penulis belia ini bertanya pada diri sendiri, "Mengapa kita menulis?" Cara mudahnya, ingatlah karya yang membuat kita benar-benar merasa, "Karya seperti inilah yang ingin aku tulis." Lalu pikirkan, "Kenapa?" Ingat juga karya yang berkesan panjang dalam diri kita. Boleh novel, film, atau komik. Apa persamaan antara cerita-cerita ini?

Umumnya, karya-karya tersebut memiliki pesan. Dan bukan pesan moral gamblang yang sekadar ditempel di belakang cerita seperti, "Janganlah mencuri, adik-adik. Mencuri itu tidak baik."

Justru sebaliknya. Semakin bagus karya, semakin tidak gamblang pesannya. Tapi malah tertanam dengan kuat pada diri kita. Banyak anak yang membaca Harry Potter, misalnya, terinspirasi untuk menjadi pahlawan. Banyak orang dewasa juga yang kembali merenungi hidup setelah membaca karya Mitch Albom, Five People You Meet in Heaven. Pesan ini terkandung seutuhnya dalam cerita.

Dan inilah yang membuat perbedaan antara karya yang menggugah dan karya yang biasa-biasa saja.

Meneruskan obrolan tentang karya yang menggugah, Donna menanyakan karakter apa yang para hadirin sukai dari Harry Potter? Jawabannya beragam. "Harry!" seru seorang anak lelaki yang begitu didekati malah malu. "Hermione!" tukas seorang anak perempuan dengan tegas.

"Ada yang suka Ron?" tanya saya. "Hagrid?" Walau sembunyi-sembunyi, ada yang mengangguk.

"Selain pesan, ini juga salah satu keunggulan karya yang menggugah," ucap Donna. "Pembaca mana pun akan dapat menemukan dirinya pada salah satu karakter dalam cerita."

"Bayangkan kalau kita membaca cerita seperti ini," ucap saya sembari membuka slide yang menunjukkan gambar di kanan ini. "Narasinya cantik dan bahasanya indah, seperti pemandangan ini. Tapi tidak ada penggambaran tokoh. Kira-kira berapa lama sebelum kita bosan?" Sambil melangkah ke tengah, saya melanjutkan. "Coba saja, kalau melihat foto bersama, wajah siapa yang pertama-tama kita cari?" Seorang anak lelaki berambut keras yang duduk di barisan kanan menunjuk dirinya sambil tersenyum hingga pipinya membulat.

Anak itu, yang mengenalkan diri sebagai Valdi, sudah menangkap intinya. Walaupun kita membuat cerita fantasi di antah berantah, pembaca akan selalu mencari relevansi antara dirinya dengan tokoh cerita. Karena itu, penokohan yang kuat dan membumi, serta interaksi antar karakterlah yang menjadi kunci kedekatan emosi pembaca.

Star Wars, sebagai contoh, berlatarkan dunia antah-berantah berteknologi tinggi. Namun, salah satu adegan yang paling diingat para penonton justru bukan kecanggihan teknologinya. Begitu trilogi kedua dibuat dengan bantuan pencitraan komputer, tetap saja tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan adegan ini. Adegan mana yang saya maksud? Tak lain ketika Luke menyadari bahwa Darth Vader adalah ayahnya.

Obrolan di Aula MPH ini terus berlanjut. Dari berbagai teknik penulisan (memulai cerita, show, don't tell, orisinal versus autentik, dan manajemen konflik) hingga tips untuk mencari ide maupun melawan kebosanan dalam menulis. Para penanya juga mendapatkan hadiah buku dan notes eksklusif Gramedia Pustaka Utama.

Menjelang akhir, sejumlah anak mulai kehilangan konsentrasi. Udara di aula sendiri semakin terasa panas. Namun, mereka kembali memerhatikan saat kami menayangkan beberapa klip video menggelitik untuk menunjukkan ilustrasi tentang pentingnya mengambil sudut pandang yang berbeda, memikat pembaca dari awal, hingga pentingnya memeriksa ulang (check and recheck) tulisan. Barisan depan pun tergelak saat saya dan Donna mengajak mereka untuk bermain-main dengan tulisan saat bosan. Misalnya, membayangkan naskah mereka dibawa ke unit gawat darurat dalam ambulan yang sirenenya berbunyi mentok-mentok-mentok-mentok-mentok-mentok.

"Apa yang terjadi?" tanya dokter.

"Naskah saya sekarat, Dok! Ceritanya mentok saat tokoh cowok bingung mau jadian apa nggak?"

"Tambahin konflik aja," ujar dokter sambil memasang infus. "Munculin orang baru yang kayaknya disukai ama si cewek."

"Saat jenuh, break aja," simpul Donna. "Atau kembalikan kesenangan kita untuk menulis."

"Ya, jangan sampai menulis jadi beban," tambah saya. "Saya contohkan basket lagi. Apa bedanya main biasa dengan pertandingan? Pertandingan bisa bikin kita jadi terbebani. Tapi main basketnya tidak jera, kan? Karena kita suka. Menulis juga gitu. Untuk mengatasi kejenuhan, cobalah menulis dengan tujuan bersenang-senang."

"Dengan begitu," tutup Donna. "Menulis menjadi mudah."

Wednesday, May 16, 2007

Menjotos Mitos Penulisan Kreatif: Writer's Block

Tanya (T): Bagaimana cara menghilangkan writer's block?

Jawab (J): Writer's block itu hanya mitos. Ini sekadar istilah keren-kerenan untuk menggantikan "jenuh". Semua aktivitas dan profesi juga memiliki rasa jenuh. Tapi kenapa kita nggak pernah dengar istilah "painter's block", "lawyer's block", atau "office worker's block"? Saya pribadi juga tidak pernah menyaksikan seorang aktor yang mengeluh ke sutradara, "Aku lagi actor's block nih, nggak bisa akting. Baca skrip aja mau muntah."

Lantas, kenapa hanya ada writer's block?

Kebetulan saja para penulis yang cukup kreatif untuk menciptakan istilah ini. Sayangnya, penggunaan istilah ini jadi salah kaprah. Istilah ini berguna untuk mengenali rasa jenuh yang kita alami saat menulis. Tapi bukan untuk justifikasi, atau bahkan lebih parah, alasan untuk melarikan diri dari menulis.

Saya banyak sekali bertemu penulis yang mengeluh, seakan-akan writer's block adalah semacam bencana yang tiba-tiba muncul dan menyumban keran kreativitas kita tanpa sebab yang jelas. Kesannya, writer's block adalah kutukan yang perlu kita derita dulu untuk beberapa lama. Selama kena, nggak usah nulis. Tunggu saja hilang sendiri.

Jelas, itu hanya mitos. Writer's block sebenarnya adalah rasa jenuh atau buntu. Dan kita tidak hanya bisa sekadar pasif menanggapinya. Kita mampu secara aktif mengusir rasa jenuh tersebut. Dan membuka keran kreativitas kita.


T: Tapi, nyatanya, semangat menulisku hilang. Bagaimana mengembalikannya?

J: Saat semangat menulis hilang, coba saja munculkan dengan satu cara: mengembalikan kesenangan saat menulis.

Ingat-ingat saja pada masa kecil, saat kita bermain dan bersenang-senang sama teman. Pernahkah kita tidak bersemangat dalam melakukannya? Biasanya sih tidak pernah.

Menulis juga gitu. Saat jadi rutinitas, atau malah "tuntutan" untuk berkarya, kita bisa hilang semangat. Karena menulis jadi beban.

Kalau memang ini yang kita alami, solusinya mudah: kembali saja bersenang-senang. Jangan pedulikan tuntutan atau kritik-diri. Coba saja menulis kilat, tulis semua yang mampir di otak kita. Bahkan saat kita mentok, tulis saja bahwa kita mentok.

Misalnya:

Aku sedang menulis di depan komputer. Tapi sudah itu mentok. Masih aja mentok. Gawat juga kalau mentok terus. Apa sih yang berima dengan mentok? Totok? Golok? Berkokok? Asyik juga kalau ada golok berkokok. Bisa jadi judul sinetron baru tuh, "Misteri Golok Berkokok". Kira-kira tokoh utamanya siapa ya? Konfliknya seperti apa?...

Terus aja begitu. Lama-lama jadi lancar sendiri. Dan kembali merasa bahwa menulis itu menyenangkan.

Selain sendirian, kita juga bisa memainkan penulisan kreatif bersama teman. Cerita Sambung Satu Kalimat, misalnya adalah permainan yang asyik untuk dilakukan bersama tiga orang teman. Masing-masing hanya bisa menyumbangkan satu kalimat.

Berbalas Surat dan Bermain Peran, adalah permainan penulisan lain yang cukup dimainkan berdua. Dua orang saling melempar karakter. Jadi orang pertama membuatkan karakter untuk orang kedua. Misalnya, seorang pria berusia empat puluh tahun yang buruk rupa dan suka mengaku di forum online sebagai cewek cantik berusia dua puluhan. Orang kedua balas membuatkan karakter untuk orang pertama; seorang cewek cantik jelita yang, sayangnya, merasa bahwa dirinya adalah titisan dari Don Juan. Kedua penulis ini kemudian saling berbalasan email.

Teater Teks Improv, adalah permainan penulisan bercampur teater improv yang dilakukan secara konferensi online. Empat orang, misalnya, bergabung dalam konferensi Yahoo, lantas berbagi peran. Satu orang jadi penonton, satu orang jadi narator, sisanya jadi aktor. Penonton akan melemparkan kata atau frase kunci. Misalnya, "ember merah". Lantas, dimulai dari narator, cerita pun mengalir melalui improvisasi para pemain di "panggung".

Interpretasi terhadap frase kunci bisa harfiah. Misalnya, para aktor memperebutkan sebuah ember merah di sebuah bursa murah. Atau bisa juga para aktor menginterpretasikannya "ember merah" sebagai wadah yang penuh semangat. Lantas mementaskan cerita tentang organisasi politik sekumpulan pemuda yang antusias.

Intinya, jika jenuh, rehatlah. Bersenang-senang. Inspirasi tidak akan mampir pada otak yang jenuh. Tapi juga tidak akan bertandang pada otak malas yang hanya menunggu.

Sekarang Aku Tahu Anakku Mau Jadi Apa Setelah Besar...


Pegulat profesional.

Perkenalkan: Aza! Nama panggung lengkapnya Aza Can Lami Aza Kamari. Jurus andalan: koproll hingga menimpa orangtua yang sedang tidur. Lirik musik pengiring masuk arena: "Twinkle twinkle little star, I'll make you see a lot of stars."


"You want a piece of me?"

Monday, May 14, 2007

Penjotos Mitos: Simbol Kualitas Botol Plastik

Pernahkah Anda melihat bagian bawah botol plastik sirup pencegah batuk? Atau Tupperware? Pernahkah Anda menyadari keberadaan simbol angka seperti di kiri ini?

Perhatikanlah bahwa sebagian besar kemasan plastik memiliki simbol seperti ini tercetak di bagian bawah. Angkanya pun beragam. Namun yang paling sering kita lihat bisa jadi adalah "1" dan "5".

Apa sebenarnya arti simbol-simbol ini?

Ada yang berpendapat bahwa angka-angka ini menunjukkan kualitas plastik yang digunakan. Semakin tinggi angka, semakin baik. Karena lebih tahan lama. Seseorang bahkan pernah mewanti-wanti saya agar memilih obat berdasarkan simbol ini. Kalau angkanya "1", lebih baik cari obat lain. Karena kemasan yang tak tahan lama akan membuat obatnya rusak.

Benarkah begitu?

Sama sekali tidak. Walaupun saya berterima kasih atas niat baik sang pemberi nasihat. Tapi seperti sering saya katakan, niat saja tidak cukup. Apalagi kalau menyangkut kebenaran informasi.

Simbol ini sebenarnya adalah kode identifikasi resin yang diciptakan oleh The Society of Plastics Industry (SPI) pada tahun 1988. Fungsinya? Untuk memberi tahu pihak pendaur ulang bahan plastik apa yang digunakan. Karena plastik sangatlah susah untuk didaur ulang. Kita tidak dapat begitu saja mencampur plastik dengan kandungan resin yang berbeda untuk didaur ulang. Dengan sistem pengkodean ini, kita dapat mengetahui tipe plastik mana yang bisa dicampur. Dan bisa didaur ulang untuk apa saja.

Sebagai contoh, kode "1" menunjukkan Polyethylene Terephthalate (PET atau PETE). Karena jernih, kuat, tahan panas, dan cukup kuat untuk menahan tembusan uap maupun gas, PET sering digunakan untuk botol kemasan minuman ringan atau selai. PET dapat didaur ulang menjadi fiber, tas plastik, film, kemasan makanan dan minuman, karpet, botol, atau hidung Michael Jackson. Tapi yang terakhir ini belum bisa dibuktikan berhubung dia menolak mencantumkan simbol di hidungnya.

Sementara kode "5" menunjukkan Polypropylene (PP). Tahan akan reaksi kimia dan bertitik lebur tinggi, PP jadinya sering digunakan untuk botol obat atau kemasan makanan untuk microwave (seperti Tupperware). PP dapat didaur ulang menjadi wadah aki mobil, baki, garu, LED, dan lain-lain. Detail lengkap simbol-simbolnya silakan periksa di sini.

Jelas bahwa simbol ini tidak terurut berdasarkan kekuatan. Hanya merupakan nomor pengenal kandungan resin. PVC, misalnya, yang sering digunakan untuk pipa air diberi simbol "3". Sementara simbol "6" justru menunjukkan Polystyrene (PS) yang bertitik lebur rendah. Tentu saja, akan aneh jika PS digunakan untuk kemasan makanan microwave. Namun, intinya adalah penggunaan sesuai dengan jenis plastik. Bukan karena penomoran yang lebih besar atau kecil.

Simbol ini berlaku di seluruh dunia, terutama negara-negara yang sudah menghargai pentingnya pendaurulangan plastik. Jelas saja. Tanpa simbol itu, banyak limbah plastk yang akan sulit diproses. Karena itu, jika kita masih menemukan botol plastik yang tidak memiliki kode ini, hal tersebut bisa menunjukkan dua hal:


  • Ketidakpedulian produsen pada pendaurulangan, atau lebih luas lagi;

  • Ketidakpedulian nasional pada pendaurulangan--bisa diartikan pemerintah maupun masyarakat sendiri

Makan Buah Simalakama: Seperti Diurut Shin Se

Minggu lalu, saya mengalami cedera pada dua bagian: jempol tangan karena futsal. Dan tumit kaki karena bulutangkis. Setelah istirahat seminggu pun belum terasa sembuh. Melangkah masih terseok-seok sambil meringis.

"Baru gosok gigi, Man? Kok senyum melulu?" tanya rekan kerja saya. Seorang rekan kerja juga langsung pura-pura menari tap. "Makanya, Man," ujar seorang lagi. "Kalau beli sepatu yang rata dong. Jangan tinggi sebelah."

Sialan. Saya hanya bisa diam karena sulit bicara dari sela-sela gigi yang terkatup. Dan memutuskan untuk mencari ahli urut[1] atau syaraf.

Jum'at malam lalu, saya pun memutuskan untuk berobat ke seorang shin se (tabib) bernama Jerry. "Shin se Jerry-nya ada?" tanya saya kepada seorang pria bertubuh mungil berkaos hitam.

"Saya sendiri," jawabnya dengan senyum. Usianya mungkin baru awal tiga puluhan tahun.

Entah kenapa, saya tidak terkejut. Mungkin karena dalam film silat, ahli silat dan pengobatan umumnya bertubuh kecil. Atau mungkin juga karena, saat mempersilakan masuk ruangan pemijatan, saya melihat tangannya yang berotot liat. Jika ada tangan yang dapat menahan sabetan pedang, saya yakin bentuknya kira-kira seperti itu. Jika ada tangan yang dapat meremas batu jadi serbuk kecil, bentuknya pun akan seperti itu.

Baru saya sadar bahwa tangan yang sama akan memijat kaki dan tangan saya. Sambil menelan ludah, saya membayangkan sakitnya; bagaimana kalau saya berteriak-teriak?

Seakan menjawab, tampaklah satu papan yang tertempel di tembok dengan tulisan besar, "Harap tenang!"

Kata-kata itu terus membayang di otak saya ketika merebahkan diri di dipan pemijatan. Sebelumnya saya berganti celana pendek dan merendam kaki di air hangat. Saya sempat heran melihat sebuah lubang yang menembus bagian kepala dipan. Untuk apa itu?

Sebelum sempat bertanya, sang Shin se sudah memegang kaki kanan saya dan menepuk-nepuknya dengan keras. "Yang sakit ini, ya?" tanyanya, seakan-akan mata saya yang membelalak belum menjawab. Ia mulai memijat dari jari-jari kaki. Lantas menyuruh saya tengkurap.

Ternyata lubang dipan itu berguna untuk memasukkan kepala kita. Sehingga punggung bisa lurus, tidak menegang. Sayangnya pencerahan ini pun berumur pendek, karena sang Shin se mulai memijat dari betis hingga pangkal paha. Saking sakitnya bagian itu, saya terpaksa mencengkeram pinggiran dipan.

Entah berapa lama, Shin se pun berhenti dan meminta saya untuk berdiri. "Coba jalan, sakit nggak?"

Saya pun melakukannya dan mengernyit. Tumit saya masih sakit. Saya pun kembali berbaring.

Dan ia kembali berpusat kepada titik pangkal paha yang sangat menyakitkan. Rasanya seperti urat saya sedang dicongkel-congkel menggunakan sendok. Beberapa kali saya terpaksa menahan napas. Hingga akhirnya sambil terengah-engah, diminta kembali berjalan.

"Masih sakit?" tanya Shin se perlahan.

Di sini saya mengalami dilema. Kaki saya sebenarnya masih sakit. Tapi kalau mengaku, urat saya akan kembali dicongkel. Seharusnya peribahasa basi "Seperti makan buah simalakama"[2] diubah menjadi "Seperti dipijat Shin se"; kalau tidak mengaku, sakit. Kalau mengaku juga sakit.

"Euh," ujar saya ragu. "Masih," jawab saya sambil menelan ludah. Ia pun kembali mengisyaratkan saya untuk kembali berbaring. Saya langsung membayangkan nasib tawanan perang yang diinterogasi paksa. "Ngaku nggak?" tanya penginterogasi sambil mencongkel kuku jempol.

Sepertinya bagus juga kalau para shin se jadi ahli interogasi. Selama ini kan siksaan selama interogasi pada tawanan perang itu melanggar Konvensi Jenewa dan memang membahayakan nyawa tahanan. Namun bagaimana kalau para shin se ini justru diminta mengurut mereka?

"Hmm, kaki kamu keselo, dan tulang bahu sedikit bergeser," ujar seorang shin se penginterogasi. "Kalau kamu menolak mengatakan apa misimu, saya akan sembuhkan kamu!" ancamnya.

Mata sang prajurit hanya balas menantang.

Sang shin se pun tinggal membaringkan prajurit tersebut dan mulai mengurutnya. Krek, krek, plek.

"Wadddaaaaww! Amppppppuuuuuuun! Misi saya mencuri dokumen proklamasi kemerdekaan!" aku sang prajurit.

"Oke, sip," ujar sang shin se sambil membasuh tangan. "Kakinya jangan diberi beban terlalu berat dulu. Jadi tunggu dua minggu sebelum nyoba kabur, ya? Posisi tulang bahunya juga sudah saya kembalikan normal. Tapi tunggu sebulan, lah, sebelum pake ransel yang berat."

Tawanan jadi sehat. Informasi pun dapat. Sama-sama senang, kan?

Anehnya, gara-gara membayangkan ini, rasa sakitnya jadi tidak terlalu terasa. Saya bahkan malah nyengir-nyengir di antara kesakitan. Untungnya wajah saya menghadap ke lantai. Kalau terlihat oleh shin se, bisa-bisa dikira masochist.

Setelah yang terakhir ini, sakitnya pun mulai menghilang. Ternyata, menurut sang shin se, sakit di tumit itu muncul akibat urat di pangkal paha tertarik. Karena itu, saya diminta menekukkan kaki sebelum melangkah, agar meminimasi tegangan. Dalam beberapa hari seharusnya akan kembali normal.

Lega juga. Dunia tiba-tiba terasa damai. Saya pun siap-siap keluar dengan perasaan ringan. Namun, tiba-tiba sang shin se bertanya, "Kalau tangannya mau sekalian sekarang?"

Walah! Dilema lagi.

____________________
[1]: Satu hal tentang bekerja di sebuah perusahaan konsultasi teknologi informasi: jika kita bertanya, "Ada yang tahu tukang urut yang bagus?" biasanya dijawab dengan, "Diurutnya sesuai alfabet atau waktu tampil?"

[2]: Ngomong-ngomong, buah simalakama itu nyata atau abstrak sih? Kalau nyata, bentuknya seperti apa? Ada yang pernah lihat?

Tuesday, May 08, 2007

Ide Film #1: Horor Komedi

Akhir-akhir ini di kantor saya beredar teori berikut: "ide segila apa pun yang muncul saat lagi nggak mikir, itu akan lebih mending daripada sinetron." Sebagai eksperimen apakah itu benar atau tidak, saya akan memulai rangkaian tulisan ngalor-ngidul berkaitan ide film yang muncul saat kami lagi ngobrol, maen bulutangkis, atau mangap.

"Yang pertama, gimana kalau film horor?" usul seorang rekan sambil garuk-garuk pantat. Kami juga memiliki teori bahwa usul seseorang saat garuk-garuk pantat itu biasanya jenius. Lihatlah apa yang ditemukan Archimedes saat mandi. Pasti sambil garuk-garuk juga, lah. Bayangkanlah apa yang bisa Newton temukan jika ia garuk-garuk pantat saat tertimpa apel.[1] Karena itu, kami menurut.

Inilah ide pertama kami: virus zombie yang menyerang sebuah kota tataran Sunda. Karena itu, walaupun sudah jadi zombie, tidak banyak yang berubah karena:

  • Tidak menyeramkan
    Malah menggelitik karena zombienya jalan-jalan sambil ngomong, "Otaaak. Otakna mana euy? Boga nteu?"[2]

  • Tidak terlalu membahayakan
    Karena sebagian terlalu malas untuk bergerak. "Rek neangan otak teu?"[3] tanya satu zombie pada temannya.

    Temannya menggeram, "Aing cape ah. Bobo heula."[4]

    Saat para zombie sudah menangkap tokoh utama pun sering kali mereka melepaskannya kembali tanpa memakannya karena satu alasan: lupa bawa sambal.

  • Memiliki kelemahan fatal
    Setiap kali terdesak di pojok oleh satu zombie yang siap menyerang, sang tokoh utama tinggal mengatupkan kedua telapak tangan dan menyodorkannya. Sang zombie pun secara refleks akan salaman. Setelah itu, langsung akrab.

Resolusi: sang tokoh utama akhirnya berhasil kabur dan kembali ke Jakarta. Berhubung ia seorang pekerja kantoran biasa, besoknya pun ia harus kembali kerja karena bosnya menganggap bahwa ceritanya itu sekadar alasan. Saat bekerja, ia menyadari rekan-rekan kerjanya yang lebih robotik daripada para zombie yang ia temui, akibat tekanan sosial Jakarta. Ia pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke kota zombie dan ikut menjadi bagian dari mereka.

________________

[1]: Ini sebenarnya hanya mitos. Newton tidak tertimpa apel. Saat menemukan hukum gravitasi, ia sedang melihat apel berjatuhan dari balik jendela. Tapi, kami curiga, ia sedang garuk-garuk pantat. Sejarah saja yang tidak berani mencatatnya.

[2]: "Otaknya mana, nih? Punya nggak?"

[3]: "Mau nyari otak nggak?"

[4]: "Gue capek ah. Tidur dulu."